• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Memahami Fase Kesadaran Beragama Anak-anak

Mengenal kesadaran beragama pada anak adalah langkah pola asuh yang wajib dipelajari orang tua dan guru manapun.

Lenni Lestari Lenni Lestari
06/02/2021
in Keluarga, Rekomendasi
0
Kesadaran Beragama

Kesadaran Beragama

496
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suatu hari, saat melipat sajadah, anak saya yang berusia tiga tahun bertanya, “Kalau kita shalat, Allah sayang ya sama kita?”. Saya mengiyakan pertanyaan itu dan memberikan penjelasan-penjelasan yang mudah dipahaminya. Konsep ini memang sengaja kami ajarkan agar dia memahami pentingnya shalat. Konsep ini tidak lahir begitu saja. Ini adalah salah satu ikhtiar kami dalam memahami fase kesadaran beragamanya.

Dari kejadian ini, saya juga belajar bahwa menanamkan konsep Ke-Tuhanan dan ibadah itu perlu disampaikan secara hati-hati, agar sesuai dengan fase perkembangan kesadaran beragama pada anak dan tidak menciderai citra Tuhan di mata anak.

Membangun kesadaran beragama sering hanya berfokus pada prilaku. Orang tua menuntut anak untuk melakukan ibadah A, B, dan C. Orang tua rentan lupa bahwa prilaku agama yang baik adalah cerminan pemahaman agama yang baik.

Begitu juga dalam memahami hadis perintah mengajarkan shalat kepada anak di usia 7 tahun dan memukulnya di usia 10 tahun. Perintah tersebut harus dipahami sebagai tahap lanjutan dalam membangun kesadaran beragama kepada anak.

Sebelumnya, orang tua perlu memahami karakter kesadaran beragama pada anak dan menanamkan nilai-nilai agama sesuai usianya. Adalah hal yang tidak adil, jika menuntut anak memiliki prilaku agama yang baik, tanpa memberikan perhatian yang proporsional kepada kemampuannya memahami agama. Di sinilah konsep mubadalah (kesalingan) berperan penting, agar anak memahami apa yang diperintahkan orang tua.

Baca Juga:

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

Membangun Keluarga Sakinah: Telaah Buku Saku Keluarga Berkah

Lalu, apa sebenarnya kesadaran beragama itu?

Menurut Abdul Aziz Ahyadi, kesadaran beragama adalah sinergitas antara rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam kepribadian seseorang. Kesadaran agama ini mencakup beberapa aspek yaitu aspek afektif (perasaan akan pengalaman ke-Tuhanan), konatif (kecenderungan bersikap), kognitif (proses berfikir yang mengarah pada keimanan dan kepercayaan), dan motorik (gerak, prilaku keagamaan).

Semua aspek ini akan berkembang seiring bertambahnya usia. Maka dari itu, para ahli psikologi agama membagi fase kesadaran beragama menjadi 4 fase, yaitu ; fase anak-anak, fase remaja, fase usia dewasa, dan fase manula.

Tulisan ini akan fokus pada fase pertama, yaitu fase anak-anak. Fase ini terhitung sejak usia 0-12 tahun.

Seperti yang ditanyakan oleh anak saya, hal itu muncul dari pengalaman emosionalnya sehari-hari dengan kami, orang tuanya. Ia mengerti rasanya disayang oleh Allah, karena ia mengerti bagaimana disayang oleh orang tuanya. Inilah yang disebut dengan sifat keagamaan antropomorfis, yaitu menganggap Tuhan itu seperti manusia, dan sifat afektif, yaitu hubungan perasaan dengan orang tua yang berpengaruh pada penggambaran Tuhan dalam diri seorang anak.

Saat fase keagamaan anak berada di karakter antropomorfis, seperti “Kalau kita shalat, Allah sayang sama kita”, maka konsekuensi lanjutannya adalah orang tua perlu mewujudkan keluarga yang penuh kasih sayang dan mewujudkan pengalaman yang nyata tentang kasih sayang.

Pendekatan afektif dan antropomorfis tentang kasih sayang Allah, sulit terwujud jika anak tidak memiliki pengalaman kasih sayang dari orang tuanya. Dengan kata lain, pendekatan ini membutuhkan dukungan sosial yang nyata sebagai sumber pengalaman bagi anak.

Di sisi lain, anak kami juga pernah berdo’a dengan menengadahkan tangan dan mulutnya berkomat-kamit, layaknya orang dewasa berdo’a. Setelah selesai berdo’a, kami bertanya tentang apa yang ia minta dalam doanya. Ia menjawab, “Minta Mobil”.

Jawaban sederhana ini adalah cerminan dari sifat keagamaan pada anak, yaitu sifat egosentris dan magis. Anak menghayati Tuhan sebagai sosok yang dapat memberikan kebutuhan pribadinya (egonya), seperti mainan, mobil-mobilan, boneka, kue, permen, buah, dan lain-lain. Jika ia berdoa, maka ia akan meminta hal-hal tersebut. Semua kebutuhan diarahkan untuk memenuhi egosentrisnya.

Sedangkan sifat magis tampak dari cara berfikirnya bahwa Tuhan adalah pemberi kekuatan magis, layaknya kisah-kisah Nabi terdahulu. Contohnya, jika Allah bisa memberikan tongkat ajaib untuk Nabi Musa, maka ia juga bisa mendapatkan benda-benda yang ia inginkan dari Allah.

Semua sifat keagamaan di atas, akan mengarah pada sifat terakhir, yaitu imitatif (peniruan). Anak akan menjalankan perilaku keagamaan dari hasil meniru lingkungan sekitarnya, baik itu berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif.

Ia bisa menunjukkan perilaku berdo’a karena ia melihat orang tuanya berdo’a. Padahal ia masih balita, yang belum memahami apa itu berdo’a dan mengapa harus menengadahkan kedua tangan. Di sinilah letak relasi antara dukungan sosial (keluarga) dan perilaku keagamaan pada anak. Dengan kata lain, children see children do.

Jika orang tua atau guru telah memahami sifat-sifat keagamaan anak di atas, seperti afektif, antropomorfis, egosentris, magis, dan imitatif, maka akan semakin mudah merancang aktifitas dan menanamkan afirmasi positif tentang Tuhan kepada anak. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, seperti ;

Pertama, internalisasi nilai-nilai agama sesuai usia. Internalisasi nilai ini adalah bagian dari metode pembelajaran secara implisit, yaitu dimana pengetahuan, kecakapan, penguasaan pada suatu bidang diperoleh menyatu dalam aktivitas kesehariannya, tanpa disadari, tanpa usaha, dan tanpa dikontruksi oleh dirinya. Metode ini membiarkan anak-anak mengembangkan pemahaman mereka sendiri mengenai konsep-konsep kehidupan, termasuk konsep tentang Tuhan, agama, dan akhlak yang luhur.

Untuk menanamkan aqidah, anak bisa dikenalkan tentang ciptaan dan sifat-sifat Tuhan dalam analogi sifat-sifat manusia yang difigurkan, seperti figur ayah atau ibunya yang penyayang, dengan menggunakan bahasa yang sederhana yang dapat dipahami anak, jelas, dan kongkrit.

Selain itu, orang tua juga dianjurkan untuk mengucapkan kata-kata yang positif, afirmasi dan sugesti positif di waktu-waktu anak bisa menerima tanpa penolakan dan masuk dalam alam bawah sadarnya. Dalam dunia hypnoparenting, tahap ini berada saat gelombang otak anak berada di tahap alpha-theta.

Gelombang alpha (8-12Hz) terjadi saat rileks, istirahat, mengantuk, atau mata mulai tertutup. Sedangkan gelombang theta (4-8Hz) adalah ketika tertidur lelap. Internalisasi nilai ini diharapkan dapat diterima oleh anak dengan lunak, tanpa pemaksaan dan penolakan.

Kedua, dukungan sosial. Ini adalah lanjutan dari langkah pertama. Dukungan sosial memberikan pengaruh positif dan siginifikan dalam meningkatkan kesadaran beragama seseorang. Menurut Cairns dan Neckerman, dukungan sosial merupakan sumber referensi bagi seseorang untuk mentaati kaidah aturan moral yang berlaku di lingkungan sosialnya.

Orang tua bisa menunjukkan suasana yang agamis dari dalam rumah atau luar rumah, seperti shalat berjamaah, puasa, sedekah, silaturrahmi, berpakaian yang sesuai tuntunan agama, dan lain-lain. Pada akhirnya, anak akan bisa menerima aturan agama dengan baik, taat dan patuh dalam menjalankan ajaran agamanya.

Ketiga, pembiasaan yang baik (habituation), yaitu peniruan berulang yang dilakukan oleh anak-anak karena dikondisikan oleh orang dewasa terhadap suatu tingkah laku tertentu. Dalam metode ini, orang tua menjadi pemandu untuk mengarahkan anak untuk menirukan perilaku-perilaku yang diharapkan, seperti ibadah shalat, kebiasaan yang baik saat makan dan minum, perilaku hidup bersih dan sehat, berdo’a, dan lain-lain.

Mengenal kesadaran beragama pada anak adalah langkah pola asuh yang wajib dipelajari orang tua dan guru manapun. Jika dilakukan tanpa didasari ilmu yang benar, maka akan memberikan dampak yang negatif pada anak tentang Tuhan dan agama.

Akibatnya, bagi anak, agama adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan penuh beban. Melalui tulisan ini, diharapkan akan semakin banyak orang tua yang memahami tahapan kesadaran beragama pada anak, agar kelak akan tumbuh generasi yang religius dan penuh tanggung jawab. Wallahu a’lam bi al-shawab. []

 

 

Tags: keberagamankeluargaKesadaran Beragamaparentingtoleransi
Lenni Lestari

Lenni Lestari

Pencinta buku yang suka belajar tentang isu-isu perempuan dan keluarga

Terkait Posts

Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan
  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas
  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah
  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID