“Dulu aku mencari Tuhan di Masjid, namun tidak ku temukan Tuhan di sana.
Aku beralih ke Gereja, aku juga tidak menemukan Tuhan di sana.
Aku beralih dari tempat ibadah yang satu ke tempat ibadah yang lain, namun aku tidak menemukan Tuhan di sana.
Justeru aku menemukan Tuhanku ketika aku menengok ke dalam diriku sendiri, ketika merenungkan samudera diri ini. “
-Rumi-
Mubadalah.id – Kita tentu sering mendengar maqalah-maqalah indah para sufi perihal hakikat Tuhan. Tuhan tidak menempati suatu tempat ibadah manapun, Tuhan itu sangat dekat (Al-Baqarah: 186), bahkan lebih dekat daripada urat leher (Qaaf: 16). Para sufi menggunakan kemampuan tafsir isyarinya untuk menghadirkan Tuhan melalui kuasa-Nya yang dapat manusia tangkap melalui panaca inderanya. Sehingga yang manusia butuhkan adalah memperbanyak mengingat-Nya sebagai proses ketakwaan. Alih-alih kita sibuk mengoreksi dan mengatur ketaatan orang lain. Man ‘arafa nafsah ‘arafa rabbah.
Salah satu kuasa Allah Swt. sebagai anugerah terbesar Umat Muhammad Saw. adalah dengan kehadiran Alquran sebagai pedoman hidup. Di dalamnya tersimpan berbagai hal, akidah, akhlak, ibadah, hukum, sains, serta kisah umat terdahulu. Semuanya itu adalah sebagai bahan untuk kita tafakkuri guna menciptakan visi Islam sebagai rahmat semesta alam.
Termasuk di dalamnya terabadikan kisah tentang Maryam binti Imran. Mengapa nama perempuan ini tidak dapat kita hilangkan begitu saja dalam ruang hidup kita umat Muslim? Karena sosoknya membawa banyak misi penting untuk kebaikan kita semua. Tentang apa? Tentang pentingnya memuliakan perempuan beserta memberikannya perlindungan dari kejamnya budaya patriarki yang jahiliyy.
Kanjeng Nabi sendiri sanjang, “Pemimpin wanita di surga kelak ada 4, mereka adalah Maryam binti Imran, Fathimah binti Rassulullah Saw, Khadijah binti Khuwailid, dan Asiyah. (HR. Hakim).
Penghormatan atas Maryam binti Imran
Gusti Allah, Kanjeng Nabi, para ulama semuanya begitu menghormati sosok Maryam ibunda Isa as., yang juga nama ayahnya sama-sama tertuliskan dalam kitab suci kita. Lantas mengapa kita masih mempermasalahkan nama, rupa, dan potretnya dalam berbagai media? Sosoknya hadir untuk kita tafakkuri dan ikuti, bukan didiskriminasi, termasuk dalam potretnya. Berikut beberapa hal yang dapat kita tadabburi dari sosok Maryam binti Imran yang namanya mencakup 98 ayat dalam Alqur’an:
Pertama, stigma mandul yang selalu dibebankan pada perempuan. Sebagai pembuka ayat, surah ini mengisahkan bagaimana Nabi Zakariya as. di usia senjanya sangat menginginkan seorang anak. Belum adanya anak di sisinya membuat ia menduga bahwa istrinya adalah perempuan yang mandul, sehingga Allah Swt. menyanggah stigma tersebut dengan memberinya anak yang meneruskan perjuangan dakwahnya.
Keberadaan anak dalam sebuah keluarga tidak terlepas dari kehendak-Nya, sehingga kita harus menghilangkan stigma negatif yang kerap mendeskreditkan kaum perempuan. Huwa alayya hayyin.
Kedua, semua pihak harus dapat menjamin keselamatan dan keamanan sesama manusia, khususnya perempuan. Zakariyya as. adalah sosok Nabi yang merupakan paman dari Maryam yang merawat, mengasuh dan juga menjaganya sedari kecil bersama sang istri. Bahkan mereka berdua memfasilitasi mihrab yang digunakan Maryam untuk mendidik jiwanya dan tersedianya maidah min al-sama atas oleh rohaninya.
Ketiga, semua manusia harus menghilangkan stigma buruk terhadap perempuan, khususnya yang terkait dengan pengalaman biologisnya. Kisah Maryam binti Imran, perempuan suci yang dituduh berzina, membuat kita berpikir, bahwasanya susah sekali menjadi perempuan, sekalipun dia adalah sosok yang baik.
Penghargaan terhadap Pengalaman Biologis Perempuan
Ditiupkan ruh ke dalam rahimnya (Al-Tahrim: 12) merupakan tanda dan peringatan untuk kita semua agar tidak membebani perempuan dengan segala macam pengalaman biologisnya yang justru membutuhkan dukungan. Sosok Maryam menjadi I’tibar, bahwa perempuan selalu menjadi korban sosial atas pengalaman biologisnya.
Tentu kita sendiri juga mengetahui, banyak sosok perempuan di antara kita yang masih dilabeli stigma-stigma buruk saat memilih untuk punya anak atau tidak. Masih berlanjut saat anak terlahir, kondisi seorang ibu saat nifas, kondisi anak apakah ia ideal secara tumbuh kembangnya, dan masih banyak lagi. (Maryam: 23)
Keempat, motherhood/hadhanah itu bukan tanggung jawab seorang ibu semata. Kisah ibunda Nabi Isa as. ini menyadarkan kita, bahwa tanggung jawab pengasuhan itu selalu terbebankan (peran ganda) pada perempuan. Ada tidaknya sosok seorang ayah, konstruk sosial kerap membebankan tanggung jawab tersebut kepada seorang ibu perempuan.
Padahal semua orang bisa menjadi ibu yang membantu tumbuh kembang sang anak. Sehingga Nabi Isa as. memiliki mukjizat berbicara fasih di usia balitanya untuk menjadi support system bagi ibunya yang dimarginalkan oleh masyarakat. (Maryam: 30).
Spirit Ketauhidan dan Ketakwaan
Kelima, spirit ketauhidan dan ketakwaan. Tiada lain yang diteladankan oleh Maryam ibunda Isa as. adalah tentang ketauhidan dan ketakwaan. Bukan stigma masyarakat yang membuat kita mulia, bukan banyaknya harta menawan yang membuat kita bahagia, bukan status sosial yang terhormat yang membuat kita terjamin surga. Namun ketakwaan sepenuhnya hanya kepada Yang Esa.
Spirit ketauhidan Maryam binti Imran ini juga digunakan oleh para sufi sebagai amalan dalam taqarrub padaNya. Ada sebuah latihan rohani yang namanya riyadhah Maryam. Maqamat riyadhah ini hanya dapat terselesaikan oleh salik perempuan dan laki-laki yang benar-benar bertekad besar.
Ini adalah makna kehadiran sosok Maryam bagi saya, sosok perempuan suci pendobrak patriarki. Tuhan selalu memiliki maksud dari segala ayat qawliyah dan kauniyahnya. Sejauh mana kita mampu memahaminya? []