Rabu, 20 Agustus 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Konferensi Pemikiran Gus Dur

    Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    Kenaikan Pajak

    Demokrasi di Titik Nadir: GUSDURian Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Pajak dan Kebijakan Serampangan

    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

    PIT SUPI

    Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Hari Kemerdekaan

    Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    Inklusi Sosial

    Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

    Arti Kemerdekaan

    Arti Kemerdekaan bagi Perempuan

    Dhawuh

    Di Bawah Bayang-bayang Dhawuh Kiai: Bagian Dua

    Di Mana Ruang Aman Perempuan

    Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Di Mana Ruang Aman Perempuan dan Anak?

    Upacara Bendera

    Kesalingan dalam Perayaan; Membaca Upacara Bendera dan Pesta Rakyat di Istana

    Arti Kemerdekaan

    Memugar Kembali Arti Kemerdekaan

    Janji Kemerdekaan

    Dari Pati untuk Indonesia: Mengingatkan Kembali Janji Kemerdekaan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Anak Kritis

    Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    Tidak Membedakan Anak

    Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    Kesetaraan Gender

    Pola Pendidikan Anak Berbasis Kesetaraan Gender

    Peran Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak menurut Pandangan Islam

    Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak untuk Generasi Berkualitas

    Hakikat Merdeka

    Kemuliaan Manusia dan Hakikat Merdeka dalam Surah Al-Isra Ayat 70

    Pendidikan Anak

    Hak Anak atas Pendidikan

    Reproduksi

    Pentingnya Edukasi Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Laki-Laki dan Perempuan

    Perubahan

    Mengenal Perubahan Emosi dan Seksualitas pada Remaja

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Konferensi Pemikiran Gus Dur

    Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    Kenaikan Pajak

    Demokrasi di Titik Nadir: GUSDURian Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Pajak dan Kebijakan Serampangan

    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

    PIT SUPI

    Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Hari Kemerdekaan

    Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    Inklusi Sosial

    Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

    Arti Kemerdekaan

    Arti Kemerdekaan bagi Perempuan

    Dhawuh

    Di Bawah Bayang-bayang Dhawuh Kiai: Bagian Dua

    Di Mana Ruang Aman Perempuan

    Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Di Mana Ruang Aman Perempuan dan Anak?

    Upacara Bendera

    Kesalingan dalam Perayaan; Membaca Upacara Bendera dan Pesta Rakyat di Istana

    Arti Kemerdekaan

    Memugar Kembali Arti Kemerdekaan

    Janji Kemerdekaan

    Dari Pati untuk Indonesia: Mengingatkan Kembali Janji Kemerdekaan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Anak Kritis

    Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    Tidak Membedakan Anak

    Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    Kesetaraan Gender

    Pola Pendidikan Anak Berbasis Kesetaraan Gender

    Peran Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak menurut Pandangan Islam

    Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak untuk Generasi Berkualitas

    Hakikat Merdeka

    Kemuliaan Manusia dan Hakikat Merdeka dalam Surah Al-Isra Ayat 70

    Pendidikan Anak

    Hak Anak atas Pendidikan

    Reproduksi

    Pentingnya Edukasi Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Laki-Laki dan Perempuan

    Perubahan

    Mengenal Perubahan Emosi dan Seksualitas pada Remaja

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Makna Harapan Tahun Baru dalam Perspektif Psikoanalisis dan Tasawuf

Begitulah sekiranya gambaran manusia modern abad ini, kebanyakan kita memiliki harapan yang besar di kehidupan namun tidak bisa memaknai harapan dengan benar.

Rizki Eka Kurniawan Rizki Eka Kurniawan
29 Desember 2024
in Featured, Hikmah
0
Harapan

Harapan

333
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Saat kita sedang mengalami cobaan dalam kehidupan, seringkali kita akan menjadi sedih, putus asa, dan merasa menjadi satu-satunya orang yang paling menderita di dunia. Seolah hidup tanpa harapan lagi. Cobaan yang dihadapi seakan tak sebanding dengan kemampuan yang kita miliki. Sehingga kita menjadi pesimis dan beranggapan bahwa kita tidak mungkin bisa melewatinya. Pertanyaan demi pertanyaan datang memasuki kepala kita bagai musuh yang mengajak berperang di setiap harinya.

Kepala kita menjadi bising, ramai dengan bisikan suara-suara yang meragukan, menggelisahkan, mencemaskan dan menakutkan kita. Harapan hilang, timbul, tenggelam. Meskipun kita sedang sendirian, mendekam sepi di pojok kamar tapi kebisingan tersebut tetap terdengar. Seakan kita terkena gangguan mental. Merasa seperti pengidap penyakit bipolar ataupun skizofrenia.

