• Login
  • Register
Jumat, 9 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mau Kaya, Ya Kerja Dong, Bukan Menikahkan Anaknya

Fachrul Misbahudin Fachrul Misbahudin
14/02/2020
in Personal
0
20
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Beberapa sahabat perempuan saya di pedesaan yang menginjak umur 21-25 tahun, kebanyakan mengeluh karena orang tua meminta dirinya untuk segera menikah. Alasannya sangat klasik dan mungkin kita juga sering mendengar, yaitu karena faktor usia dan ekonomi.

“Saya yang hidupnya di pedasaan dan dengan umur segitu itu, ya sudah waktunya disuruh untuk menikah, karena kalau umur 26-30 an belum menikah, saya pasti akan mendapatkan banyak stigma negatif dari keluarga dan tak jarang juga dari para tetangga, ya misalnya saya dianggap sebagai perempuan tua, dan perempuan tidak laku, dan lain sebagainya,” ucap salah satu alasan sahabat saya.

Hmmm… saya kira di jaman modern ini, tradisi seperti itu sudah tidak ada, tapi ternyata masih ada, dan orang dekat pula yang merasakannya, sedih dan kasihan juga sih mendengarnya. Tapi sebetulnya untuk usia menikah itu, menurut saya, mau kapanpun tak menjadi pengaruh. Tidak ada dalam catatan sejarah terlambat menikah itu, karena masalah mati, rizki dan jodoh, Tuhan sendiri telah menuliskannya sejak di lauhil mahfudz.

Kemudian, kalau terkait perekonomian, sahabat saya yang lain memberikan alasan, “karena penghasilan keuangan ibu dan bapak saya pas-pasan, terus juga banyak kebutuhan dan tanggungan untuk adik-adik saya, akhirnya ibu dan ayah memilih jalan untuk melepaskan saya dengan cara menikahkan, karena kalau sudah menikah, saya kan lepas tanggungan dari kedua orang tua saya,”

Sebentar dulu, apakah betul dengan cara menikah bisa mengurangi beban hidup orang tua?, kan tidak juga, karena beberapa pasangan yang belum siap secara ekonomi justru mengharuskan orang tua ikut membantu menafkahi anaknya.

Baca Juga:

Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

Betul begitu?, kalau memang seperti itu berarti bukan terbantu secara ekonomi kok, tetapi malah memberi beban ganda kepada orang tuanya. Kalau sudah begini, tidak jarang juga mereka yang tidak siap secara ekonomi, justru akan berakhir dengan sebuah perceraian.

Menurut data dari Pengadilan Agama Kelas 1B Kota Cirebon menyebutkan, angka perceraian di Kota Cirebon sepanjang tahun 2018, banyak didominasi karena persoalan ekonomi, kemudian karena perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam persoalan ekonomi data Pengadilan Agama Kelas 1B Kota Cirebon menujukan angka sebanyak 214 perkara, perselisihan 121 perkara, sedangkan karena kekerasan dalam rumah tangga ada 70 perkara.

Tuh lihatkan!, itu hanya data dari satu daerah lho, bagaimana jika satu Indonesia, berapa banyak lagi para pasangan suami istri yang mengalami kegagalan dalam membina mahligai rumah tangga hanya gara-gara persoalan ekonomi. Bukannya bahagia tapi malah sengsara kan jadinya.

Mungkin dari kedua faktor ini, menurut saya, menjadi salah satu penyebab, kenapa perempuan di pedesaan jarang atau sedikit yang bisa melanjutkan pendidikan, mengembangkan karier, usaha dan pekerjaanya. Sebab kalau sudah menikah, beberapa perempuan di pedesaan yang kental dengan budaya patriakhi pasti tidak terlepas dari tugas sumur, dapur, dan kasur.

Oke baiklah, dari sini setidaknya kita bisa memahami bahwa menikah itu bukan hanya soal usia ataupun memperbaiki perekonomian. Eh tapi, kalau mau ekonomi ibu dan bapaknya maju atau mau kaya, ya seharusnya bekerja dan usaha dong, bukan malah melepas anaknya untuk menikah. Memangnya pernikahan itu ladang untuk mencari uang, kan sangat keliru.

Dari pada keliru, lebih baik pasangan yang hendak menikah, seperti yang dikutip dalam buku Fondasi keluarga Sakinah yang ditulis oleh DR. KH Faqihuddin Abdul Kodir dan kawan-kawan menyebutkan, seharusnya pernikahan kembali memeriksa niat masing-masing, membetulkan dan meluruskan niatnya agar pernikahan yang dilakukan itu karena Allah SWT semata. Bukan untuk melampiaskan kebutuhan biologis ataupun alasan finansial seperti mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Jadi, mulai dari sekarang jangan lagi ada embel-embel, saya ingin menikahkan anak saya agar saya bisa kaya, agar anak saya menjadi orang terhormat, agar anak saya bisa mendapatkan banyak warisan, agar anak saya bisa menjadi direktur dan lain sebagainya. Jangan lagi ya ibu-ibu dan bapak-bapak.

Tapi bagaimana pernikahan itu hanya diniatkan untuk beribadah kepada Allah SWT semata. Karena saya yakin, kalau semuanya digantungkan kepada Allah SWT, setelah menikah nanti pasti akan membawa keluarganya menjadi keluarga yang selalu menghadirkan ketentraman (sakinah), dan menghidupkan cinta kasih (mawaddah wa rahmah). []

Fachrul Misbahudin

Fachrul Misbahudin

Lebih banyak mendengar, menulis dan membaca.

Terkait Posts

Kisah Luna Maya

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

9 Mei 2025
Waktu Berlalu Cepat

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

9 Mei 2025
Memilih Pasangan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

8 Mei 2025
Keheningan

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

8 Mei 2025
Separuh Mahar

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

7 Mei 2025
Aktivitas Digital

Menelaah Konsep Makruf dalam Aktivitas Digital

7 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Kesaksian Perempuan

    Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Perempuan Menurut Abu Hanifah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama
  • Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?
  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai
  • Aurat dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version