Cantik merupakan suatu kata yang menggambarkan keindahan. Biasanya cantik selalu dilekatkan pada perempuan. Persepsi kecantikan itu sendiri merupakan sebuah penafsiran dalam masyarakat terkait standar dalam mendefinisikan makna cantik.
Berbicara tentang standar kecantikan tentu tidak lepas dari bagaimana pandangan kita tentang definisi cantik tersebut. Banyaknya pandangan atau persepsi tentang kecantikan membuat tolok ukur atau nilai tentang kecantikan itu sendiri menjadi kian beragam.
Stigma perempuan di era modern membentuk sebuah konstruksi penindasan gaya baru yang melahirkan sebuah pemahaman mengenai definisi cantik yang ideal untuk perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi kehilangan identitasnya sehingga tidak mampu mengekspresikan dirinya dan dengan mudah.
Ditambah lagi dengan industri dan pemilik modal, yang menjadikan perempuan sebagai lahan pundi-pundi keuntungan mereka. Sehingga eksistensi perempuan menjadi dibatasi dalam pola yang sama, dengan trend kecantikan yang senantiasa berubah dalam agenda penggalian modal korporasi dan budaya patriarki
Dua hal tersebut membuat perempuan selalu berupaya untuk dianggap cantik, dan pada akhirnya perempuan sendirilah yang berlomba-lomba untuk terlihat cantik dengan berbagai cara bahkan terkadang dengan menyiksa diri sendiri demi mencapai kecantikan yang paripurna sesuai dengan standarisasi yang diciptakan industri.
Sadarkah bahwa kita sudah mengalami pergeseran pandangan pada masyarakat? di mana sudah mulai memaknai cantik adalah dengan melihat kulit puti,h seperti putihnya perempuan di Barat atau Asia Timur, Korea dan Jepang. Sedangkan ketika melihat ciri khas kulit yang dimiliki masyarakat Indonesia yakni dengan warna kulit kuning langsat, hitam manis dan sawo matang.
Gambaran perempuan ideal mempengaruhi pandangan masyarakat. Keinginan untuk memenuhi permintaan sosial tentang bagaimana seseorang harus tampil secara ideal telah mempengaruhi bagaimana seorang individu bersikap.
Salah satu fakta yang menarik ditemukan dalam penelitian Lindridge dan Wang, salah satu korespondennya memperlihatkan bahwa pengaruh dari ruang-ruang pribadi seperti keluarga juga mempengaruhi perempuan Cina untuk dapat tampil sebagai “perempuan yang ideal.”
Sesuai yang disampaikan salah satu korespondennya bahwa ia harus tampil ‘cantik’ tidak lepas dari dorongan keluarganya, ibu dari salah satu respoden wanita dalam penelitian yang dilakukan oleh Lindridge dan Wang menyarankan anaknya untuk tampil cantik agar anaknya dapat sukses dalam hidup.
Koresponden penelitian Lindridge dan Wang, memperlihatkan bahwa keinginan seorang individu yang ingin memenuhi tuntutan tampil sebagai seorang perempuan karena adanya pengaruh dari ruang pribadinya yakni keluarga untuk menjadi cantik akan membuat seorang perempuan lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan.
Makna kecantikan kemudian menekan kepada perempuan untuk harus memenuhi standar sosial tersebut. Merujuk kepada pernyataan Weedon, perempuan secara sadar dan tidak sadar kemudian berusaha memenuhi standarisasi cantik agar dapat terkoneksi dengan dunia.
Namun yang menjadi pertanyaan saat ini apa definisi cantik itu yang sesungguhnya? Mengapa perempuan rela untuk mengubah dirinya sendiri agar menjadi cantik sesuai dengan ukuran kecantikan yang dipandang oleh masyarakat? Atau, haruskah perempuan meninggalkan seluruh produk yang di tawarkan oleh industri agar menjadi cantik yang sebenarnya?
