Mubadalah.id – Banyak pasangan menikah berharap bahwa cinta membara dan komunikasi yang baik akan cukup untuk menjaga keutuhan hubungan, apalagi bebas dari gangguan orang ketiga. Namun, menurut studi, pernikahan akan terasa hambar ketika dua orang berhenti tumbuh—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan.
Adalah psikolog Arthur Aron dan Gary Lewandowski yang menunjukkan bahwa hal paling menentukan dalam menilai kebahagiaan pernikahan bukanlah komunikasi. Bukan pula stabilitas emosional, melainkan sejauh mana pasangan kita membantu kita untuk bertumbuh. Pernikahan yang sehat bukan sekadar tempat berteduh, tapi ladang luas tempat dua jiwa menanam, menyiram, dan memanen hasil pengembangan diri.
Aron dan Lewandowski, dari Universitas Monmouth, meneliti bagaimana individu menggunakan hubungan sebagai sarana untuk mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman, dalam sebuah proses yang mereka sebut sebagai self-expansion atau pengembangan diri.
Penelitian mereka menunjukkan bahwa semakin besar pengalaman self-expansion yang seseorang rasakan dari pasangan, semakin tinggi pula tingkat komitmen dan kepuasan dalam pernikahan.
Dua Prinsip Utama
Ada dua prinsip utama yang mendasari konsep tersebut. Pertama, prinsip motivasional, yaitu manusia pada dasarnya terdorong untuk memperluas atau mengembangkan kapasitas dirinya melalui eksplorasi, rasa ingin tahu, pengembangan kompetensi, dan pemahaman baru.
Kedua, prinsip penyertaan yang lain ke dalam diri (inclusion of other in the self), yakni bahwa dalam hubungan yang dekat, sumber daya, perspektif, dan identitas pasangan akan dirasakan sebagai bagian dari diri sendiri.
Dengan kata lain, pasangan menjadi bagian dari ekspansi identitas pribadi. Misalnya, jika pasangan mendapatkan promosi di tempat kerja, pasangan ikut serta menikmatinya (baik secara material maupun emosional).
Ada banyak situasi di mana individu yang terlibat pernikahan berhenti berkembang. Misalnya, mereka yang terjebak dalam konsep peran statis dalam rumah tangga: istri di rumah dan suami menjadi pencari nafkah tunggal.
Pembatasan peran seperti ini dapat mencekik potensi individu untuk tumbuh dan berkembang. Ruang yang dibatasi mempersulit individu untuk bertemu teman baru, bersahabat dengan dunia di luar rumah tangga, ruang untuk bekerja, dan mengaktualisasikan diri.
Pernikahan Sebagai Rumah Belajar Bersama
Bayangkan pernikahan sebagai rumah dengan jendela dan pintu yang terbuka—bukan gua pengap yang tertutup rapat. Dalam rumah itu, dua orang bisa saling kembali setelah berpetualang: di tempat kerja atau di komunitas, melejitkan potensi kemanusiannya masing-masing. Mereka bertemu kembali lalu saling bertukar cerita, saling menginspirasi, dan saling menyegarkan.
Contoh lain adalah ketika orang berhenti belajar. Dalam pernikahan, berhenti belajar bukan berarti meninggalkan pendidikan formal, tetapi berhenti membuka diri terhadap pengetahuan baru, pengalaman baru, atau cara pandang baru.
Ketika salah satu atau keduanya merasa cukup dengan apa yang sudah diketahui, relasi pun menjadi stagnan: diskusi-diskusi menjadi membosankan. Akhirnya, pasangan tak lagi tumbuh bersama, melainkan hanya bertahan bersama.
Dalam Islam, belajar tak pernah dipisahkan dari ibadah. Riwayat yang sangat populer “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah” (HR. Ibnu Majah) patut menjadi pegangan.
Ketika suami dan istri saling mendorong untuk belajar dan berkembang, mereka sedang menjalankan ibadah sekaligus memperpanjang usia cinta. Mereka bukan hanya berbagi atap, tetapi juga membangun cakrawala.
Menyoal Ketimpangan
Ketimpangan kuasa adalah contoh selanjutnya yang membuat individu sulit berkembang. Jika salah satu pasangan selalu menjadi pihak yang dominan dalam pengambilan keputusan—baik soal keuangan, pergaulan, pekerjaan, bahkan pilihan hidup jangka panjang—hubungan akan perlahan berubah menjadi relasi satu arah.
Pasangan yang kurang diberi ruang untuk berpendapat atau mengambil keputusan akan kehilangan rasa memiliki terhadap arah hidup bersama.
Dalam kondisi seperti itu, otonomi pribadi tergerus, dan potensi untuk tumbuh terhambat. Ada kutipan menarik dari QS. Asy-Syura: 38, “…dan uruslah permasalahan kalian dengan musyawarah di antara kalian”. Dalam pernikahan, musyawarah bukan hanya soal mencari keputusan terbaik, tapi juga menciptakan ruang supaya masing-masing pihak bisa bersuara, berbagi ide, dan menumbuhkan kepercayaan.
Orang yang hidup adalah mereka yang berkembang. Ketika individu dalam pernikahan berhenti bertumbuh, pernikahanlah yang akan perlahan mati, yang didahului perasaan hambar. Semua perceraian mesti didahului oleh terputusnya koneksi perasaan satu sama lain. Keterputusan bersifat gradual: dari putusnya perasaan sampai putusan pengadilan agama.
Jadi, jika suatu hari pernikahan Anda terasa hambar, itu bukan pertanda Anda harus mengganti pasangan, melainkan saatnya Anda mengganti cara hidup bersama. Tanyakan: kapan terakhir kali kami belajar hal baru? Kapan atau bagaimana kami merasa hidup dan bertumbuh? []