Mubadalah.id – Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, relasi antara laki-laki dan perempuan masih sering terbelenggu oleh norma-norma budaya, tafsir teks agama, dan bahkan produk hukum yang bias gender.
Akibatnya, praktik ketidakadilan masih ditemui, baik dalam ruang domestik maupun publik. Padahal, Islam menekankan prinsip kesalingan dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan.
Di sinilah metode mubadalah sebuah pendekatan tafsir yang Dr. Faqihuddin Abdul Kodir gagas dalam bukunya Qiraah Mubadalah menawarkan cara pandang baru.
Metode ini tidak hanya bisa kita gunakan untuk membaca teks-teks keagamaan. Tetapi juga untuk memahami produk hukum, norma budaya, dan bahkan data sosial yang berkembang di masyarakat.
Mubadalah sebagai Kaidah Universal
Kiai Faqih menegaskan bahwa teks agama maupun produk budaya selalu lahir dalam konteks tertentu. Jika kita pahami secara kaku, ia berpotensi melahirkan ketimpangan, khususnya terhadap perempuan.
Karena itu, metode mubadalah hadir dengan tiga langkah kerja utama: memahami teks dalam konteksnya, menarik prinsip-prinsip universal yang terkandung. Lalu menerapkannya secara resiprokal pada laki-laki dan perempuan.
Dengan cara ini, norma atau hukum yang tampak ditujukan hanya untuk salah satu jenis kelamin dapat ditarik menjadi berlaku untuk keduanya.
Misalnya, jika sebuah undang-undang menekankan kewajiban seorang suami untuk menafkahi. Maka prinsip mubadalah memandang bahwa istri pun memiliki kewajiban moral untuk menopang kesejahteraan keluarga sesuai kapasitasnya. Artinya, hukum yang tampak eksklusif bisa kita baca menjadi inklusif dan setara. []