Mubadalah.id – Mungkin saat ini kita mulai menyadari ketika membaca kembali buku-buku sejarah yang tertulis dalam buku-buku paket sekolah, maupun bacaan lainnya, bahwa tak banyak kisah heroik perempuan sebagai tokoh maupun pejuang di masa lalu yang tertulis. Apakah ini menunjukkan bahwa perempuan tidak berjasa sama sekali, atau justru kita tersadar dengan pikiran kritis, ‘… jangan-jangan ini adalah kontruksi….’
Selama ini jika kita melihat cacatan sejarah Indonesia seolah tertulis oleh dan hanya untuk kaum lelaki saja. Padahal, di balik tiap perjuangan bangsa, ada peran perempuan yang tak kalah penting, baik sebagai pendidik, penulis, ulama, maupun pejuang. Tapi mengapa suara mereka jarang terdengar dalam buku sejarah kita?
Kenapa Harus Menulis Ulang Sejarah Perempuan?
Jikapun tokoh perempuan tertulis dalam catatan buku sejarah, seringnya perannya tersebut terbatas pada narasi istri atau ibu dari tokoh utama. Jarang sekali tercatat sebagai pelaku pemikiran atau pemimpin gerakan. Apakah fenomena ini datang tiba-tiba?
Ternyata tidak! Penulisan sejarah yang ada itu terpengaruh juga dari bagaimana dominasi narasi kolonial dan patriarkal juga membentuk cara ‘kita’ memahami siapa itu tokoh penting. Beberapa waktu yang lalu dalam Halaqah Nasional ‘Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia,’ Samia Kotele sebagai salah satu narasumber yang juga pemilik disertasi yang dibedah di event ini menyatakan temuannya.
Bahwa dalam merebut kembali otoritas dan membingkai ulang pengetahuan yang berperspektif perempuan, itu kita memerlukan pendekatan dekolonial yang menantang narasi dominan Eropa-sentris yang membingkai perempuan Muslim sebagai korban pasif atau penerima emansipasi sekuler.
Karena dalam pendekatan dekolonial, penulisan sejarah kita lakukan dengan memusatkan pada agensi, karya intelektual, dan kontribusi epistemik dari cendekiawan Islam perempuan, khususnya di Indonesia.
Pendekatan Dekolonial: Membongkar Warisan Sejarah Versi Penjajah
Ilmu sejarah Barat kerap jadi alat kolonialisasi, bagaimanapun penulisnya kala itu juga bukan ahli sejarah, tetapi juga bagian dari kolonial yang melakukan penjajahan. Sehingga tulisan yang mereka hasilkan adalah proyek kolonial yang menjadikan penulisan sejarah sebagai alat dominasi.
Di sinilah dekolonisasi itu juga kita gunakan sebagai kritik pengetahuan. Di mana penulisan sejarah itu tidak pernah objektif karena tertulis dari posisi pemilik kuasa. Sehingga sangat memungkinkan bahwa pengetahuan lokal, termasuk sistem kepercayaan dan tokoh agama perempuan itu didelegitimasi.
Saya menyimpulkan bahwa perspektif dekolonial ini memiliki tiga pilar kritik. Pertama, pengetahuan sebagai alat penjajahan, di mana sejarah versi kolonial adalah alat kekuasaan dan klasifikasi. Kedua, kuasa representasi, di mana masyarakat adat, khususnya menempatkan perempuan kita sebagai ‘yang lain’.
Ketiga, siapa yang boleh bicara, di mana dalam penentuan seorang tokoh itu tidak cukup hanya apa yang ia katakan, tetapi siapa yang kita anggap sah untuk bicara dalam sejarah. Dan ini ditentukan oleh kontruksi pemilik kuasa.
Sehingga pendekatan dekolonial ini juga mengkritik tentang bagaimana masyarakat adat dan perempuan sering jadi ‘objek diam’ dalam catatan sejarah. Dari keresahan ini lah kita memahami bahwa dekolonialisasi bukan hanya tentang metode, tapi juga pertanyaan kritis tentang ‘siapa yang sebenarnya punya hak menulis sejarah?’
Ulama Perempuan: Bukan Cuma Ada, Tapi Aktif Membentuk Wacana
Sejarah ulama perempuan di Indonesia nyaris tak tertulis. Bukan karena mereka tak ada, tetapi karena cara menulis sejarah tidak memberi mereka tempat. Selama ini, sejarah perempuan kerap terposisikan sebagai sejarah sosial biografi pribadi, kisah perjuangan sebagai istri, ibu, atau pendamping tokoh besar. Jarang sekali perempuan tertulis dalam sejarah pemikiran.
Padahal, banyak dari mereka justru memiliki kontribusi penting dalam membentuk arah diskursus keagamaan di Indonesia. Dalam penemuannya tentang ketokohan ulama perempuan Indonesia, Samia juga menyatakan bahwa tokoh perempuan punya kontribusi dalam tafsir keagamaan dan pendidikan.
Meskipun ada banyak perbedaan dan perubahan istilah dari setiap tokoh ini, ada ‘syaikhah’, ‘nyai’, ‘kyai putri’, dan lainnya yang menunjukkan simbol otoritas perempuan dalam Islam Nusantara.
Pada masa transisi penting di awal abad ke-20, muncul gelombang perempuan Muslim yang tidak hanya ‘mengikuti zaman’, tapi secara aktif membentuk zaman dan melakukan gerakan transformatif.
Mereka tidak hanya membangun sekolah, mengajar ngaji, atau menulis tafsir, tapi juga membentuk wacana keislaman, mendobrak norma sosial, dan memperjuangkan pendidikan untuk perempuan secara sistematis. Sebut saja tokoh tersebut antara lain Nyai Siti Walidah, Rahmah El Yunusiyah, dan Nyai Khoiriyah Hasyim.
Mengenal Tiga Ulama Perempuan
Nyai Siti Walidah (1872-1946), bukan hanya sebagai istri dari KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, tetapi ia juga mempopulerkan dakwah Islam, mendirikan kelompok kajian perempuan, aktif mempromosikan tafsir ayat-ayat tentang hak perempuan, serta pendiri Madrasah Muballighat (1927) sebagai tonggak penting bagi pendidikan mubaligah.
Di Sumatera Barat juga ada Rahmah El Yunusiyah (1900-1969), ia adalah pendidik dan aktivis politik, pendiri diniyah putri (1922). Sekolah Islam perempuan pertama, dan mendapatkan gelar ‘Syaikhah’ dari Al-Azhar Kairo, yang ini merupakan rekognisi luar negeri atas keulamaannya.
Selain itu juga ada Nyai Khoiriyah Hasyim (1908-1983), putri dari KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Dia mendirikan madrasah perempuan, menguji calon imam laki-laki, dan membentuk gaya dakwah serta pendidikan yang sangat progresif.
Tiga tokoh ini adalah sampel yang Samia Kotele lakukan dalam disertasinya, dan sangat mungkin di daerah-daerah lain banyak tokoh perempuan yang tidak tertuliskan perannya di masa lalu.
Sejarah Perempuan adalah Sejarah Gerakan
Untuk melihat sejarah tokoh perempuan, sebetulnya tidak cukup hanya melihat perannya, tapi juga jaringan dan gerakan di baliknya. Karena seringnya ketokohan perempuan ini juga dibangun secara kolektif, sehingga banyak tokoh yang hidup dalam ingatan kolektif.
Dari gambaran penulisan di masa lalu hingga kini, sejarah perempuan tetap memiliki tantangan. Karena setelah kemerdekaan, perempuan kembali terposisikan sebagai ‘ibu bangsa’, bukan subjek pemikir.
Banyak pihak yang melakukan glorifikasi peran ibu, tapi juga domestikasi peran-perannya. Sehingga ini menjadi tugas bersama sebagai bagian dari gerakan perempuan untuk menuliskan sejarah baru yang kritis dan lebih berpihak pada pengalaman perempuan yang beragam.
Menggugat Sejarah, Merawat Peradaban
Kita perlu terus membuka ‘lemari berdebu’ sejarah perempuan, mencari dan menggali kembali potongan-potongan kisah gerakan ulama perempuan. Lalu menulis ulangnya kembali bukan sekadar tulisan intelektual akademik, tapi juga melalui gerakan-gerakan kultural dan spiritual.
Karena bagaimanapun sejarah perempuan adalah warisan dan keniscayaan, bukan pengecualian. Ulama perempuan bukan hanya ada hari ini, mereka sudah ada sejak dulu. Kita hanya perlu mendengar dan menggali jejak mereka yang lama terpinggirkan. Lalu merawatnya kembali hingga kini melalui gerakan-gerakan. Salah satunya melalui Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). []