Mubadalah.id – Saat kita sedang mengalami cobaan dalam kehidupan, seringkali kita akan menjadi sedih, putus asa, dan merasa menjadi satu-satunya orang yang paling menderita di dunia. Seolah hidup tanpa harapan lagi. Cobaan yang dihadapi seakan tak sebanding dengan kemampuan yang kita miliki. Sehingga kita menjadi pesimis dan beranggapan bahwa kita tidak mungkin bisa melewatinya. Pertanyaan demi pertanyaan datang memasuki kepala kita bagai musuh yang mengajak berperang di setiap harinya.
Kepala kita menjadi bising, ramai dengan bisikan suara-suara yang meragukan, menggelisahkan, mencemaskan dan menakutkan kita. Harapan hilang, timbul, tenggelam. Meskipun kita sedang sendirian, mendekam sepi di pojok kamar tapi kebisingan tersebut tetap terdengar. Seakan kita terkena gangguan mental. Merasa seperti pengidap penyakit bipolar ataupun skizofrenia.
Begitu sakit kepala kita sehingga kita menjadi sering terjaga di malam hari karena terlalu sering memikirkan banyak hal (overthingking). Ingin sekali berteriak “Kenapa dunia ini tidak adil? Kenapa aku selalu menderita? Kenapa? Kenapa aku tak bisa merasakan bahagia?”. Jiwa kita tergoncang, bak jatuh ke dalam jurang kegelapan, diri kita gemetaran menghadapi ketidakpastian, merasa sendiri, sunyi, sepi karena harapan-harapan kita tak terwujud di dunia.
Begitulah sekiranya gambaran manusia modern abad ini, kebanyakan kita memiliki harapan yang besar di kehidupan namun tidak bisa memaknai harapan dengan benar. Kesalahan dalam memaknai harapan akan menimbulkan banyak kesalahan saat memutuskan suatu tindakan sosial, baik secara kolektif ataupun personal.
Sebagaimana Erich Fromm tuliskan dalam bukunya yang berjudul Revolusi Harapan di bab 2: “Harapan adalah unsur penentu dalam sembarang upaya untuk membawa perubahan sosial ke arah sifat hidup, kesadaran diri, dan akal yang lebih besar. Tetapi sifat asal harapan seringkali disalahpahami dan dicampuradukkan dengan sikap-sikap yang tidak ada kaitannya dengan harapan, bahkan faktanya justru bertentangan.”
Dalam buku tersebut Fromm juga menjelaskan secara detail perbedaan antara harapan dengan nafsu. Harapan bisa kita definisikan sebagai suatu hasrat atau keinginan untuk mewujudkan, mengada dan memiliki sesuatu di kehidupan, namun apakah orang yang berhasrat untuk memiliki mobil, rumah, dan harta benda yang melimpah bisa disebut sebagai orang yang penuh harap? Atau mereka hanya sekedar orang yang penuh dengan nafsu duniawi?
Untuk mengetahui hal ini, kita harus bisa mengenali sifat-sifat harapan lebih dekat. Suatu hal bisa kita katakan sebagai harapan apabila memiliki kualitas kepasifan untuk “menunggu” sampai harapan tersebut menjadi fakta. Kepasifan tersebut akan mendorong manusia untuk segera mewujudkan harapannya, ini adalah proses di mana manusia akan mengada suatu yang tidak ada dan memastikan suatu yang tidak pasti—dalam kondisi ini harapan menjadi sangat berkaitan dengan keimanan dan ketabahan.
Harapan juga tak terlepas kaitannya dengan nafsu, dalam beberapa teori ilmiah Sigmund Freud menganggap bahwa semua tindakan manusia didasari oleh nafsu seksual. Namun dalam Islam kita mengenal nafsu dengan banyak macam, tidak hanya nafsu seksual saja.
Secara umum nafsu yang kita kenal dalam Islam ada nafsu mutmainnah, yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan, lalu ada nafsu lawwamah yang mendorong manusia untuk memenuhi keinginan-keinginan namun masih ada pengontrolan dan memiliki kesadaran untuk lebih mengutamakan sesuatu yang dibutuhkan, dan yang terakhir ada nafsu amarah yang mendorong manusia untuk memenuhi keinginan-keinginan tanpa pengontrolan sehingga menimbulkan banyak keserakahan, kerusakan dan kehancuran bagi pelakunya.
