Mubadalah.id – Meskipun kontorversial, manunggaling kawula gusti mengajarkan banyak hal terkait etika kehidupan. Sikap inklusif adalah salah satunya. Manunggaling kawula gusti Siti Jenar dapat kita pahami dari berbagai penafsiran orang mengenai ajaran itu, yang terserak dalam pelbagai cerita babad, serat, dan buku-buku. Agus Sunyoto dalam bukunya mengutip sebuah babad:
…Seh Lemah Abang ngandika/ aja na kekayan semu/ iya ingsun iki Allah/ Nyata ingsun kang sajati/ jejuluk Prabu Satmata/ tana ana liyan jatine/ ingkang aran bangsa Allah/ Molana Magrib mujar/ iku jisim aranipun/ Seh Lemahbang angandika/ Kawula anedar ngèlmi/ angraosai katunggalan/ dede jisim sadangune/ mapan jisim nora nana/ dene kang kawicara/ mapan sajati ning ngelmu/ sami amiyak warana//
(Seh Lemah Abang berkata, “Marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata (Hyang Manon, Yang Maha Tahu), tak ada lain yang bernama ilahi.
Maulana Maghrib berkata: “Saya menyampaikan ilmu (tertinggi) yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir (artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi)”.
Manunggaling kawula gusti
Konsep manunggaling kawula gusti merupakan budaya Jawa yang terkenal sebagai pemikran Siti Jenar. Pendekatan Siti Jenar memang berbeda dengan doktrin Islam Wali Songo. Oleh karenanya, pandangan tersebut mendapat penolakan dari Wali Songo sebagai pemangku otoritas keagamaan pada saat itu.
Dalam menyebarkan ajaran Islam, Wali Songo lebih menekankan syariat sebagai pedoman dan acuan hidup umat Muslim. Sementara Siti Jenar justru menganggap syariat sebagai sesuatu yang semu dan palsu belaka. Bagi dirinya, syariat hanyalah formalitas yang terlalu diagung-agungkan oleh manusia. Melebihi itu, Siti Jenar, dalam banyak dialog selalu menyatakan diri sebagai Tuhan.
Dari pernyataan tersebut dapat kita pahami bahwa manunggaling kawula gusti merupakan konsep “penyatuan” (manunggal) antara hamba (kawula) dan Tuhan (gusti).
Dalam manunggaling kawula gusti, Tuhan bersemayam di pusat kehidupan dan hati nurani terdalam semua manusia. Oleh karenanya, ajaran manunggaling kawula gusti meyakini bahwa “subjek” dan “objek” menyatu dalam satu kesadaran tunggal (wahdat al-syuhûd).
Wahdat al syuhûd merupakan istilah bagi “rusaknya” pandangan seseorang terhadap realitas yang bermacam-macam dan banyak dan semata seseorang tersebut melihat Realitas Yang Tunggal; sebuah keadaan yang menunjukkan adanya pengawasan yang terjadi secara kontinu terhadap orang yang memandang sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi: أن تعبد اللّه كأنّك ترىه.
Konsekuensi dari hal ini yaitu terbentuknya seorang individu menjadi ingsun sejati (insan kamil/manusia sempurna). Manusia sempurna, bila kita interpretasi melalui perspektif ajaran ini merupakan seseorang yang menjadi lebih utuh, penuh, selaras, dan seimbang. Selaras dengan diri sendiri, sesama, segenap makhluk, alam semesta, serta Tuhan.
Ingsun Sejati
Ingsun Sejati atau Aku yang sejati menunjukkan kesadaran seseorang bahwa dirinya dan Tuhan menyatu. Dengan kata lain, sifat-sifat Tuhan yang berada dalam nurani manusia terimplementasi ke dalam ucapan, tindakan, gerakan, dan sikap keseharian.
Manunggaling kawula gusti melampaui sekat-sekat ketubuhan karena maksudnya di sini bukanlah penyatuan fisik. Manunggaling kawula gusti merupakan salah satu prestasi tertinggi seorang hamba dalam upaya “mengenali” dan “mendekati” Tuhan.
Keselarasan yang terdapat dalam Ingsun Sejati terimplementasi dalam sistem sosial yang tunggal; yang tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan identitasnya, sebab semuanya berjalan selaras. Tindakan dan sikap kita pada semua manusia berkeadilan sesuai dengan sifat-sifat Tuhan dalam diri Ingsun Sejati.
Di lain sisi, Ingsun Sejati atau insan kamil merupakan pengakuan terhadap disabilitas secara utuh sebab insan kamil atau manusia sempurna tidak terjerat fisik, namun merupakan sebuah kesadaran spiritual yang bisa didapatkan oleh siapa pun: kawula, elit penguasa, perempuan, laki-laki, disabilitas maupun non-disabilitas.
Dalam tradisi slametan, misalnya, seluruh warga berkumpul dalam satu lingkaran dan saling berbagi makanan sebagai lambang kesetaraan di hadapan Gusti. Manunggaling Kawula Gusti, dengan demikian, tidak berhenti pada gagasan abstrak tentang kesatuan manusia dengan Tuhan, melainkan terwujud dalam praktik sosial dan budaya Jawa.
Spiritualitas yang menjadi tujuan tertinggi hidup manusia menjadikan semua orang setara dari awal untuk sama-sama mencapai tujuan tersebut. Pendefinisian Ingsun Sejati juga memuat pesan inklusif, sebuah konsep yang menghilangkan diskriminasi orang lain berdasarkan fisik.
Dengan demikian, Manunggaling Kawula Gusti menghadirkan etika sosial yang egaliter. Spiritualitas menjadi tujuan bersama yang menyatukan kawula, elit penguasa, dan kelompok marjinal dalam satu kesadaran tunggal. Inklusivitas ini sekaligus menjadi kritik terhadap dunia modern yang hari-hari ini mengagungkan visual dan fisik dan membuka kesadaran bahwa martabat manusia bersumber dari kesadaran spiritual yang universal. []





















































https://shorturl.fm/zAFl5