Nah, sebelumnya saya ingin mendudukkan kembali pembahasan. Cantik disini bukan berarti orang tidak boleh cantik, bukan demikian pemaknaannya. Paradigma kecantikan bukan berarti harus kita hilangkan dan kita lenyapkan. Tidak, bukan seperti itu.
Jikalau ada perempuan tidak bergaya kiri- kanan perempuan sudah tentu menarik. Dan ketika perempuan tidak memakai make up, perempuan juga sudah menarik apalagi ketika perempuan memakai make up maka akan terlihat lebih menarik.
Nah yang menjadi persoalan adalah ketika cantik itu distandarisasikan harus sama, bahwa seluruh negara atau suku menganggap bahwa putih itu cantik, lalu bagaimana dengan perempuan yang memiliki warna kulit yang lebih gelap, apakah perempuan tersebut tidak cantik?
Itulah mengapa pada akhirnya perempuan memiliki inisiatif untuk merubah warna kulitnya untuk menjadi putih dan tidak percaya diri dengan warna kulit aslinya. Di sinilah letak persoalan cantik itu yang sebenarnya.
Bila menggunakan alat ukurnya adalah inderawi (mata) yang bersifat fisikal, maka ukuran cantik itu akan teridentifikasi dengan kulit putih, hidung mancung, paras rupawan, molek. Bila menggunakan alat ukurnya non fisikal (non materi) seperti jiwa, batin, maka cantik akan teridentifikasi dengan perilaku santun, sikap ramah, baik hati, penyayang dan lain lain
Selain itu, jika kecantikan itu di ukur dengan alat ukur inderawi maka kecantikan sifatnya relatif, temporer bahkan akan punah seiring bertambahnya usia. Misalkan, sewaktu muda perempuan itu cantik, namun apa yang terjadi ketika ia sudah tua, apa kulitnya akan mulus seperti saat muda dulu?
Dari pembahasan ini, yang terpenting adalah kita jangan hanya berpikir dan menutup mata bahwa cantik itu hanya tentang fisik semata, cantik fisik tidak ada kecerdasannya. Cantik juga bisa berupa ide, kecerdasan, dan intelektual.
Walau seandainya wajah atau paras kita cantik tapi tidak punya kapasitas intelektual yang mumpuni, semisal diajak ngobrol kita tidak nyambung maka hal tersebut juga tidak ada gunanya. Dan kalaupun kita berwawasan luas, cerdas, pintar tapi kalau kita kusut, kumal dan tentunya itu juga tidak akan menarik.
Maka dari itu cantik itu ada dari dalam dan luar diri kita. Ada dari hati dan mata. Cantik dalam ranah fisikal dan cantik dalam ranah non fisikal. Keduanya memiliki substansi yang berbeda. Yang pertama akan termanifestasi dalam bentuk fisik yang semuanya mengejawantah dalam dunia material.
Namun sayangnya kecantikan versi fisikal bersifat temporer seiring berjalannya waktu, bergulirnya usia, dan berputarnya waktu. Poinnya kecantikan fisikal itu tidaklah abadi dan yang kedua kecantikan akan termanifestasi dalam bentuk lain, seperti kecerdasan (kognitif, afektif dan psikomotorik).
Kecantikan seperti ini dapat kita lihat dalam kisah romansa Qais dan Laila, dengan apa yang di sebut dengan cinta. Baik Qais maupun Laila tidak melihat kecantikan dalam perspektif fisikal, namun ia melihat dimensi dalamnya, yakni dimensi non fisikal.
Cantik juga sebuah hasrat terbesar untuk membangun masa depan yang cemerlang, dengan adanya upaya memaksimalkan kualitas diri dalam mencapai keterbukaan dan keleluasaan berpikir. Sehingga ke depan diharapkan, kita memiliki kesantunan dan kebijaksanaan di setiap memandang kecantikan perempuan. []