Mubadalah.id – Kementerian Luar Negeri Belanda mengumumkan sepuluh nomine untuk Human Rights Tulip 2025 paad 14 November 2025. Satu nama dari Indonesia kembali mengisi panggung internasional, yaitu Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Bagi banyak aktivis, akademisi, dan komunitas akar rumput, masuknya KUPI dalam daftar nomine bukanlah kejutan. Gerakan ini sudah lama menunjukkan bahwa tafsir keagamaan bisa menjadi ruang yang memerdekakan, bukan mengekang. Pengakuan dari Belanda hanya menegaskan apa yang selama ini terasa oleh banyak pihak. Kerja-kerja ulama perempuan Indonesia telah menjelma menjadi rujukan dunia.
Human Rights Tulip adalah penghargaan bergengsi yang diberikan kepada individu atau organisasi yang melakukan terobosan dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Setiap tahun, hanya sepuluh kandidat terpilih dari seluruh dunia.
Nominasi datang dari negara-negara berbeda dengan latar yang kompleks. Konflik, kekerasan negara, pembungkaman sipil, hingga diskriminasi minoritas. Di antara semua itu, terpilihnya KUPI menandakan bahwa perjuangan berbasis agama juga punya posisi penting dalam peta HAM global.
Gerakan dari Akar yang Menjadi Arus Baru
KUPI lahir dari proses panjang sejak awal 2000-an, saat ulama perempuan dari berbagai daerah mulai menyadari perlunya ruang yang mengakui otoritas keilmuan mereka. Selama ini, ulama perempuan sering ada, tetapi tak diberi tempat yang proporsional dalam wacana keagamaan arus utama. Banyak forum keagamaan tidak memberi ruang setara untuk perempuan, baik sebagai pengambil keputusan maupun penghasil ilmu. KUPI mengubah lanskap itu.
Kongres pertama pada 2017 menjadi momentum. Ulama perempuan dari beragam pesantren, kampus, komunitas pengajian, hingga aktivis sosial hadir membawa pengalaman masing-masing. Yang menarik, KUPI tidak sekadar forum keagamaan. Ia hadir sebagai gerakan sosial yang menempatkan pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan yang sah. Dalam tradisi keilmuan Islam, pendekatan ini menggeser fokus yang selama ini banyak didominasi interpretasi laki-laki.
Sejak itu, KUPI melakukan banyak hal. Memperkuat jejaring ulama perempuan, melahirkan fatwa-fatwa penting, serta merespons isu-isu keadilan gender dengan bahasa agama yang relevan dan mudah diterima masyarakat.
Fatwa yang Berpihak pada Kehidupan
Salah satu kontribusi terbesar KUPI adalah fatwa keagamaannya. Tidak seperti fatwa umumnya yang keluar dari lembaga formal, fatwa KUPI lahir dari kajian mendalam yang berpadu dengan pengalaman nyata perempuan. Pendekatan ini sering disebut sebagai trilogi fatwa KUPI, yaitu konsep Makruf, Mubadalah dan Keadilan hakiki. Artinya, mengakui relasi setara antara laki-laki dan perempuan, serta menempatkan keduanya sebagai subjek penuh dalam ajaran Islam.
Beberapa fatwa KUPI menjadi penanda penting dalam gerakan keagamaan Indonesia, seperti:
Pelindungan perempuan dari kekerasan seksual. KUPI menjadi salah satu suara awal yang mendesak negara untuk menghadirkan regulasi komprehensif atas kekerasan seksual. Sikap keagamaan mereka memberi legitimasi moral yang memperkuat upaya lahirnya UU TPKS.
Pencegahan pernikahan anak. Fatwa ini memperkuat argumen bahwa pernikahan anak bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga persoalan moral dan agama yang mengancam masa depan generasi.
Perusakan alam sebagai tindakan yang melanggar nilai-nilai agama. KUPI melihat kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari penderitaan perempuan, terutama di wilayah pedesaan.
Perlindungan kelompok rentan, termasuk penyintas, difabel, dan minoritas. Fatwa-fatwa tersebut menegaskan bahwa nilai kemanusiaan selalu menjadi titik berangkat. Inilah yang membuat KUPI berbeda dalam lanskap keagamaan global, dan mungkin salah satu alasan mereka dilirik oleh Human Rights Tulip.
