Mubadalah.id – Dalam Buku Qiraah Mubadalah Dr. Faqihuddin Abdul Kodir mengajak umat Islam untuk membaca ulang relasi laki-laki dan perempuan dalam teks keagamaan dengan cara yang adil, saling, dan keadilan. Ia menegaskan bahwa semua ajaran Islam, baik perintah maupun larangan, berlaku secara timbal balik bagi laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, dalam perspektif ini, kisah Khadijah Ra. adalah bukti bahwa perempuan juga mampu meneguhkan keyakinan tentang risalah Islam.
Bahkan, Khadijah Ra. bukan objek wahyu, melainkan subjek aktif yang terlibat penuh dalam peristiwa kenabian. Ia menerima, menafsir, dan menegaskan makna wahyu dengan keberanian spiritual yang mendalam.
Kiai Faqih menulis, “Semua perempuan, sebagaimana semua laki-laki, adalah subjek dari wahyu-wahyu Islam yang diturunkan. Mereka dipanggil dan diajak untuk masuk ke haribaan Islam dan mengikuti petunjuk serta ajarannya.”
Pernyataan ini memulihkan pandangan bahwa perempuan bukan sekadar pengikut dalam sejarah Islam. Melainkan pelaku utama dalam perjalanan spiritual dan sosial umat manusia.
Islam Menyapa Perempuan dan Laki-Laki Secara Setara
Turunnya wahyu pertama dengan perintah “Iqra” — Bacalah! — bukan hanya untuk Nabi Muhammad Saw. Tetapi juga kepada seluruh umat manusia tanpa kecuali.
Dalam semangat mubadalah, panggilan “bacalah” berarti ajakan kepada setiap insan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk membaca dunia, menafsir kehidupan, dan mengembangkan ilmu.
Dengan demikian, Khadijah Ra. adalah wujud nyata dari pesan kesetaraan itu. Ia perempuan berilmu, mandiri, dan berdaya, yang mampu mengelola bisnis, memimpin rumah tangga, serta memberi arah moral kepada suaminya.
Ia juga perempuan yang pertama kali melamar Nabi Muhammad Saw. — tindakan yang menunjukkan keberanian dan kemandirian yang luar biasa.
Dalam konteks hari ini, teladan Khadijah Ra. relevan untuk meneguhkan kembali posisi perempuan sebagai mitra sejajar dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab.
Seperti ditegaskan oleh Kiai Faqih “keadilan dalam Islam bukan soal siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah, tetapi siapa yang lebih siap menegakkan kemanusiaan bersama.” []