• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Makna Hijrah, Bukan Sekadar Pelarian

Ketika Rasulullah memutuskan untuk meninggalkan Mekkah, bukan berarti beliau adalah seorang yang membenci tanah kelahirannya, atau seorang yang anti-nasionalisme

Belva Rosidea Belva Rosidea
27/07/2023
in Featured, Hikmah
0
Makna Hijrah

Makna Hijrah

855
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Memasuki tahun baru islam atau tahun baru hijriyah tentunya memberi semangat baru bagi umat muslim untuk terus berupaya menjadi lebih baik daripada tahun sebelumnya. Tahun baru hijriyah yang kita mulai dengan bulan Muharam ini mengingatkan kita tentang banyak kisah hebat yang terjadi sepanjang sejarah, salah satunya adalah peristiwa akbar hijrahnya Rasulullah dari Mekkah menuju Madinah yang menyimpan banyak hikmah, bukan sekadar pelarian.

Makna hijrah secara bahasa bermakna meninggalkan. Secara maknawi, hijrah bukan sekadar meninggalkan satu tempat ke tempat yang lain, melainkan meninggalkan segala keburukan menuju kebaikan merupakan makna hijrah yang sesungguhnya. Demikian pula hijrah yang dilakukan Rasulullah pada tahun 622 M bukan hanya sekadar meninggalkan Mekkah menuju Madinah.

Hijrah menjadi titik awal lahirnya tahun Hijriyah

Lahirnya tahun hijriyah di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatab berawal dari keluhan Gubernur Basrah Abu Musa Al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu yang kesulitan dalam melakukan pengarsipan dokumen. Kemudian Khalifah Umar memanggil Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Waqqas, serta Thalhan bin Ubaidillah untuk berdiskusi menyusun penanggalan islam.

Pembahasan mulai dari penentuan tahun pertama. Yakni ada yang mengusulkan di tahun lahirnya Nabi, tahun wafatnya Nabi, tahun pengangkatan menjadi Rasul, atau tahun terjadinya hijrah dari Mekkah ke Madinah. Opsi tahun terjadinya hijrah ini disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib dan ternyata usulan inilah yang Khalifah Umar terima. Mengingat peristiwa hijrah merupakan simbol perpindahan masa jahiliyah ke masyarakat madani.

Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Nabi Muhammad sebagai acuan adalah untuk menyelisihi umat nasrani yang menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan kalender nasrani.

Baca Juga:

Tafsir Sakinah

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

Adapun tidak menjadikan tahun wafatnya Nabi karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi) yang menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan. Selain itu tahun kematian Nabi tersebut justru menjadi tahun kesedihan bagi Umat Islam, sehingga banyak sahabat tidak menghendaki untuk mereka jadikan sebagai awal tahun.

Pembahasan berikutnya adalah penentuan bulan pertama. Awalnya mengusulkan Rabiul Awal sebagai bulan pertama, karena hijrah mereka lakukan pada bulan tersebut. Namun usulan tersebut Khalifah Umar bin Khattab tolak, dan beliau lebih memilih bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam susunan tahun Hijriyah.

Karena meskipun hijrah mereka lakukan di bulan Rabiul Awal, akan tetapi permulaan hijrah dimulai sejak bulan Muharam. Pendapat Khalifah Umar bin Khattab tersebut mendapat dukungan pula dari Utsman bin Affan dan kemudian mereka sepakati.

Rasulullah Menyiapkan Hijrah dengan Ikhtiar dan Tawakkal

Makna hijrah bukanlah sebuah perjalanan nabi yang dilakukan tanpa persiapan. Kondisi Mekkah yang sudah tidak kondusif dan tidak aman untuk umat Islam melakukan aktivitas ibadah membuat mereka perlu melakukan hijrah.

Perjalanan hijrah ini merupakan perjalanan antara hidup dan mati karena menemui berbagai halangan dan rintangan dari para Kafir Quraisy. Seandainya perjalanan hijrah ini mereka lakukan tanpa persiapan yang matang tentunya sudah menemui kegagalan.

Rasulullah memutuskan hijrah setelah mendapat petunjuk dari Allah melalui mimpinya. Sebagaimana Imam Muslim mengatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Aku melihat dalam tidur bahwa aku berhijrah dari Makkah menuju suatu tempat yang banyak terdapat pohon kurma. Aku mencoba menebak apakah itu Yamamah atau Hajar? Namun, ternyata, itulah Kota Yatsrib.” (Shahih Muslim: 2272).

Pemilihan Madinah sebagai tujuan hijrah ini juga tidak asal-asalan. Semua telah Rasulullah ikhtiarkan sejak jauh-jauh hari. Ketika musim haji ke baitullah tiba, orang-orang dari luar kota Mekkah berdatangan, termasuk masyarakat Yatsrib (Madinah).

Masyarakat Yatsrib (Madinah) Menyambut Baik Islam

Kesempatan tersebut kemudian Rasulullah manfaatkan untuk melakukan dakwah (mengajak) kepada masyarakat Yatsrib untuk memeluk agama Islam, dan ternyata cukup berhasil. Keberhasilan tersebut terbukti dengan adanya Baiat Aqabah 1 dan 2. Madinah mereka anggap kota yang aman untuk hijrah, karena masyarakatnya menyambut baik datangnya Islam.

Perjalanan ke Madinah Rasulullah persiapkan dengan berbagai trik untuk mengelabui kaum Kafir Quraisy. Di mana mereka berusaha mengejar dan menangkap Rasulullah. Selain dengan pemberangkatan secara bergantian melalui rombongan-rombongan.

Rasulullah pun memutuskan untuk menempuh rute jalan yang berbeda dari jalur yang biasa  penduduk Makkah gunakan ketika hendak ke Madinah. Selain itu mereka berangkat pada waktu yang tidak biasa, yakni sebelum fajar menyingsing.

Perjalanan hijrah Rasulullah mereka awali dengan mengambil jalur menuju Gua Tsur yang berjarak sekitar 6-7 kilometer di selatan Makkah. Sedangkan Madinah justru berada di sebelah utara Makkah. Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar bahkan harus  tinggal selama kurang lebih tiga hari. Barulah setelah itu Rasulullah melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju Madinah.

Makna Hijrah adalah bukti betapa sayangnya Rasulullah kepada umatnya

Hijrah dilakukan Rasulullah karena beliau begitu mencintai umatnya. Umat Islam yang hidup di Mekkah pada saat itu begitu tersiksa setelah wafatnya Abu Thalib. Umat Islam bahkan Rasulullah sendiri pun tidak mendapat bantuan dan perlindungan dari sanak familinya, sebab tongkat kepemimpinan Bani Hasyim berpindah ke tangan Abu Lahab. Barangkali berkat hijrah itu pula lah, Islam bisa sampai ke kita hingga saat ini.

Hijrah tak menjadikan Rasulullah anti-nasionalisme

Ketika Rasulullah memutuskan untuk meninggalkan Mekkah, bukan berarti beliau adalah seorang yang membenci tanah kelahirannya, atau seorang yang anti-nasionalisme. Sebaliknya justru beliau sangat mencintai Mekkah.

Oleh karena itu ketika beliau keluar meninggalkan Makkah, beliau bersabda: ”Demi Allah, sungguh kamu (Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan bumi Allah yang paling dicintai Allah, seandainya aku tidak dikeluarkan darimu (Makkah) maka tiadalah aku keluar darimu.” (HR. al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Mâjah dll, dari ‘Abdullâh bin ‘Addî bin Hamrâ’ radliyallahu ‘anhum). []

 

 

Tags: Bulan MuaharmHijrahislamsejarahTahun Baru HijriyahTahun Baru Islam
Belva Rosidea

Belva Rosidea

General Dentist

Terkait Posts

Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
amar ma’ruf

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

1 Juli 2025
Fikih

Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID