Mubadalah.id – “Burung yang sama, akan hinggap di dahan yang sama,” demikianlah pengilustrasian pepatah China bagaimana relasi pertemanan atau persahabatan seseorang. Memang ada benarnya, kesalingan dalam persahabatan. Umumnya orang memilih teman yang memiliki latar belakang sama, baik apakah kesamaan itu dari karakter, hobi, organisasi, pekerjaan, tempat belajar, keluarga, ideologi, dan lainnya.
Di samping itu ada juga pepatah dari Tiongkok yang sangat masyhur mengatakan, “punya sejuta teman masih kurang, punya satu musuh sudah terlalu banyak.” Yang secara tidak langsung menggambarkan pentingnya membangun pertamanan sebanyak-banyaknya, sekaligus menghindari permusuhan, meski dengan satu orang sekalipun.
Namun bagaimana dalam Islam mengajarkan tata cara yang tepat dalam membangun pertemanan? Terlebih jika menjadikan teman tersebut sebagai teman dekat atau sahabat, yang kita sebut “bestie” dalam bahasa keren saat ini?
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam “al-Ishâbah fi Tamyîzis Shahâbah” menyebut bahwa sahabat Nabi adalah “orang-orang yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan beragama Islam, dan meninggal juga dalam keadaan Islam.” Dalam rangkaian sanad hadits, penyebutan sahabat berada di urutan setelah Nabi.
Menilik Peran Para Sahabat Nabi
Peran mereka baik sebagai orang yang melaksanakan suatu hal di depan Nabi atau menjadi orang yang menyampaikan apa yang kita dengar dan kita lihat dari pribadi Rasulullah SAW. Hal itu bisa menjadi ilustrasi bagaimana posisi penting seorang sahabat bagi seseorang. Hingga dalam Islam dalam rangkaian sanad hadits sebagai urutan setelah Nabi. Di mana hadits kita jadikan sebagai dasar hukum bagi umat Islam setelah Al Qur’an.
Artinya itu bisa kita maknai, bahwa posisi sahabat atau pun teman dalam Islam memang tidak sederhana. Namun sangat kita sayangkan, tidak banyak pembahasan komprehensif terkait hal ini dalam materi di pendidikan formal kita. Sehingga dalam menjalin pertemanan maupun membangun persahabatan, kerap kali banyak yang tidak memiliki panduan dengan tepat.
Akibatnya banyak pemuda, bahkan juga orang dewasa terjerumus dalam circle pertemanan dan persahabatan yang salah. Dampaknya kemudian membawa mereka dalam budaya hidup negatif dan bahkan tak jarang hingga menyalahi aturan syariat, hukum, dan norma sosial yang merugikan pribadi, keluarga, juga masyarakat.
Kenalan
Dalam konsep hubungan sosial di masyarakat ada yang kita pahami sebagai kenalan, teman, dan sahabat. Penyebutan itu memiliki makna tingkat kedekatan hubungan seseorang dengan orang lain. Di samping sekaligus juga bermakna sebuah proses bagi seseorang dalam berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain. Awalnya sekadar kenalan, saat merasa cocok beranjak menjadi teman, dan jika merasa nyaman kemudian berlanjut bisa menjadi sahabat, atau kalaupun tidak, tetap pada posisi teman, atau bahkan sekadar kenalan.
Jika kita gambarkan secara hierarki tingkat kedekatan hubungan ini seperti piramida. Sahabat menduduki posisi paling atas, lalu teman, dan paling bawah adalah kenalan. Rentang kenalan memang luas dan banyak. Namun semakin menyempit yang menjadi teman, dan semakin mengerucut yang menjadi sahabat.
Adapun yang dimaksud dengan kenalan, biasa kita artikan ketika dua orang saling tahu nama dan saling ingat. Meski tidak berinteraksi secara intens atau pun berbincang lebih dekat. Bisa jadi pernah bertemu dan kenalan dalam suatu kesempatan. Atau hanya sekadar berinteraksi di media sosial, namun tidak berlanjut jauh hingga saling mengenal secara mendalam, sehingga tidak terlalu dekat hubungan diantaranya.
Teman dan Sahabat
Sedangkan teman adalah orang yang pernah berada di satu lingkungan dan pernah berinteraksi lebih. Tidak sekadar kenal nama, tapi juga tahu sedikit banyak tentang latar belakang, hobi, atau bahkan karakternya. Misalnya, seperti teman sekolah, teman kerja, atau teman organisasi.
Selanjutnya, sahabat atau kadang juga disebut teman dekat, dan istilah kerennya sekarang “bestie”, adalah orang yang memiliki frekuensi sama dan interaksi dengan sangat intens. Saling tahu masalah personal dan bahkan hal yang termasuk privasi. Orang yang sudah melalui masa sulit bersama-sama dan saling membantu tanpa meninggalkan.
Robin Dunbar (2021), ahli antropologi dan psikologi asal Inggris, terkait circle pertemanan dalam buku “Friends: Understanding the Power of Our Most Important Relationships,” menunjukkan hasil penelitiannya, bahwa circle persahabatan yang baik, bisa meningkatkan kesehatan fisik, menjaga kebugaran tubuh atau mengurangi rasa stres berlebih. Selain itu circle pertemanan yang baik juga bisa memberikan pengaruh baik.
Sahabat yang suportif akan mendorong untuk lebih mengapresiasi dan mencintai diri sendiri apa adanya, serta menumbuhkan rasa percaya diri. Artinya akan berdampak positif dalam kehidupan bagi sahabat dan temannya. Pun berlaku demikian kebalikannya, memilih sahabat, teman dekat, yang tidak tepat atau salah, seperti toxic, akan berdampak buruk. Baik secara kesehatan fisik maupun mental, serta dampak buruk lainnya.
Konsep Relasi dalam Islam
Allah SWT berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujurat : 13).
Para ulama sering menjadikan ayat tersebut untuk dalil ilustrasi bahwa manusia Allah SWT ciptakan adalah sebagai makhluk sosial. Penciptaan manusia yang berbeda-beda, baik itu jenis kelamin, bangsa, juga suku-suku adalah dengan maksud dan tujuan; agar bisa saling mengenal (silaturahmi). Bukan berselisih atas perbedaannya. Dengan saling mengenal, maka muncul relasi persaudaraan. Selanjutnya relasi persaudaraan yang terjalin akan menimbulkan kasih sayang dan persatuan.
Secara tidak langsung ayat tersebut juga mengisyaratkan sekaligus untuk membangun kenalan sebanyak-banyaknya. Terlebih dalam tata hubungan sesama manusia (al-‘alâqah bain an-nâs) dalam Islam, selain atas bingkai keluarga juga dikembangkan tiga konsep, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah/insaniyah.
Ukhuwah islamiyah adalah persaudaraan antar umat Islam yang tumbuh dan berkembang karena kesamaan akidah, baik di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional, meliputi seluruh aspek kehidupan, baik dalam ibadah, muamalah, munakahat, mu‘âsyarah, maupun interaksi keseharian.
Ukhuwuah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah
Adapun ukhuwah wathaniyah adalah hubungan antar sesama manusia yang berkaitan dengan ikatan kebangsaan dan kenegaraan, mencakup aspek yang bersifat muamalah (kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan), dalam konteks sebagai warga negara memiliki kesamaan derajat dan tanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan bersama.
Sedangkan ukhuwah basyariyah/insaniyah adalah hubungan antara manusia yang tumbuh dan berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal. Yakni mencakup aspek berkaitan dengan kesamaan martabat kemanusiaan untuk kehidupan yang adil, damai dan sejahtera.
Namun dalam sebuah hadits juga digambarkan dampak seorang teman kepada temannya, Rasulullah SAW bersabda: “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya. Dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu. Dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628).
Yang bisa kita jadikan acuan untuk perkenalan apakah akan kita lanjutkan menjadi teman dan sahabat. Karena akan berdampak dalam kehidupan kita menjadi lebih baik atau sebaliknya.
Kesalingan dalam Persahabatan versi Islam
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (4/227) menjelaskan, keutamaan berteman adalah dengan orang-orang shalih yang memiliki akhlak mulia, yang memilki ilmu luas dan adab yang baik, serta selalu bersikap wara’. Selanjutnya tidak bergaul dengan orang-orang yang ahli bid’ah, bersifat buruk, dan memiliki sikap tercela lainnya.
Adapun Imam al-Ghazali dalam “Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali” menjelaskan adab berteman yang baik adalah menunjukkan rasa gembira ketika bertemu, mendahului beruluk salam, bersikap ramah dan lapang dada ketika duduk bersama, turut melepas saat teman berdiri, memperhatikan saat teman berbicara, dan tidak mendebat ketika sedang berbicara, menceritakan hal-hal yang baik, tidak memotong pembicaraan, dan memanggil dengan nama yang disenangi.
Pada dasarnya konsep dalam membangun pertemanan maupun persahabatan, baik antara kita dengan orang lain, maupun orang lain dengan kita, posisinya sama (equal). Sehingga berlaku konsep kesalingan (mubadalah). Untuk membangunnya dengan baik, yakni menerapkan kesetaraan dan kemanusiaan sebagai dua pondasi penting untuk mewujudkan kemaslahatan, kerahmatan, dan keadilan.
Idealnya kita tidak hanya berharap dan mencari teman yang baik seperti yang tergambarkan Imam Nawawi maupun Imam al-Ghazali tersebut. Namun juga sekaligus menjadi pribadi yang baik untuk kita jadikan sebagai teman dan sahabat oleh orang lain.
Dengan menerapkan kesalingan dalam persahabatan, yakni relasi saling menghormati, saling menolong dan bekerjasama (ta’awun), saling melindungi, saling berbuat baik dan santun, saling mencintai dan membahagiakan. Tentu selanjutnya akan turut membuahkan kenyamanan dalam hubungan, kebermanfaatan, dan kemaslahatan bagi sesama. Wallahu a’lam bish-shawab. []