Mubadalah.id – Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw tahun ini terasa sangat panjang. Hampir sebulan penuh, dari kota ke kota, kampung ke kampung, hingga komunitas ke komunitas, perayaan itu terus digelar. Ada yang sederhana di surau, ada pula yang meriah dan mewah dengan dilengkapi tabuhan rebana. Rindu kepada Rasulullah Saw memang tidak sepatutnya dibatasi tanggal; bahkan tak pernah usai.
Namun, dari rangkaian itu, semestinya lahir pula ruang untuk merenung lebih dalam: apa arti kelahiran sekaligus syafaat Nabi bagi umat, yang kini banyak di antaranya letih menghadapi beratnya hidup?
Kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi ekonomi semakin menekan. Harga beras naik, biaya sekolah kian berat, sementara hasil kerja sering tak sebanding dengan kebutuhan. Hidup terasa seperti memasuki pasar dengan uang pas-pasan: harus pandai menimbang, memilih yang mendesak, dan menunda yang lain.
Dalam suasana seperti ini, Maulid Nabi sejatinya bukan pesta, tetapi ruang pengharapan. Dari teladan Nabi terpancar syafaat, penopang batin yang menguatkan langkah di tengah kesulitan.
Syafaat kerap dipahami hanya sebagai pertolongan Nabi di akhirat, saat manusia menanti hisab. Pemahaman itu memang benar, tetapi sepatutnya tidak berhenti di sana. Syafaat juga hadir sebagai spirit, teladan, dan hikmah hidup Nabi yang dapat kita rasakan hari ini.
Ia adalah energi yang menyalakan kesabaran, menumbuhkan keberanian, menuntun kesederhanaan, dan menjaga optimisme. Syafaat Nabi bukan sekadar janji di akhirat, melainkan cahaya yang menguatkan kehidupan sehari-hari.
Pertama, syafaat kesabaran
Allah Swt berfirman:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi?” (QS. Adh-Dhuha: 6).
Nabi lahir tanpa ayah dan kehilangan ibu di usia belia. Seorang yatim di Mekah kala itu dipandang rendah, tanpa jaminan hidup. Dari luka itu tumbuh pribadi yang lembut dan penuh empati. Kesabaran Nabi bukan pasrah, melainkan daya tahan untuk tetap melangkah meski getir.
Kesabaran semacam ini ibarat singkong yang direbus. Awalnya keras dan hambar, tetapi dengan kesabaran berubah lembut dan manis. Demikian pula hidup: kepahitan dapat berbalik menjadi kekuatan. Inilah syafaat yang menjaga hati tetap tabah menghadapi derita ekonomi.
Kedua, syafaat kesederhanaan
Rasulullah Saw bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali ia pernah menggembala kambing.” (HR. Bukhari).
Menggembala kambing dianggap pekerjaan rendah. Namun, di sanalah Nabi belajar sabar, telaten, dan peka terhadap yang lemah. Dari pengalaman itu tumbuh kesederhanaan.
Kesederhanaan hari ini terlihat ketika sebuah keluarga bertahan dengan sayur bening dan sambal, tetapi tetap hangat karena dimakan bersama. Atau ketika seorang ibu mengatur uang belanja agar cukup hingga akhir bulan, meski harus mengurangi jatahnya sendiri. Kesederhanaan bukan sekadar hemat, melainkan latihan hati agar lapang dan ikhlas.
Ketiga, syafaat kecerdasan dan keberanian
Ketika suku-suku di Mekah hampir berperang memperebutkan kehormatan meletakkan Hajar Aswad, Nabi Saw yang masih muda tampil dengan kecerdasan. Batu itu diletakkan di tengah kain, lalu semua kabilah diminta ikut mengangkat. Pertikaian reda, kehormatan pun terjaga.
Kecerdasan dan keberanian inilah syafaat di masa sulit. Cerdas dalam memilih, berani menolak jebakan utang, dan bijak menimbang kebutuhan. Seperti pedagang pasar yang tahu kapan menawar, kapan membeli, dan kapan menahan diri. Keberanian menjaga martabat meski hidup terbatas.
Keempat, syafaat peran perempuan
Sejarah Islam berdiri di atas peran perempuan. Khadijah menopang dakwah dengan harta dan kesetiaan. Aisyah menyalakan ilmu melalui ribuan hadis. Ummu Salamah menuntun keputusan umat dengan kebijaksanaan. Mereka bukan pelengkap, melainkan penentu arah perjuangan.
Hari ini, peran itu tetap nyata. Perempuan menjaga rumah tangga, mendidik anak dengan doa, menambal ekonomi lewat usaha kecil, serta menguatkan masyarakat melalui gotong royong. Pesantren putri pun melahirkan santri yang peka terhadap persoalan sosial dan lingkungan. Syafaat Nabi mengalir melalui tangan perempuan yang bekerja senyap, tetapi menegakkan peradaban.
Kelima, syafaat harapan dan optimisme
Dalam Perang Khandaq, kaum Muslimin lapar hingga mengikat batu di perut. Namun Nabi justru menyampaikan kabar gembira, bahwa masa depan akan gemilang. Optimisme itu ditegaskan Al-Qur’an:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا • إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh, bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6).
Ayat ini diulang dua kali, menegaskan bahwa setiap kesulitan selalu ditemani jalan keluar. Hidup ibarat menumbuk padi di lesung: melelahkan, beras berhamburan, keringat bercucuran. Namun dari proses itu lahir nasi hangat yang mengenyangkan keluarga. Demikianlah optimisme: dari letih lahir penguat, dari derita lahir daya.
Lima syafaat Nabi—kesabaran, kesederhanaan, kecerdasan dan keberanian, peran perempuan, serta optimisme—adalah penopang nyata. Ia bukan janji di akhirat saja, tetapi juga teladan dan hikmah yang dapat dipelajari sekarang. Syafaat menjaga langkah agar tidak rapuh, menguatkan hati agar tidak putus asa, dan menyalakan harapan di tengah ekonomi yang melemah.
Maulid Nabi akan terus relevan selama ia dihidupkan dalam praktik sehari-hari: tabah menghadapi getir, sederhana dalam bersikap, cerdas mengambil keputusan, meneguhkan peran perempuan, dan menjaga optimisme sosial. Dari situlah cinta kepada Rasulullah berubah menjadi energi penghidup, bahkan di tengah keterbatasan yang mencekik. Wallahu a‘lam bis-shawab. []
*Disajikan dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, bersama Jamiyah Pengajian Jumat Legian, di Asrama Al-Nashir Al-Manshur, Pondok Pesantren KHAS Putri Kempek Cirebon, Jumat, 26 September 2025.