Abu Hamid Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa nafsu tidak semuanya buruk, nafsu tidak harus kita binasakan sebab ia merupakan bagian dalam diri kita yang tidak mungkin bisa kita binasakan. Hanya saja perlu adanya pengontrolan atas nafsu tersebut agar manusia tak dikendalikan oleh nafsunya namun ia sendiri yang mengendalikan nafsunya sesuai dengan kehendaknya.
Jika Freud menganggap bahwa nafsu seksual merupakan akar dari segala perbuatan manusia, di Islam kita bisa mengenal nafsu dengan level yang berbeda, dan akar dari tindakan manusia bukanlah nafsu melainkan kehendak manusia sendiri atas nafsu.
Nafsu menjadi bagian penting dalam perwujudan harapan, ia adalah bahan bakar yang mendorong manusia untuk bergerak mewujudkan harapannya. Harapan bisa menjadi buruk apabila ia didorong oleh nafsu yang buruk dan hanya memfokuskan pada kepuasan-kepuasan sementara dan konsumsi tanpa batas untuk mempertahankan kenikmatan dunia yang fana.
Harapan juga akan menjadi baik apabila didorong oleh nafsu yang baik, memungkinkan seseorang untuk bersikap altruis, suka menolong sesama, toleran dan berbelas kasih. Al-Qur’an menyebutkan dalam Surat Al-Fajr bahwa nafsu mutmainah akan mendorong kita menuju surga, tempat yang damai, tenang, nyaman dan penuh kebahagiaan.
يٰۤاَ يَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۖ
“Wahai jiwa yang tenang!” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 27)
ارْجِعِيْۤ اِلٰى رَبِّكِ رَا ضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 28)
فَا دْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِى ۙ
fadkhulii fii ‘ibaadii
“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,”
(QS. Al-Fajr 89: Ayat 29)
وَا دْخُلِيْ جَنَّتِى
wadkhulii jannatii
“dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
(QS. Al-Fajr 89: Ayat 30)
Surga di sini bisa kita maknai menjadi dua macam, yaitu pemaknaan surga sebagai sebuah tempat setelah kematian dan pemaknaan surga sebagai kondisi jiwa seseorang yang masih hidup. Dalam beberapa literatur dunia menyatakan bahwa surga bersifat transenden (tak mampu digapai oleh akal manusia) keberadaannya sulit sekali untuk dibuktikan sehingga beberapa orang mengingkari keberadaannya.
Namun keberadaan surga bisa kita rasakan sebelum kematian datang. Angin-angin surga selalu berhembus pada setiap jiwa manusia dan meneduhkan hati orang-orang yang beriman kepada-Nya. Hembusan angin surga tersebut yang membuat hati kita menjadi tenang, bahagia, nyaman setiap siang dan malam. Ini merupakan satu kenikmatan surga yang bisa kita rasakan selama kita masih hidup di dunia, surga yang kita maknai sebagai kondisi jiwa manusia.
Akar kata dari surga adalah bahasa sansekerta, berasal dari kata “svar” dan “ga”. Svar berarti cahaya dan ga berarti pergi. Jadi surga dalam artian lengkap adalah perjalanan menuju cahaya. Dalam perjalanan menuju cahaya, seorang pejalan akan diterangi pancaran dari cahaya-Nya, atau melihat kemerlip sinar yang akan menghantarkannya menuju sumber cahaya sejati.
Surga adalah tempat di mana cahaya selalu terpancar, penuh dengan penerangan. Pencaran, percikan, kilatan ataupun kemerlip cahaya yang kita lihat tersebut yang bisa kita maknai sebagai salah satu dari sedikit kenikmatan surga yang bisa kita nikmati di dunia sebagai suatu kondisi jiwa yang tenang.
Problematika manusia abad-21 adalah kesalahan mereka dalam memaknai harapan, sehingga mereka tak bisa menikmati kenikmatan surga selama hidupnya. Harapan masyarakat modern seakan tak punya kualitas pasif-nya. Ketiadaan kualitas pasif tersebut memungkinkan manusia untuk kehilangan sifat-sifat religiusnya dan tak lagi memiliki lebih banyak waktu untuk berkontemplasi dengan kehidupan.
Manusia lebih memilih tinggal di antara tumpukan beton dan aspal ketimbang dengan alam, kemajuan teknologi juga telah memanjakan manusia dan membuat mereka terbiasa untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat tanpa harus menunggu. Keimanan dan ketabahan menjadi terkikis, sebab manusia telah berpikir secara praktis dan mengabaikan rasa emosionalnya dalam menjalani kehidupan.
