Mubadalah.id – Sejak Portugis menduduki Malaka pada 1511 M, dan mulai meluaskan sayap ekspansinya ke wilayah Sumatera, Aceh sedikit pun tidak pernah berkompromi dengan Portugis. Sikap tegas itu menghantarkan Aceh, di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Shah, pada kesuksesan mengusir Portugis dari Daya (1520 M), Pidie (1521 M), dan Pasai (1524 M). Sang sultan kemudian menghimpun daerah-daerah itu dalam kontrol kekuasaannya dengan nama Aceh Darussalam.
Hal ini sejalan dengan Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi yang menjelaskan bahwa, “Aceh adalah… kerajaan yang memberikan respons yang keras dan konsisten terhadap kehadiran Portugis di Melaka, dan kondisi ini pada gilirannya memberikan dampak positif terhadap kebangkitan dan kemajuan Aceh….”
Pada abad ke-16 M, Aceh Darussalam merupakan imperium kuat di kawasan barat Nusantara. Hal ini terbukti dari kekuatan militer Aceh Darussalam yang, sebagaimana Amirul Hadi, dalam berbagai gempuran Aceh terhadap Portugis di Malaka pada tahun-tahun 1537 M, 1547 M, 1568 M, 1573 M, dan 1577 M dapat memaksa Portugis untuk mengambil strategi bertahan.
Dan, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah, pada akhir abad 16 M, terdapat armada laut perempuan di bawah kepemimpinan Laksamana Malahayati yang ikut memperkuat militer Aceh Darussalam.
Siapa Laksamana Malahayati?
Malahayati merupakan seorang perempuan yang menjadi salah satu prajurit elit Aceh Darussalam. Dia hidup sekitar akhir abad 15 M hingga awal abad 16 M. Solichin Salam dalam Malahayati: Srikandi dari Aceh menjelaskan, “Ayahanda Malahayati… bernama Laksamana Mahmud Syah.
Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Munghayat Syah (1513-1530 M), pendiri dari Kerajaan Aceh Darussalam.”
Melihat garis nasabnya, Malahayati merupakan seorang bangsawan Aceh Darussalam. Selain itu, jiwa bahari dalam diri dia telah subur sejak kecil. Mengingat ayah dan kakek Malahayati merupakan laksamana angkatan laut Aceh Darussalam, sehingga lingkungan keluarga berdampak pada pembentukan karakter Malahayati kecil. Dan, meski Malahayati adalah seorang perempuan, namun dia membuktikan kalau dia juga dapat menjadi laksamana angkatan laut yang hebat seperti dua pendahulunya.
Menempuh Pendidikan Militer di Mahad Baitul Makdis
Keliru jika berpikir kalau Malahayati mampu berkiprah dalam militer Aceh Darussalam karena privilese kebangsawanannya. Banyak bangsawan Aceh kala itu yang nyatanya tidak mampu mencapai posisi Malahayati. Dia menjadi prajurit terkemuka, yang pada puncak karir menjadi seorang laksamana, itu karena Malahayati pantas dan memiliki kapasitas untuk itu.
Tidak mengherankan, sebab selain besar dalam lingkungan keluarga prajurit, Malahayati juga menempuh pendidikan militer di Mahad Baitul Makdis, sehingga sosoknya memang terbentuk sebagai seorang prajurit kelas elite.
Amirul Hadi menjelaskan, “Kontak diplomasi antara Aceh dan Turki mencapai puncaknya sekitar tahun-tahun 1560-an.” Salah satu buah dari diplomasi Aceh dan Turki adalah berdirinya akademi militer Aceh Darussalam yang bernama Mahad Baitul Makdis.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para instruktur dalam akademi militer itu berasal dari Turki. Pasca-lulus dari akademi militer, Malahayati mendapat kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riyat Shah al-Mukammil (1589-1604 M) untuk menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-dunia Aceh Darussalam.
Para Prajurit Perempuan Aceh Darussalam
Pada masa Sultan Alaiddin Riyat Shah al-Mukammil, pertempuran laut antara armada Aceh dengan Armada Portugis di Selat Malaka memuncak. Sampai-sampai sang sultan sendiri juga ikut memimpin armada laut Aceh dengan dibantu oleh dua orang laksamana.
Dalam pertempuran di Teluk Haru, Aceh berhasil menghancurkan Armada Portugis. Namun kesuksesan itu harus terbayar mahal dengan gugurnya dua orang Laksamana Aceh. Salah satunya adalah suami Malahayati, bersama sekitar 1000 prajurit lain. Amirul Hadi dalam bukunya menjelaskan bahwa berdasarkan sumber-sumber Portugis, pertempuran laut yang diikuti oleh Sultan Alaiddin Riyat Shah menewaskan sekitar 4000 prajurit Aceh.
Solichin Salam menjelaskan, “…Malahayati merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan sang suami yang telah gugur di medan perang. Tapi hatinya marah dan geram. Dia mengajukan permohonan kepada Sultan al-Mukammil untuk membentuk sebuah Armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semuanya para wanita janda, yang suami mereka telah gugur dalam pertempuran Teluk Haru.
Permohonan Malahayati ini dikabulkan Sultan, untuk itu …Laksamana Malahayati diangkat sebagai Panglima Armadanya. Armada tersebut dinamakan Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dengan mengambil Teluk Kraung Raya sebagai pangkalannya….”
Armada Inong Balee
Pada awal pembentukannya Armada Inong Balee berkekuatan sekitar 1000 orang janda yang merupakan istri-istri dari para prajurit yang gugur di Teluk Haru. Seiring berjalan waktu, kekuatan tempur Inong Balee semakin besar, dan anggotanya tidak lagi hanya para prajurit perempuan dari kalangan janda.
Namun juga dari kalangan gadis muda yang pemberani. Sehingga, Pasukan Inong Balee menjadi kekuatan tempur elite perempuan angkatan laut Aceh Darussalam. Dalam hal ini, Laksamana Malahayati sukses membangun dan memimpin kekuatan tempur para prajurit perempuan Aceh Darussalam.
Pada 1599 M, Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman memimpin armada dagang Belanda. Mereka berlabuh di Banda Aceh. Namun memiliki persenjataan layaknya kapal perang. Mereka mendapatkan perlakuan yang layak. Namun, kemudian mereka mengkhianati kepercayaan sultan dengan melakukan manipulasi dagang, mengacau, menghasut, dan sebagainya. Sehingga, sebagaimana penjelasan Solichin Salam.
Ia menjelaskan bahwa, “Bagi Sultan tidak ada jalan lain selain menugaskan kepada Panglima Armada Inong Balee Laksamana Malahayati untuk menyelesaikan pengkhianatan tersebut.”Armada Inong Balee menyerbu kapal-kapal Belanda yang menyamar sebagai kapal dagang.
Pertempuran satu lawan satu berlangsung di atas geladak kapal-kapal Belanda. Cornelis de Houtman mati ditikam oleh Malahayati sendiri dengan rencongnya, sementara Frederijk de Houtman ditawan.” Keberhasilan Armada Inong Balee dalam meringkus Armada Belanda yang pimpinan De Houtman bersaudara, menjadi salah satu bukti kehebatan para prajurit perempuan di bawah kepemimpinan Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati bersama pasukan Inong Balee-nya bukan sekadar pemanis suasana perang. Armada ini menjadi salah satu pasukan elite dalam angkatan laut Aceh Darussalam yang berjuang melawan gangguan Portugis hingga Belanda. Hal ini membuktikan bahwa dalam pentas sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dalam hal ini Aceh Darussalam, terdapat banyak aktor utama dari kalangan perempuan Nusantara. []