Tafsir Agama yang Membuka Jalan Keadilan
Pengakuan internasional terhadap KUPI menunjukkan bahwa dunia melihat potensi besar dalam pendekatan keagamaan yang inklusif. Banyak negara menghadapi tantangan serupa, yaitu menguatnya konservatisme, politisasi agama, serta narasi keagamaan yang sering digunakan untuk menekan kelompok tertentu, terutama perempuan.
KUPI menjadi contoh bahwa agama tidak harus menjadi alat pembatas. Ia bisa menjadi kekuatan transformasi sosial. Di banyak wilayah Indonesia, ulama perempuan yang mendapat dukungan dari KUPI aktif mendampingi penyintas kekerasan, mengadvokasi kebijakan daerah, dan mengedukasi masyarakat tentang relasi yang setara. Mereka bergerak dari desa ke desa, dari pesantren ke kampung nelayan, menghadirkan ajaran Islam yang menenteramkan sekaligus membebaskan.
Pendekatan inilah yang membuat dunia memperhatikan. KUPI membuktikan bahwa keadilan gender dan nilai-nilai Islam bukan dua hal yang bertolak belakang, melainkan saling menguatkan.
Masuknya KUPI dalam nominasi Human Rights Tulip membawa dua makna penting. Pertama, pengakuan atas kerja panjang ulama perempuan Indonesia. Selama ini, banyak kerja mereka terjadi di ruang-ruang senyap. Ruang konseling, ruang pengajian kecil, diskusi komunitas, hingga advokasi berbasis kampung. Nomine internasional ini membuat kerja tersebut terlihat oleh dunia.
Kedua, ini memberi peluang memperluas dampak. Pemenang Human Rights Tulip tidak hanya mendapatkan pengakuan, tetapi juga dukungan finansial dan jaringan global. Bagi gerakan seperti KUPI, akses semacam ini dapat mendorong penguatan kapasitas ulama perempuan di lebih banyak daerah, serta memperluas dialog lintas negara yang menghadapi persoalan serupa.
Yang juga penting, keberadaan KUPI sebagai nomine di antara kandidat dari negara konflik, represif, dan penuh tantangan. Bangladesh, Sudan, Palestina, Somalia, Yaman, Ukraina. Hal ini menunjukkan bahwa kerja-kerja berbasis agama memiliki posisi strategis dalam gerakan HAM.
Menuju 10 Desember, Menjadi Harapan Banyak Pihak
Pemenang Human Rights Tulip 2025 akan diumumkan pada 10 Desember, bertepatan dengan Hari HAM Internasional. Terlepas dari siapa yang akhirnya terpilih, banyak pihak melihat nominasi ini sebagai momentum memperkuat solidaritas internasional bagi ulama perempuan dan gerakan keagamaan yang humanis.
Bagi Indonesia, ini juga menjadi kesempatan menunjukkan bahwa praktik keagamaan yang rahmatan lil alamin memang bisa tumbuh dari komunitas dan pesantren, bukan hanya dari pusat kekuasaan.
Pengakuan pada KUPI tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari ratusan jam kajian, ribuan pertemuan komunitas, dan perjalanan panjang ulama perempuan yang sering bekerja dalam diam. KUPI bukan hanya gerakan keagamaan. Ia adalah gerakan kemanusiaan yang memadukan pengalaman perempuan dengan ajaran Islam yang berkeadilan.
Nominasi Human Rights Tulip 2025 menjadi pengingat bahwa perubahan kadang dimulai dari ruang yang sederhana, dari suara-suara perempuan yang selama ini mungkin tak dianggap. Kini suara itu terdengar hingga Eropa, dan dunia mengakui penting atas kehadirannya.
Apa pun hasilnya pada 10 Desember nanti, satu hal sudah jelas. KUPI telah menorehkan jejak penting dalam sejarah perjuangan hak-hak perempuan, baik di Indonesia maupun di dunia. Dan jejak itu akan terus memanjang, setidaknya sejauh langkah para ulama perempuan yang tak pernah berhenti bekerja bagi kehidupan. []











































