Mubadalah.id – Semua makhluk pasti merasa bahagia apabila menerima perlakuan secara adil oleh sesama. Pada saat keadilan tidak ia dapatkan, maka manusia akan saling bersiteru sehingga berujung pada terciptanya konflik dan perpecahan. Jika demikian, jangan berharap perdamaian akan terasa. Karena salah satu indikator kebahagian dan perdamaian ialah berupa menciptakan keadilan itu sendiri.
Namun semua makhluk menyadari, bahwa menciptakan keadilan yang haq hanya dapat terberi oleh-Nya, sehingga yang dilakukan manusia adalah berusaha untuk mendekati keadilan tersebut. Yakni melalui tanda-tanda yang diberikan oleh-Nya (baik melalui wahyu, maupun keteladanan rasul-Nya).
Wahyu dan keteladanan tersebut telah sampai kepada kita semua dalam bentuk teks, sehingga mencari keadilan dalam teks merupakan sesuatu yang harus kita upayakan guna mewujudkan teks-teks agama yang berkeadilan, membahagiakan, dan mendamaikan bagi semua relasi pada makhluk.
Ya, semua makhluk, tidak hanya antara laki-laki-perempuan, tetapi juga antara suami-istri, muslim dan non muslim. Selain itu, arab dan non arab, manusia dan lingkungan, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana proses menciptakan keadilan dan perdamaian melalui teks? Berikut penjelasan KH. Faqihudin Abdul Kodir yang telah penulis rangkumkan dalam beberapa poin di bawah ini:
Proses Menciptakan Keadilan dan Perdamaian Melalui Teks
Pertama, Modal. Dalam mencari keadilan guna mewujudkan perdamaian melalui teks, hal yang harus ada ialah modal, modal di sini ada dua, modal eksternal dan modal internal. Modal eksternal tentunya adalah teks itu sendiri, dan modal internal yang berupa akal dan pengetahuan. Modal internal berfungsi untuk mengelola teks sehingga menghasilkan sebuah makna. Dalam modal internal yang berupa akal dan pengetahuan ini, ada yang namanya negoisasi, yakni kondisi disaat pengetahuan dan realita yang dimiliki seseorang tidak sejalan/sesuai.
Maka menjadi tidak mengherankan mengapa fatwa atas suatu hal bisa berbeda-beda, salah satu faktornya adalah karena proses negoisasi antar penafsir yang berbeda-beda. Termasuk dalam mengelola teks al-Rijalu qawwamuna ala al-Nisa contohnya, penafsiran yang dihasilkan akan sangat beragam, tergantung bagaimana penafsir mengelola modal internal yang dimiliki.
Negosiasi Teks
Kedua, Pemahaman atas Konteks. Menurut Kiai Faqih, pada negoisasi teks, memerlukan kemampuan untuk memahami konteks di mana kita berada, rujukan pilihan yang kita gunakan, para pendengar, dan hal lainnya. Supaya siapapun itu dapat mempertanggungjawabkan penafsiran atas teks yang telah terpilih.
Kiai Faqih menegaskan, hidup adalah tentang pilihan, manusia tidur sekalipun ia akan menuntut untuk melakukan pemilihan atas apa yang tersedia. Oleh karena itu, sangat penting untuk memaknai teks berdasarkan apa yang telah terpelajari dengan melihat konteks yang kita hadapi.
Penafsir Memiliki Sikap Tanggung Jawab
Ketiga, Sikap Bertanggungjawab. Dalam menghasilkan teks yang berkeadilan, seorang penafsir seyogyanya memiliki sikap bertanggungjawab. Tanggung jawab di sini merupakan visi besar Islam, rahmatan lil alamin. Bagaimana teks tersebut dapat menjadi rahmah tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk makhluk lainnya, itu adalah tanggung jawab para penafsir. Jangan sampai tafsiran atas teks hanya menjadi rahmah bagi satu kelompok, dan musibah bagi kelompok lainnya.
Tentu ini adalah penafsiran yang tidak berkeadilan. Dengan demikian, tidak pula mengherankan, mengapa agama kerap digunakan untuk menindas kaum yang rentan, di sinilah letak permasalahannya, yakni penafsiran-penafsiran yang tidak bertanggungjawab yang hanya dihasilkan atas kebutuhan penafsir, bukan atas keadilan.
Tanggung jawab yang dimaksud juga merupakan salah satu dari misi penyempurnaan akhlak al-karimah. Karena dalam hidup, kita hanya bisa memilih antara yang baik atau buruk, dan serupanya. Sehingga yang membuat kita tetap menjadi orang yang sadar sebagai hamba Allah Swt dan memiliki mitra yang harus baik relasinya adalah pilihan yang ahsan.
Mengutip Ibnu Farabi, Kiai Faqih mengatakan bahwa apa yang kita bagikan, beserta rujukannya, itulah yang menjadi pertanggungjawaban pribadi, bukan tanggungjawab orang-orang yang kita jadikan sebagai rujukan. Dari sini, masih adakah yang berani berbagi narasi-narasi penafsiran agama yang diskriminatif? Lebih berhati-hati, itu kelak menjadi tanggungjawab kita lho!
Menjadi Inspirasi Kebaikan
Keempat, Inspirasi Kebaikan. Menurut Kiai Faqih, dalam membaca teks hendaknya seseorang dapat memiliki inspirasi-inspirasi kebaikan yang terdapat di dalamnya. Inspirasi ini haruslah merupakan titik utama dalam perwujudan visi dan misi Islam. Namun dalam realitanya, penggunaan modal berikut inspirasinya banyak terdominasi oleh kaum laki-laki, sehingga peran-peran tokoh perempuan tenggelam.
Padahal fakta sejarah dan modal yang ada dengan apik menuliskan tentang tokoh-tokoh yang hebat, baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja jarang menjadi modal rujukan dan inspirasi yang berimbang dalam dunia intelektual Muslim. Seperti modal hadis tentang mencium tangan suami oleh istri yang dapat menggugurkan dosa. Teks ini dapat juga kita maknai/inspirasi sebagai pengingat kebenaran, menganalogikannya adalah tanggung-jawab dari sang pemakna.
Bagi Kiai Faqih, dengan mencium tangan suami, ia lebih rida dan senang. Sehingga tercatatlah amal baik dan pengurangan dosa yang tercatat oleh para malaikat. Mari mencari inspirasi kebaikan di balik makna-makna teks untuk kebahagiaan bersama!
Strategi Mewujudkan Visi Misi Islam
Kelima, Strategi. Saat seseorang dapat menemukan keadilan dalam teks, tentunya narasi keadilan itu harus tersampaikan untuk kemaslahatan umat. Jika seseorang memilih untuk menyampaikannya, maka yang harus ia miliki adalah strategi. Strategi adalah komponen penting dalam mewujudkan visi dan misi Islam. Karena ia tidak lain merupakan cara bagaimana makna yang ingin kita sampaikan dapat sampai kepada mereka untuk kita ipahami.
Tentu akan timbul perdebatan, namun perdebatan bukanlah hal yang harus kita tindak-lanjuti, demikian tegas Kiai Faqih. Perdebatan berbeda dengan diskusi, tidak ada yang dapat kita hasilkan dari perdebatan, sehingga tidak ada gunanya dalam konteks pengetahuan. Strategi adalah cara, tentang bagaimana makna tetap tersampaikan, kalaupun tidak langsung melalui kita, makna itu tetap bisa sampai melalui siapa saja, dan di sinilah strategi yang harus kita pikirkan.
Tentang menyampaikan tafsir berkeadilan ini, Kiai Faqih mengatakan, ”Ada tidak adanya kita, bumi tetap akan berputar, tidak perlu menghabiskan energi untuk mereka yang tidak melirik pada kita, melainkan pikirkan tentang diri sendiri, dan orang-orang yang masih akan menerima kita, bukan mereka yang menolak kita. Ini kita sebut pula sebagai ketaqwaan, yakni kesadaran dan respon diri bahwa kekuatan dan segala-galanya hanya milik-Nya.” []