Mubadalah.id – Sebelum melangkah lebih jauh, Nasaruddin Umar dalam buku Argumentasi Kesetaraan Gender Perpektif Al-Qur’an menjelaskan perbedaan makna gender dan sex. Ia menyebutkan bahwa, gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan sosial-budaya. Sedangkan sex, secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan anatomi biologis (meliputi hormon dalam tubuh, anatomi fisik, dan reproduksi).
Laki-laki dan perempuan secara fisik berbeda, karena sudah menjadi kodrat, namun tidak untuk tataran sosial-budaya. Walaupun dalam keseharian perempuan masih ditempatkan sebagai second people (objek). Penempatan perempuan sebagai objek itulah yang membuat tidak mendukung terciptanya sumber daya perempuan yang kuat, sehingga persoalan ini mendesak untuk dituntaskan.
Karenanya, dalam amatan Nasaruddin Umar, ada 5 pilar penting yang dapat digunakan untuk menganalisa kesetaraan gender tersebut yaitu;
Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (‘abdun).
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan. Hal tersebut ditegaskan dalam firman-Nya QS. Al-Zariyat [51]: 56
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
Dihadapan Tuhan, sebagai kapasitas hamba (‘abdun), semua adalah setara, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tolak ukur hamba ideal dalam Al-Qur’an adalah ia memiliki derajat taqwa, ‘indallahi atqakum. Sehingga, tolak ukur tersebut tidak bisa ditempelkan pada jenis kelamin tertentu, suku, bangsa ataupun etnis tertentu. Al-Qur’an menggambarkan hamba ideal ini dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sedangkan kekhususan-kekhususan yang dianugerahkan kepada laki-laki, seperti seorang suami sebagai pelindung perempuan (QS. Al-Nisa’ [4]: 34), menjadi saksi yang efektif (QS. Al-Baqarah [2]: 282), dan memperoleh warisan lebih banyak (QS. Al-Nisa’ [4]: 11), tetapi semua itu tidak lalu menjadikan laki-laki menjadi hamba yang lebih unggul dari perempuan. Sebab masing-masing dari mereka, laki-laki dan perempuan, akan mendapatkan mendapat sesuai apa yang telah mereka abdikan untuk Tuhannya (QS. An-Nahl [16] : 97).
Kedua, laki-laki dan perempuan sebagai Khalifah di Muka Bumi
Maksud dan tujuan selanjutnya adalah, selain sebagai hamba yang patuh dan taat akan perintahnya,’abid, menjadi khalifah di bumi. Hal tersebut ditegaskan dalam QS. Al-An’am [6] : 165 dan QS. Al-Baqarah [2]: 30.
“Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-An’am [6] : 165
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”. QS. Al-Baqarah [2]: 30
Dari dua ayat di atas, kata khalifah, tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin, kelompok, dan etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama sebagai khalifah.
Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial
Perjanjian primordial antara hamba (laki-laki dan perempuan) dan sang khaliq terjadi ketika dalam rahim ibunya. Hal tersebut terekam dalam QS. Al-‘Araf [7]: 172:
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalh orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Fakhruddin al-Razi, ketika mengomentari ayat di atas berkata bahwa, tidak ada seorang anak pun yang terlahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan mereka disaksikan oleh para malaikat. Sehingga tidak ada seorang pun yang mengatakan “Tidak”. (Mafatih al-Ghaib, Juz 15, hlm. 56). Ayat di atas juga memiliki pesan bahwa tanggung jawab dalam Islam secara individual dimulai sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan.
Keempat, Adam dan Hawa, Terlibat secara Aktif dalam drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni tentang cerita tentang Adam dan pasangannya di surga sampai ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti (1) QS. Al-Baqarah [2]: 35 yang bercerita tentang keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga.
(2) keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan. Terekam dalam QS. Al-A’raf [7]: 20. (3) Sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi, disebutkan dalam QS. Al-A’raf [7]: 22. (4) Sama-sama memohon ampunan dan sama-sama diampuni Tuhan, tercatat dalam QS. Al-A’raf [7]: 23. Terakhis, (4), setelah di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi serta saling membutuhkan, tertuang dalam QS. Al-Baqarah [2]: 187.
Terakhir, kelima, laki-laki dan perempuan memiliki potensi meraih prestasi.
Kesempatan untuk mendapatkan prestasi yang maksimal antara laki-laki dan perempuan tidak tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Hal tersebut terkonfirmasi secara khusus dalam 3 ayat Al-Qur’an, yakni QS. Ali ‘Imran [3]: 195, QS. An-Nisa [4]: 124, dan QS. An-Nahl [97].
Tiga ayat di atas mengisysaratkan bahwa konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak meski dimonopoli oleh satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih prestasi yang optimal.
Oleh karena itu, tidak seharusnya perempuan ditempatkan pada second people. Sebab salah satu obsesi Al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Kesetaraan dan Keadilan dalam Al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Mari berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khoirot. Wallhua’alam bish-shawab. []