Mubadalah.id – Tayangan Xpose Trans7 yang menampilkan KH. M. Anwar Manshur, atau yang terkenal dengan sapaan Mbah War, memantik reaksi keras dari kalangan pesantren. Dalam cuplikan tersebut, terlihat para santri berjalan jongkok di hadapan sang kiai, disertai narasi yang menuding bahwa para pengasuh pesantren hidup dari amplop santri dan memelihara tradisi feodal.
Tuduhan itu jelas keliru sekaligus menyinggung martabat hubungan antara santri dan guru. Dalam tradisi pesantren, relasi keduanya terbangun atas dasar adab dan kecintaan pada ilmu, bukan harta atau kedudukan. Karena itu, tidak pantas hubungan mulia itu kita sederhanakan lewat potongan gambar dan narasi dangkal.
Bagi siapa pun yang pernah berguru kepada Mbah War, tudingan semacam itu terasa menyesakkan. Rasa kecewa muncul bukan karena fanatisme, tetapi karena fitnah tersebut menyalahi kenyataan dan menutup mata terhadap sejarah hidup beliau yang sarat teladan.
Mbah War bukan sosok yang mendadak kaya karena santri. Jauh sebelum mengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, beliau sudah terbiasa hidup dari hasil keringat sendiri. Setiap pagi beliau turun langsung mengurus pekerjaan, memantau orang-orang yang bekerja dengannya, dan memastikan semuanya berjalan tertib.
Mbah War tidak menunggu bantuan atau pemberian siapa pun. Cara hidupnya teratur, hemat, dan tegas pada diri sendiri. Dari situlah tampak bahwa kemandirian bagi beliau bukan semboyan, melainkan kebiasaan yang dijalani hari demi hari.
Pesan Mbah War kepada Santri Perempuan
Setiap malam Jumat, Mbah War kerap memberi mau‘izhah (nasihat) kepada santri putri. Pesannya sederhana namun dalam maknanya, “Jadilah perempuan yang cerdas, terutama dalam hal-hal yang hanya dialami perempuan, seperti haid, nifas, kehamilan, dan menyusui. Sebab kelak kamu akan menjadi ibu bagi anak-anakmu. Maka yang paling memahami urusan perempuan adalah perempuan itu sendiri.”
Nasihat itu mencerminkan pandangan beliau tentang pentingnya kemandirian perempuan dalam ilmu dan kehidupan. Bagi Mbah War, kecerdasan perempuan menjadi bekal agar mereka mampu menapaki hidup dengan bijak tanpa bergantung pada siapa pun. Di pesantren, beliau menempatkan pendidikan perempuan sejajar dengan laki-laki karena keduanya memikul tanggung jawab yang sama terhadap masa depan umat.
Dalam mendidik santri, Mbah War selalu menanamkan semangat belajar yang berpijak pada kerja keras. Ia kerap mengutip dawuh KH. Idris Kamali dari Kempek, Cirebon, gurunya semasa di Tebuireng, “Al-fahmu ba‘dal hifzhi. (Pemahaman datang setelah hafalan).”
Bagi beliau, ilmu tidak berhenti pada hafalan. Pemahaman lahir dari ketekunan dan proses berpikir yang sungguh-sungguh. Hafalan tanpa pemahaman hanyalah suara tanpa makna, sedangkan pemahaman tanpa kesungguhan tak akan menumbuhkan ilmu yang hidup.
Tentang semangat menuntut ilmu, beliau sering menasihati, “Kalau kamu hanya mondar-mandir tanpa kesungguhan belajar, kamu tidak akan menjadi orang alim. Ilmu tidak bisa diwariskan begitu saja. Ibarat ayahmu makan sampai kenyang, bukan berarti kamu ikut kenyang.”
Beliau juga berpesan, “Belajarlah dengan tekun, bekerja dengan rajin dan benar untuk anak serta keluargamu. Tidak perlu berpuasa secara berlebihan.”
Penghargaan terhadap Ilmu dan Guru
Setiap nasihat beliau mencerminkan pandangan hidup yang seimbang: ilmu harus kita jemput dengan usaha, rezeki diraih lewat kerja keras, dan semuanya kita jalani dengan hati yang tulus. Kemandirian bagi Mbah War berarti kesediaan untuk berjuang dan memberi manfaat tanpa berharap balasan.
Karena itu, tudingan bahwa kiai hidup mewah dari amplop santri sama sekali tidak berdasar. Sepanjang hidupnya, Mbah War tidak pernah menuntut penghormatan atau memanfaatkan santri demi keuntungan pribadi.
Amplop yang santri bawakan saat sowan justru sering beliau salurkan untuk membantu santri yatim, kegiatan pendidikan, dan kebutuhan pondok. Kedermawanan itu tidak disiarkan, tetapi dirasakan. Tidak tampak di layar, namun hidup dalam kenangan mereka yang pernah bersentuhan dengan beliau.
Terlebih, Allah Swt. berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah: 11)
Hormat santri kepada kiai bukan bentuk feodalisme, melainkan penghargaan terhadap ilmu dan guru. Sowan adalah silaturahmi batin, bukan urusan duniawi.
Tak heran jika kalangan pesantren di seluruh Indonesia merasa tersinggung oleh tayangan tersebut. Fitnah semacam itu bukan hanya menyesatkan, tetapi juga mencederai nama baik lembaga yang telah mendidik generasi bangsa dengan disiplin, kasih sayang, dan adab.
Bagi siapa pun yang mengenal Mbah War, tudingan itu sungguh menyakitkan. Tidak ada kemewahan dari amplop santri; yang ada hanyalah keberkahan dari kerja keras, ketulusan, dan ilmu yang menuntun hidup.
Mbah War telah kaya jauh sebelum santri berjajar di hadapannya, kaya harta secukupnya, dan kaya hati seluasnya. Kekayaan beliau tidak terukur dari amplop, harta, atau sorotan kamera, melainkan dari ilmu, keteladanan, dan keberkahan yang terus hidup di hati para santrinya. Wallahu a‘lam bis-shawab. []