Manusia menjadi terlalu ambisius, optimis yang berlebihan dan tak jarang bersikap arogan untuk mewujudkan harapannya. Harapan mereka tidak lagi memiliki tujuan yang berarti di kehidupan. Manusia modern kehilangan esensi dari harapannya, tujuan dari harapan yang seharusnya adalah ketenangan jiwa sehingga kita bisa hidup lebih bahagia malah beralih kepada hal-hal yang bersifat materi.
Kenyataannya kita menjadi terlalu sibuk akan pekerjaan kita namun tidak lagi produktif sebagai manusia. Kita terlalu bergantung pada data-data komputer dan hasil produksi untuk bisa menikmati kebahagiaan. Harapan kita menjadi bersifat materialis yang mana kita beransumsi bahwa pencapaian harapan adalah ketika kita bisa menumpuk harta benda sebanyak-banyaknya sehingga kita bisa menguasai dunia.
Terlalu banyak orang yang berambisi untuk menguasai dunia tapi ia sendiri tidak bisa menguasai dirinya sendiri. Hal ini membuat banyak orang terjatuh pada jurang keputusasaan, kehancuran, kekecewaan dan kesedihan. Segala hal yang membuat kehidupan manusia tak lagi tampak cerah bercahaya, wajahnya menjadi suram dan gelap.
Kondisi batin seperti ini bisa kita sebut sebagai kondisi di mana seseorang berada dalam dunia bawah (neraka), dunia yang gelap, tak ada cahaya sehingga ia tak mampu melihat sebenar-benarnya realita, langkahnya tak terarah, jalannya tersesat dan dipenuhi kecemasan.
Adakah yang bisa manusia lihat di kegelapan? Tak ada!
Mata perlu cahaya untuk bisa memandang jalan. Lalu bagaimana manusia bisa melangkah di kehidupan jika kedua bolanya tak mampu menangkap cahaya? Dalam kegelapan, kehidupan adalah sebuah kefanaan yang tak bermakna. Ada salah satu kalimat di kitab al-Hikam karya Ibnu Atha’illah yang berbunyi “Al-kaunu kulluhu zhulmatun wa innamaa anaarahu zhuhuurul haqqi fihi” (Seluruh alam raya adalah kegelapan. Yang membuatnya bercahaya dan terang ialah terbitnya Yang Maha Benar di dalamnya).
Tapi bagaimana cahaya-Nya bisa terbit dalam hati kita, sedangkan diri kita terhijab oleh tembok keinginan-keinginan dan menjadikan materi sebagai tujuan. Bagaimana Allah tidak cemburu? Kalau kita menduakan-Nya dengan harta benda, kekuasaan, titel, dan jabatan.
Seluruh keinginan kita di dunia menghalang-halangi kita untuk mencicipi kenikmatan surga. Padahal pintu surga telah dibuka lebar-lebar setiap harinya, angin surga dibiarkan berhembus keluar oleh malaikat Ridwan agar bisa menyejukkan hati para penghuni dunia.
Untuk bisa menuju surga kita harus bisa mengurangi beban kita di dunia, kurangi bagasi kita agar perjalanan akan lebih ringan untuk mendaki tangga kehidupan. Dalam Zen kita akan mengenal bahwa gelas yang telah terisi penuh tak akan bisa terisi lagi.
Dalam Tao dan Konfusius kita akan mengenal bahwa kosong adalah isi. Sedang dalam Islam kita akan mengenal hakekat kehidupan dengan lebih sederhana “Apa yang kamu berikan, itu yang akan kamu dapatkan”. Kamu harus mengurangi isi pikiran dan hatimu agar bisa menerima cahaya-Nya, setiap hal yang kamu miliki memiliki sedekahnya sendiri-sendiri.
Jangan biarkan dirimu terisi sesak oleh dunia, lepaskanlah, sedikit demi sedikit agar langkahmu menjadi ringan untuk melangkah di kehidupan, agar kamu tak menjadi seperti Atlas yang dibebani dunia di pundaknya. Sehingga nantinya kamu bisa berjalan menuju cahaya.
Sebab perjalanan manusia sejatinya adalah perjalanan menuju cahaya, bukan perjalanan untuk menguasai dunia. Harapan manusia seharusnya adalah untuk bisa mencapai kenikmatan surga bukan sekedar kenikmatan dunia semata. []