Begitu sakit kepala kita sehingga kita menjadi sering terjaga di malam hari karena terlalu sering memikirkan banyak hal (overthingking). Ingin sekali berteriak “Kenapa dunia ini tidak adil? Kenapa aku selalu menderita? Kenapa? Kenapa aku tak bisa merasakan bahagia?”. Jiwa kita tergoncang, bak jatuh ke dalam jurang kegelapan, diri kita gemetaran menghadapi ketidakpastian, merasa sendiri, sunyi, sepi karena harapan-harapan kita tak terwujud di dunia.

Begitulah sekiranya gambaran manusia modern abad ini, kebanyakan kita memiliki harapan yang besar di kehidupan namun tidak bisa memaknai harapan dengan benar. Kesalahan dalam memaknai harapan akan menimbulkan banyak kesalahan saat memutuskan suatu tindakan sosial, baik secara kolektif ataupun personal.

Sebagaimana Erich Fromm tuliskan dalam bukunya yang berjudul Revolusi Harapan di bab 2: “Harapan adalah unsur penentu dalam sembarang upaya untuk membawa perubahan sosial ke arah sifat hidup, kesadaran diri, dan akal yang lebih besar. Tetapi sifat asal harapan seringkali disalahpahami dan dicampuradukkan dengan sikap-sikap yang tidak ada kaitannya dengan harapan, bahkan faktanya justru bertentangan.”

Dalam buku tersebut Fromm juga menjelaskan secara detail perbedaan antara harapan dengan nafsu. Harapan bisa kita definisikan sebagai suatu hasrat atau keinginan untuk mewujudkan, mengada dan memiliki sesuatu di kehidupan, namun apakah orang yang berhasrat untuk memiliki mobil, rumah, dan harta benda yang melimpah bisa disebut sebagai orang yang penuh harap? Atau mereka hanya sekedar orang yang penuh dengan nafsu duniawi?

Untuk mengetahui hal ini, kita harus bisa mengenali sifat-sifat harapan lebih dekat. Suatu hal bisa kita katakan sebagai harapan apabila memiliki kualitas kepasifan untuk “menunggu” sampai harapan tersebut menjadi fakta. Kepasifan tersebut akan mendorong manusia untuk segera mewujudkan harapannya, ini adalah proses di mana manusia akan mengada suatu yang tidak ada dan memastikan suatu yang tidak pasti—dalam kondisi ini harapan menjadi sangat berkaitan dengan keimanan dan ketabahan.

Harapan juga tak terlepas kaitannya dengan nafsu, dalam beberapa teori ilmiah Sigmund Freud menganggap bahwa semua tindakan manusia didasari oleh nafsu seksual. Namun dalam Islam kita mengenal nafsu dengan banyak macam, tidak hanya nafsu seksual saja.

Secara umum nafsu yang kita kenal dalam Islam ada nafsu mutmainnah, yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan, lalu ada nafsu lawwamah yang mendorong manusia untuk memenuhi keinginan-keinginan namun masih ada pengontrolan dan memiliki kesadaran untuk lebih mengutamakan sesuatu yang dibutuhkan, dan yang terakhir ada nafsu amarah yang mendorong manusia untuk memenuhi keinginan-keinginan tanpa pengontrolan sehingga menimbulkan banyak keserakahan, kerusakan dan kehancuran bagi pelakunya.

Abu Hamid Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa nafsu tidak semuanya buruk, nafsu tidak harus kita binasakan sebab ia merupakan bagian dalam diri kita yang tidak mungkin bisa kita binasakan. Hanya saja perlu adanya pengontrolan atas nafsu tersebut agar manusia tak dikendalikan oleh nafsunya namun ia sendiri yang mengendalikan nafsunya sesuai dengan kehendaknya.

Jika Freud menganggap bahwa nafsu seksual merupakan akar dari segala perbuatan manusia, di Islam kita bisa mengenal nafsu dengan level yang berbeda, dan akar dari tindakan manusia bukanlah nafsu melainkan kehendak manusia sendiri atas nafsu.

Nafsu menjadi bagian penting dalam perwujudan harapan, ia adalah bahan bakar yang mendorong manusia untuk bergerak mewujudkan harapannya. Harapan bisa menjadi buruk apabila ia didorong oleh nafsu yang buruk dan hanya memfokuskan pada kepuasan-kepuasan sementara dan konsumsi tanpa batas untuk mempertahankan kenikmatan dunia yang fana.

