Mubadalah.id – Mereka disambut dengan senyum, namun ternyata datang untuk menghapus senyuman tersebut. Awal kedatangan Jepang, memberi harapan akan janji-janji kemerdekaan. Setidaknya Jepang dan Indonesia masih sama-sama Asia, dan si Asia yang satu ini mampu memukul si Belanda yang telah ratusan tahun menghisap kekayaan Nusantara.
Ah, tapi ternyata kemerdekaan hanyalah janji manis dari Jepang. Aslinya mereka datang untuk menjajah juga. Terbukti pendudukan Jepang atas Indonesia pada 1942-1945 menjadi hantu mengerikan yang terus membekas dalam ingatan sejarah bangsa Indonesia.
Yang merasakan kengerian penjajahan Jepang tidak hanya kaum lelaki yang dipaksa bekerja di luar nalar kemanusiaan, namun adalah seluruh rakyat Indonesia, dalam hal ini termasuk kaum perempuan. Jepang menjadi sosok hantu yang sangat menakutkan bagi perempuan Nusantara kala itu.
Penjajah Jepang diisi oleh “mayoritas” predator (pasukan) yang haus seks. Perbuatan biadab akan dilakukan penjajah untuk memenuhi hasrat mereka yang ingin menyetubuhi perempuan-perempuan Nusantara. Jugun ianfu, gadis-gadis yang dipaksa menjadi wanita penghibur (budak seks) oleh penjajah Jepang di wilayah jajahannya, menjadi mimpi buruk bagi perempuan kala itu. Bagaimana tidak, para gadis dipaksa untuk memenuhi nafsu bejat serdadu Jepang, bahkan ada yang diculik kemudian dimasukkan ke rumah bordil.
Seketika perempuan-perempuan yang menjadi jugun ianfu merasakan dunia ini seakan menjadi gelap. Penjajahan kala itu menyisakan banyak luka di hati perempuan Nusantara.
Bagaimana masyarakat Nusantara melawan praktek jugun ianfu Jepang?
Berbagai cara dilakukan oleh para pejuang kala itu, agar gadis-gadis Nusantara dapat terselamatkan dari kebejatan predator (penjajah Jepang). Misalnya, di Sumatera, Syekhah Rahmah el-Yunusiyah dengan berani memasuki markas Jepang di Medan untuk menuntut agar Jepang membebaskan gadis-gadis Minang yang diculik dan hendak dijadikan jugun ianfu.
Upaya membebaskan para gadis dari kebiadaban nafsu penjajah Jepang tidak hanya berlangsung di Sumatera, namun di seluruh Indonesia, termasuk di Bolaang Mongondow.
Keburu Nikah di Zaman Penjajahan Jepang
Pada 1942-1945, Jepang juga menduduki Bolaang Mongondow (saat ini masuk sebagian besar kawasan Prov. Sulawesi Utara). Sebelumnya, sejak 1903 Bolaang Mongondow menjadi afdeling (daerah administrasi Belanda). Afdeling Bolaang Mongondow terdiri dari Kerajaan Bolaang Mongondow, Kerajaan Kaidipang Besar (merupakan gabungan dari Kerajaan Kaidipang dan Bolang Itang), Kerajaan Bintauna, dan Kerajaan Bolaang Uki. Di masa pendudukan Jepang, Afdeling Bolaang Mongondow menjadi Bolaang Mongondow Bunken. Dan, kala itu jelas bahwa anak-anak gadis Bolaang Mongondow juga terancam menjadi korban dalam praktek jugun ianfu.
Untuk melindungi para gadis Bolaang Mongondow agar tidak dibawa oleh Jepang, masyarakat Bolaang Mongondow, khususnya di pesisir selatan (daerah Kec. Pinolosian saat ini) menikahkan anak-anak gadis (yang sudah balik) di desa. Jepang hanya akan membawa perempuan yang telah balik dan belum menikah, sehingga orang-orang tua lebih memilih menikahkan anak mereka sesegara mungkin daripada harus dijadikan jugun ianfu Jepang.
Keburu nikah menjadi pilihan menjaga gadis-gadis Bolaang Mongondow saat itu. Kalau dua sejoli telah lama menjalin hubungan, maka keburu nikah adalah kabar baik bagi mereka. Namun, bagi para gadis yang bahkan tidak tahu dengan si calon yang dipilih mau tidak mau harus menerima keburu nikah.
Nenek di Desa Pinolosian (Ibu Satia Paputungan) menceritakan bahwa orang tuanya menikah meski belum saling kenal dengan baik. Bahkan saat itu, bagi muda-mudi yang memang belum pernah bertemu, maka perkenalan calon pasangan hanya sekadar diberi kesempatan untuk saling melihat wajah masing-masing, dan kemudian akan segera dinikahkan.
Pilihannya: mau menikah dengan pemuda setempat yang dipilih oleh orang tua atau malah dibawa oleh Jepang menjadi jugun ianfu. Dalam memilih calon pasangan untuk anak gadis mereka, para orang tua juga tidak sembarang pilih, karena jangan sampai melarikan anak mereka dari penjajah Jepang, namun malah masuk ke cengkeraman predator berbalut kulit pribumi.
Pada dasarnya keburu nikah termasuk opsi terbaik untuk melindungi gadis-gadis di masa penjajahan Jepang. Lantas, bagaimana dengan keadaan saat ini?
Keburu Nikah di Zaman Sekarang
Sekarang, memang sudah tidak ada lagi jugun ianfu Jepang, namun di sisi lain masalah pergaulan bebas menjadi hantu yang membayangi keamanan anak-anak gadis. Banyak perempuan (termasuk laki-laki) yang hancur masa depannya akibat jatuh ke jurang pergaulan bebas.
Ancaman zina dalam pergaulan bebas tentu bukan hal yang bisa diabaikan, namun juga bukan berarti menjadikan keburu nikah (kawin “anak”) sebagai opsi terbaik. Masih ada pilihan yang lebih baik untuk menjaga anak perempuan dari ancaman zina. Yaitu, membekali anak perempuan dengan ajaran agama yang baik dan mengupayakan lingkungan pergaulan yang sehat.
Sebagaimana nasehat dari Nyai Hj. Badriyah Fayumi, “Anak selamat dari zina itu harus, tapi cara menyelamatkannya bukan dengan kawin anak. Selamatkan anak dengan pendidikan dan akhlak mulia serta pergaulan yang terpelihara sampai mereka dewasa. Jangan lupa banyak shalawat, istighfar, sedekah, dan berdoa.”
Zaman penjajahan Jepang sudah lama berakhir. Saat ini, adalah era di mana Bangsa Indonesia dapat mengakses sekolah dengan baik dan mewarnai masa depan secerah mungkin. Karenanya, bekali anak perempuan dengan pendidikan agama, agar dia tahu mana yang baik dan buruk. Pengamalan agama yang baik, mendekatkan diri pada Allah SWT, akan menjadi tameng perempuan dari ancaman zina pergaulan bebas di zaman ini. []