Mubadalah.id – Sejak awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang menyadari keterbatasannya dan merindukan sesuatu yang lebih tinggi dari diri dia. Di balik segala daya intelektual dan fisik yang ia miliki, manusia tetap haus akan makna, arah, dan ketenteraman jiwa. Dalam keadaan tertekan, bahagia, sepi, maupun penuh harap, manusia secara naluriah akan terus mencari tempat bersandar yang absolut—Tuhan.[1]
Ibadah menjadi media utama dalam menjembatani hubungan antara manusia dan Tuhannya. Melalui ibadah, manusia dapat mengekspresikan pengakuan atas kelemahan, cinta, syukur, dan harapannya kepada Yang Maha Kuasa. Ibadah adalah jembatan transendental yang tidak hanya menghubungkan dunia dan akhirat, tetapi juga menautkan hati manusia dengan makna terdalam eksistensinya.
Menariknya, hampir semua agama samawi menempatkan ibadah dalam bentuk yang serupa: ritual. Praktik-praktik seperti salat dalam Islam, doa dalam Kristen, atau penyucian dalam Yudaisme, semuanya memiliki struktur simbolik, waktu tertentu, dan gerakan khusus. Dengan demikian, ibadah dalam agama-agama merupakan sistem nilai yang membingkai seluruh aktivitas manusia agar berjalan pada poros ketundukan, dan kita yakini dapat mengisi nilai-nilai spiritualitas.
Namun lebih jauh daripada pandangan ini, kiwari kini dunia modern justru bergerak ke arah yang berbeda. Banyak pemikiran kontemporer memisahkan antara yang sakral dan profan. Sekularisme dan paham materialistik mengangkat logika sebagai pusat segalanya. Sehingga agama kita anggap sebagai urusan pribadi, dan ibadah kita nilai hanya sebatas ritual tanpa dampak nyata pada kemajuan ekonomi pun teknologi.
Dalam kerangka berpikir ini, ritual keagamaan seringkali kita pandang sebagai aktivitas yang stagnan dan tidak relevan dengan realitas sosial hari ini. Tulisan ini ingin memaparkan sejauh mana pemaknaan ibadah, khususnya agama Islam, secara absolut serta bagaimana menjawab kritik sekuler terhadap klaim irasionalitas ibadah yang tertuju kepada kelompok beragama.
Pemaknaan Ibadah Sudut Pandang Islam
Dalam konteks agama Islam, ibadah telah menjadi landasan wajib seseorang manusia hidup di bumi. Hal ini selaras dengan bunyi ayat al Qur’an surah Dzariyat:56. Ayat ini menegaskan esensi dari penciptaan manusia dan jin di bumi ini serta merta hanya untuk beribadah.
Merujuk pada kitab Muqawimat karya Dr. Ahmad Tayeb, makna ibadah kita artikan sebagai bentuk kecintaan dan rendah diri seorang hamba terhadap Tuhannya. Dua unsur tersebut tidak boleh terpisah agar dapat sampai pada makna ibadah secara hakiki.
Ketika terdapat kerumpangan pada salah satu unsur, maka esensi dari makna ibadah belum tercapai secara sempurna. Hal ini dikuatkan dengan apa yang Ibnu Taimiyah katakan bahwa puncak tertinggi dari sebuah ketaatan hanya dapat terbukti melalui mahabbah.
Batasan tesebut yang membedakan antara definisi ibadah dalam Islam dengan sebagian kelompok Zanadiqah yang hanya mengedepankan “cinta” tanpa kepatuhan. Pandangan ini telah para ulama tegaskan sebagai kekeliruan. Tersebab, penghambaan yang benar justru terwujud dalam kerendahan hati yang total, yang mendorong seorang hamba untuk tunduk sepenuhnya pada segala perintah dan larangan Allah.
Adapun praktik ibadah dalam agama Islam terklasifikasikan menjadi dua macam. Ibadah secara umum dan khusus (mahda). Interpretasi ibadah secara umum termaknai sebagai segala bentuk aktivitas yang bermuara pada pendekatan kepada Tuhan.
Islam tidak membatasi pemaknaan ibadah hanya pada hal-hal yang bersinggungan langsung dengan ukhrawi seperti halnya salat, puasa, haji, dll. lebih dari itu segala bentuk aktivitas duniawi yang sarat akan dua unsur sebelumnya dapat kita katakan ibadah secara umum.
Rasionalitas Ibadah dalam Bingkai Tujuan
Lebih khusus daripada makna ibadah secara umum, terdapat ibadah mahda yang umum kita ketahui sebagai ibadah ritualis seperti salat, puasa, zakat. Klasifikasi inilah yang sering disalah artikan oleh sebagian orang. Mereka –utamanya kaum materialistik— menilai bahwa ritual ibadah (mahda) sebatas ritual turunan berkepanjangan bersifat irasional tanpa adanya keuntungan materiil yang kita dapatkan.
Pandangan ini lahir dari akar sekularisme yang memisahkan agama dari urusan publik dan membatasi peran agama hanya dalam ruang privat. Lebih dari itu, paham materialistik yang menyertainya menilai nilai suatu tindakan berdasarkan dampak langsung yang bisa terukur secara fisik. Yaitu, untung-rugi misalnya. Atas demikian, kegiatan seperti salat, sujud, dzikir, puasa— yang tidak menghasilkan nilai ekonomis secara kasat mata—terlabeli sebagai aktivitas yang tidak berguna.
Namun, hemat saya tuduhan ini berdiri di atas cara pandang yang kurang mendalam terhadap hakikat manusia. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa manusia bukan sekadar makhluk biologis dan ekonomis. Selain sifat materialistik yang lekat kaitannya pada manusia, penting kita ketahui bahwa manusia diberikan fitrah jiwa yang tidak bisa terpenuhi dengan hal materiil. Ia bersifat supranatural, seperti ketenangan hati dari berisiknya dunia, dan kekuatan jiwa.[2]
Hal ini diperkuat dengan fenomena ironi New Age yang muncul belakangan ini. Para penganut pandangan rasional dan materialistik—yang kerap menganggap ibadah sebagai aktivitas irasional—justru menciptakan ruang spiritual alternatif yang tak kalah simbolik dan ritualistik. Ini menjadi bukti bahwa manusia, pada hakikatnya tetap membutuhkan hubungan transenden.
Mereka bisa menolak agama, tapi tidak bisa menolak kebutuhan spiritual itu sendiri. Maka, ritual ibadah dalam Islam—yang terstruktur, berlandaskan tauhid, dan menyentuh jiwa serta akal—adalah jawaban utuh yang selama ini justru dicari oleh dunia modern.
Ritual dan Korelasi Terhadap Ibadah
Jika kita analogikan pada realitas kehidupan, ritual memainkan peran penting dalam hampir semua aktivitas manusia. Menyadur dari buku Ritual, Perspective and Dimensions milik Catherine Bell, posisi ritual kita artikan sebagai hierarki sentralisasi terhadap suatu tujuan. Dengan ritual, manusia memungkinkan untuk mengungkapkan perasaan bersama tentang arti tujuan dan nilai. Oleh karena itu, ritual akan selalu menjadi bagian penting dari kehidupan kolektif kita.[3]
Ritual adalah praktik-praktik yang memiliki makna dan tujuan spiritual di balik gerakan fisik yang dilakukan. Tindakan fisik yang terlihat bagaikan simbol dari apa yang terjadi di dalam hati. Jika kita bawa pada konteks ibadah, ia juga dapat kita maknai sebagai bahasa simbolik ungkapan cinta kepada Ilahi dan ketaatan untuk sampai pada pengaduan sang Tuhan.
Ritual ibadah yang kita lakukan secara masif dan konsisten, secara perlahan akan membawa seseorang untuk semakin mengenal Tuhan secara mendalam. Dalam kata lain, maksud dan tujuan dari ibadah tersebut telah sampai pada ghayah nya. Sehingga, ketika seseorang sudah berada pada tingkatan tersebut, rutinitas ibadah ini dapat memberikan dampak positif bahkan berupa materiel pada kehidupan dunia seseorang.4
Wabakdu, menilai ritual ibadah hanya dari sudut pandang logika ekonomi atau produktivitas praktis adalah bentuk penyempitan terhadap kompleksitas manusia. Kritik sekuler terhadap ibadah bukan hanya gagal memahami dimensi spiritual, tetapi juga mengabaikan data yang membuktikan manfaatnya.
Dalam Islam, makna ibadah adalah bentuk kepasrahan yang sadar. Bukan tunduk membabi buta. Ia melatih, menyembuhkan, dan mengarahkan manusia pada makna hidup yang tak bisa terbeli oleh teknologi atau kapital. []
[1] Ahmad Tayeb, Muqowwimat al-Islam
[2] Ibid, 175
[3] Chaterine Bell, Ritual Perspective and Dimension 4 Op.cit, 178









