Harapan juga akan menjadi baik apabila didorong oleh nafsu yang baik, memungkinkan seseorang untuk bersikap altruis, suka menolong sesama, toleran dan berbelas kasih. Al-Qur’an menyebutkan dalam Surat Al-Fajr bahwa nafsu mutmainah akan mendorong kita menuju surga, tempat yang damai, tenang, nyaman dan penuh kebahagiaan.

يٰۤاَ يَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۖ

“Wahai jiwa yang tenang!” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 27)

ارْجِعِيْۤ اِلٰى رَبِّكِ رَا ضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ

“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 28)

فَا دْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِى ۙ

fadkhulii fii ‘ibaadii

“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,”

(QS. Al-Fajr 89: Ayat 29)

وَا دْخُلِيْ جَنَّتِى

wadkhulii jannatii

“dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

(QS. Al-Fajr 89: Ayat 30)

Surga di sini bisa kita maknai menjadi dua macam, yaitu pemaknaan surga sebagai sebuah tempat setelah kematian dan pemaknaan surga sebagai kondisi jiwa seseorang yang masih hidup. Dalam beberapa literatur dunia menyatakan bahwa surga bersifat transenden (tak mampu digapai oleh akal manusia) keberadaannya sulit sekali untuk dibuktikan sehingga beberapa orang mengingkari keberadaannya.

Namun keberadaan surga bisa kita rasakan sebelum kematian datang. Angin-angin surga selalu berhembus pada setiap jiwa manusia dan meneduhkan hati orang-orang yang beriman kepada-Nya. Hembusan angin surga tersebut yang membuat hati kita menjadi tenang, bahagia, nyaman setiap siang dan malam. Ini merupakan satu kenikmatan surga yang bisa kita rasakan selama kita masih hidup di dunia, surga yang kita maknai sebagai kondisi jiwa manusia.

Akar kata dari surga adalah bahasa sansekerta, berasal dari kata “svar” dan “ga”. Svar berarti cahaya dan ga berarti pergi. Jadi surga dalam artian lengkap adalah perjalanan menuju cahaya. Dalam perjalanan menuju cahaya, seorang pejalan akan diterangi pancaran dari cahaya-Nya, atau melihat kemerlip sinar yang akan menghantarkannya menuju sumber cahaya sejati.

Surga adalah tempat di mana cahaya selalu terpancar, penuh dengan penerangan. Pencaran, percikan, kilatan ataupun kemerlip cahaya yang kita lihat tersebut yang bisa kita maknai sebagai salah satu dari sedikit kenikmatan surga yang bisa kita nikmati di dunia sebagai suatu kondisi jiwa yang tenang.

Problematika manusia abad-21 adalah kesalahan mereka dalam memaknai harapan, sehingga mereka tak bisa menikmati kenikmatan surga selama hidupnya. Harapan masyarakat modern seakan tak punya kualitas pasif-nya. Ketiadaan kualitas pasif tersebut memungkinkan manusia untuk kehilangan sifat-sifat religiusnya dan tak lagi memiliki lebih banyak waktu untuk berkontemplasi dengan kehidupan.

Manusia lebih memilih tinggal di antara tumpukan beton dan aspal ketimbang dengan alam, kemajuan teknologi juga telah memanjakan manusia dan membuat mereka terbiasa untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat tanpa harus menunggu. Keimanan dan ketabahan menjadi terkikis, sebab manusia telah berpikir secara praktis dan mengabaikan rasa emosionalnya dalam menjalani kehidupan.

Manusia menjadi terlalu ambisius, optimis yang berlebihan dan tak jarang bersikap arogan untuk mewujudkan harapannya. Harapan mereka tidak lagi memiliki tujuan yang berarti di kehidupan. Manusia modern kehilangan esensi dari harapannya, tujuan dari harapan yang seharusnya adalah ketenangan jiwa sehingga kita bisa hidup lebih bahagia malah beralih kepada hal-hal yang bersifat materi.

Kenyataannya kita menjadi terlalu sibuk akan pekerjaan kita namun tidak lagi produktif sebagai manusia. Kita terlalu bergantung pada data-data komputer dan hasil produksi untuk bisa menikmati kebahagiaan. Harapan kita menjadi bersifat materialis yang mana kita beransumsi bahwa pencapaian harapan adalah ketika kita bisa menumpuk harta benda sebanyak-banyaknya sehingga kita bisa menguasai dunia.

Terlalu banyak orang yang berambisi untuk menguasai dunia tapi ia sendiri tidak bisa menguasai dirinya sendiri. Hal ini membuat banyak orang terjatuh pada jurang keputusasaan, kehancuran, kekecewaan dan kesedihan. Segala hal yang membuat kehidupan manusia tak lagi tampak cerah bercahaya, wajahnya menjadi suram dan gelap.

Kondisi batin seperti ini bisa kita sebut sebagai kondisi di mana seseorang berada dalam dunia bawah (neraka), dunia yang gelap, tak ada cahaya sehingga ia tak mampu melihat sebenar-benarnya realita, langkahnya tak terarah, jalannya tersesat dan dipenuhi kecemasan.

Adakah yang bisa manusia lihat di kegelapan? Tak ada!

Mata perlu cahaya untuk bisa memandang jalan. Lalu bagaimana manusia bisa melangkah di kehidupan jika kedua bolanya tak mampu menangkap cahaya? Dalam kegelapan, kehidupan adalah sebuah kefanaan yang tak bermakna. Ada salah satu kalimat di kitab al-Hikam karya Ibnu Atha’illah yang berbunyi “Al-kaunu kulluhu zhulmatun wa innamaa anaarahu zhuhuurul haqqi fihi”  (Seluruh alam raya adalah kegelapan. Yang membuatnya bercahaya dan terang ialah terbitnya Yang Maha Benar di dalamnya).

Tapi bagaimana cahaya-Nya bisa terbit dalam hati kita, sedangkan diri kita terhijab oleh tembok keinginan-keinginan dan menjadikan materi sebagai tujuan. Bagaimana Allah tidak cemburu? Kalau kita menduakan-Nya dengan harta benda, kekuasaan, titel, dan jabatan.

Seluruh keinginan kita di dunia menghalang-halangi kita untuk mencicipi kenikmatan surga. Padahal pintu surga telah dibuka lebar-lebar setiap harinya, angin surga dibiarkan berhembus keluar oleh malaikat Ridwan agar bisa menyejukkan hati para penghuni dunia.

Untuk bisa menuju surga kita harus bisa mengurangi beban kita di dunia, kurangi bagasi kita agar perjalanan akan lebih ringan untuk mendaki tangga kehidupan. Dalam Zen kita akan mengenal bahwa gelas yang telah terisi penuh tak akan bisa terisi lagi.

Dalam Tao dan Konfusius kita akan mengenal bahwa kosong adalah isi. Sedang dalam Islam kita akan mengenal hakekat kehidupan dengan lebih sederhana “Apa yang kamu berikan, itu yang akan kamu dapatkan”. Kamu harus mengurangi isi pikiran dan hatimu agar bisa menerima cahaya-Nya, setiap hal yang kamu miliki memiliki sedekahnya sendiri-sendiri.

Jangan biarkan dirimu terisi sesak oleh dunia, lepaskanlah, sedikit demi sedikit agar langkahmu menjadi ringan untuk melangkah di kehidupan, agar kamu tak menjadi seperti Atlas yang dibebani dunia di pundaknya. Sehingga nantinya kamu bisa berjalan menuju cahaya.

Sebab perjalanan manusia sejatinya adalah perjalanan menuju cahaya, bukan perjalanan untuk menguasai dunia. Harapan manusia seharusnya adalah untuk bisa mencapai kenikmatan surga bukan sekedar kenikmatan dunia semata. []

 

 

Tags: Erich FrommharapanmanusiaTahun Barutasawuf
Rizki Eka Kurniawan

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang Pembelajar Psikoanalisis dan Filsafat Islam

Terkait Posts

Hakikat Merdeka
Hikmah

Kemuliaan Manusia dan Hakikat Merdeka dalam Surah Al-Isra Ayat 70

19 Agustus 2025
Ego
Personal

Bukan Dirimu yang Gelisah: Bongkar Ego, Temukan Ketenangan Diri

9 Agustus 2025
Freud
Hikmah

Kepribadian Manusia Menurut Sigmund Freud

4 Agustus 2025
Fitrah Manusia
Hikmah

Pengertian Fitrah Manusia dalam Ajaran Islam

4 Agustus 2025
Simone de Beauvoir
Personal

Tubuh, Cinta, dan Kebebasan: Membaca Simone de Beauvoir Bersama Rumi dan al-Hallaj

25 Juli 2025
Mazmur
Publik

Mazmur dan Suara Alam: Ketika Bumi Menjadi Mitra dalam Memuji Tuhan

21 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Arti Kemerdekaan bagi Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini
  • Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian
  • Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya
  • Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini
  • Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID