Mubadalah.id – Dalam Islam, relasi seksual dalam pernikahan tidak pernah kita ipandang sebagai sesuatu yang rendah, bahkan menjadi bagian dari ibadah dan sarana mendekatkan diri—bukan hanya kepada pasangan, tapi juga kepada Allah swt. Hubungan seks (hanya dalam konteks pernikahan) menjadi ruang sakral untuk saling melayani, memahami dan merawat kemesraan.
Bagi banyak pasangan, seks dalam pernikahan bisa menjadi sumber kebahagiaan, tetapi juga bisa menjadi ruang sunyi yang terpenuhi ketegangan, konflik, bahkan rasa hampa. Hubungan seksual dalam kehidupan rumah tangga bukan sekadar performa, tapi koneksi, keintiman, dan pertumbuhan bersama secara spiritual.
Seks yang sehat bukan sekadar respons atas hasrat, melainkan ekspresi cinta dan kedekatan. Biddulph dalam The New Manhood: Love, Freedom, Spirit and the New Masculinity (2019) menggunakan istilah menarik ketika membahas seks dalam konteks pernikahan, yaitu junk sex dan real sex. Seks “sampah” (junk sex) adalah seks yang dangkal, terburu-buru, dan miskin koneksi emosional.
Sebaliknya, seks sejati adalah pengalaman yang melibatkan tubuh, pikiran, dan hati secara utuh. Jenis seks yang kedua ini yang secara fungsional dibutuhkan untuk memperkokoh simpul pernikahan. Pengalaman seksual perlu terbangun melalui kejujuran, kerentanan, dan komitmen untuk terus tumbuh bersama.
Perbedaan Dorongan Seksual
Tidak jarang pasangan mengalami perbedaan dorongan seksual. Kondisi ini bukan abnormalitas, melainkan pintu masuk untuk belajar saling memahami. Demikian pula tentang orgasme—tidak selalu orgasme pada perempuan adalah pengalaman normal.
Relasi yang matang tidak dapat kita ukur dari seberapa sering pasangan berhubungan seksual sebagaimana yang tergambarkan dalam sejumlah riset. Melainkan dari bagaimana mereka menghadapi perbedaan dan tetap menjaga kedekatan emosional. Survei di AS menyebutkan bahwa 25% pasangan melakukannya seminggu sekali, dan 16 % sebanyak 2-3 kali seminggu.
Bagi pria, dorongan seksual sering kali menyatu dengan rasa cinta dan harga diri. Hal ini bisa menjadi kekuatan besar dalam pernikahan, tetapi juga bisa menimbulkan tekanan apabila tidak kita iringi dengan kedewasaan emosional dan keterampilan berkomunikasi.
Dalam banyak kasus, laki-laki—karena konstruksi sosial atau minimnya edukasi—sering terlambat menyadari bahwa seks bukan tentang “melakukan sesuatu kepada pasangan”, tetapi tentang menjadi sesuatu bersama pasangan. Hadir, terhubung, dan berbagi. Kematangan seksual, dalam hal ini, beriringan dengan kesediaan untuk mengembangkan empati, kelembutan, dan penghormatan kepada pasangan.
Hasrat seksual bukan dorongan yang harus terpendam atau kita umbar, melainkan terakui, dimaknai, dan tersalurkan dengan cara yang sah.
Dalam kerangka relasi mubadalah, penting bagi pasangan suami-istri untuk saling memahami bahwa seks adalah ruang kerjasama, bukan dominasi atau ketundukan. Hasrat yang kita sadari dan terkelola dengan bijak dapat menjadi sumber pertumbuhan spiritual, bukan biang trauma.
Ketika kita pahami sebagai bentuk komunikasi mendalam, seks bukan sekadar libido. Seks dapat menjadi ruang bagi dua jiwa bertemu, menyentuh, dan tumbuh. Seks dalam pernikahan dapat menjadi kegiatan untuk menumbuhkan rahmah (kasih sayang), sakinah (ketenangan), dan mawaddah (cinta).
Mengapa Tak Seharusnya Ditolak
Saya tidak sedang membahas hubungan seks dalam konteks fikih, yang sering kali terseret dalam dua kutub yang kaku. Sebagai kewajiban jika diminta (bagi istri) atau sebagai hak untuk terlayani (suami). Dalam konteks mubadalah, seks harus kita tempatkan sebagai kebutuhan bersama yang manusiawi—sebuah ekspresi relasional, bukan sekadar kewajiban moral.
Maka, pernyataan bahwa “seks dalam pernikahan tak dapat ditolak” bukan seruan patriarkis, tetapi undangan untuk memahami hakikat keterhubungan manusiawi yang saling membutuhkan dan saling berbagi.
Dalam relasi heteroseksual yang sah, suami dan istri masing-masing membawa keunikan tubuh dan energi. Lelaki memiliki maskulinitas, sementara perempuan membawa energi feminin.
Ketika seorang suami meminta seks dari istrinya, sesungguhnya ia sedang meminta sesuatu yang tidak ia miliki dalam dirinya—yang secara simbolik dan biologis melekat pada istrinya. Demikian pula, ketika meminta dari suaminya, sang istri tengah mencari sesuatu yang hanya bisa ia temukan pada suaminya. Kebutuhan ini bersifat timbal balik.
Namun, ketika permintaan itu tertolak (apalagi secara berulang), yang terjadi bukan sekadar frustrasi sesaat. Dalam jangka panjang, penolakan yang terus-menerus dapat mendorong seseorang untuk mengembangkan sisi yang tidak ia miliki.
Seorang laki-laki yang terus-menerus tertolak bisa membentuk mekanisme pertahanan diri:
“Saya bisa kok hidup tanpa seks dari kamu.” Ia mulai menyerap sisi-sisi feminitas atau menjadi mandiri secara emosional-seksual (misalnya dengan masturbasi secara kompulsif), atau bahkan menjauh dari istrinya secara lahir-batin—demikian sebaliknya pada pihak istri.
Kondisi ini berbahaya karena dalam jangka panjang bisa mengikis ikatan batin dan menumpulkan kebutuhan untuk saling memiliki.
Keberanian untuk Meminta
Argumen kedua adalah soal keberanian untuk meminta. Ketika memberanikan diri untuk meminta, pasangan sedang mengespresikan kerentanan. Ia membuka dirinya terhadap risiko tertolak. Di sini ada harga diri yang terluka, ada rasa tidak diinginkan, jika tertampik.
Maka, ketika keberanian itu muncul, perlu kita sambut dengan penghormatan. Bukan karena kita harus “menuruti”, tetapi karena dalam momen itu, ada jiwa yang tengah mengulurkan tangan untuk kita sambut. Menolak secara sembarangan bukan hanya menjauhi tubuh, tapi juga menolak kehadiran batin pasangan.
Tentu saja, penting kita garisbawahi bahwa tulisan ini berbicara dalam konteks normal—bukan tentang pasangan yang mengalami gangguan hiperseksualitas, kompulsivitas, atau hubungan yang mengandung unsur kekerasan seksual. Mereka yang mengalami gangguan semacam itu perlu terapi. Bukan pembenaran atas nama kebutuhan/kewajiban untuk terpenuhi.
Penolakan seksual yang berkelanjutan dapat membentuk jurang psikologis yang sulit kita jembatani di kemudian hari. Menolak tanpa dialog dapat kita tafsirkan sebagai perceraian simbolik. Untuk mendapatkan seks, yang kita butuhkan adalah keterbukaan: bahwa dalam tubuh pasangan, ada bagian yang tidak kita miliki—dan justru karena itulah kita memilih hidup bersama. []