Mubadalah.Id– Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nation Fail (2012) mengatakan, kesenjangan ekonomi, jumlah pendapatan perkapita, dan kekuasaan yang otoriter termasuk indikasi menuju negara gagal. Ungkapan Acemoglu dan Robinson kiranya tidak bisa dipandang sebelah mata. Di samping ideologi, pengaruh ekonomi rupanya makin kuat dirasakan sebagai akar utama terorisme. Berikut memutus arus terorisme.
Negara gagal, kata Acemoglu dan Robinson, seakan tidak punya harapan dan memiliki jumlah pengangguran yang tinggi. Sebut saja negara gagal bekas serbuan Amerika Serikat seperti Suriah, Irak, Lebanon, dan Afghanistan. Sudah tak asing dikaji bahwa negara ini menjadi cikal bakal tumbuh dan berkembangnya paham terorisme.
Bias janji masuk surga, mendapatkan fasilitas hidup yang aman dan nyaman telah berhasil membius banyak orang untuk masuk ke jaringan terorisme. Dalam konteks Indonesia—sebagai negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia—hal tersebut acap kali digunakan sebagai aji mumpung untuk menggaet masyarakat menjadi oknum teroris.
Data Lingkaran Survey Indonesia memaparkan, dalam 13 tahun terakhir dukungan publik yang pro terhadap Pancasila menurun 10 persen. Sedangkan dukungan publik yang pro-NKRI bersyariah mengalami kenaikan sebesar 9 persen. Tiga alasan menurunnya dukungan publik yang pro-Pancasila tak lain karena masalah ekonomi, paham alternatif, dan sosialisasi yang masih terkesan kaku.
Memutus Arus Terorisme merupakan hal penting. Kesenjangan ekonomi yang tinggi di kalangan masyarakat turut pula menjadi faktor melunjaknya angka terorisme. Faktanya, tak sedikit masyarakat Indonesia yang telah menjadi deportan ataupun returnis ISIS lantaran masalah ekonomi.
Data Kementerian Luar Negeri yang dihimpun sejak 2015 hingga 2017 menyebutkan, WNI yang menjadi deportan ISIS mencapai 430 orang. Sementara itu, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyatakan, dalam kurun waktu yang sama ada 87 returnis yang kembali ke Indonesia.
Pengakuan returnis ISIS
Bak jauh panggang dari api. Kenyataan hidup yang dirasakan para returnis ISIS rupanya jauh berbeda. Talkshow Rosi Kompas TV dalam Episode Pengakuan Anggota ISIS (14/9/2017), menghadirkan 3 returnis ISIS—Nurshadrina Khaira Dhania, Mohammad Raihan Rafisanjani dan Lasmiati—yang berhasil kembali ke Indonesia pada Agustus 2017 lalu.
Dalam Talkshow tersebut, Nurshadrina mengakui motif utama berangkat ke Suriah karena alasan ekonomi. Janji hidup di apartemen, sekolah gratis, berkualitas, penghapusan hutang dan selamat dunia akhirat berhasil menggugah hati Nurshadrina untuk menanggalkan status kewarganegaraannya.
Nahas, sesampainya di sana, hidup sempurna di bawah panji khilafah yang sempat dijanjikan rupanya hanya ilusi belaka. Paspor WNI disita oleh komplotan ISIS yang membuatnya hidup bak di penjara. Bayangan orang berlomba-lomba dalam kebaikan pun sirna. Sendi-sendi Islam pincang lantaran melihat kotoran manusia berceceran di lokasi penginapan.
Nurshadrina yang kala itu berumur 19 tahun juga mengatakan, kehidupan wanita di negara yang pernah dikuasai pimpinan ISIS Abu Bakar Al-Baghdadi hanya ibarat pabrik anak. Kaum wanita yang berasal dari luar Suriah ditempatkan dalam asrama kumuh dan tak layak huni. Status perawan, berkeluarga, atau janda pun didata. Hampir setiap hari para militan ISIS mendatangi asrama dan meminta dinikahkan dengan wanita disana tanpa persetujuan dari pihak wanita.
Pengakuan lain diungkapkan oleh penghuni Polda Metro Jaya. Berdasarkan catatan Tirto.id, returnis yang enggan disebutkan namanya ini berangkat ke Suriah pada 2015 lalu. Ia mengaku mengamuflase kepergian ke Suriah dengan berwisata di Turki. Kurang lebih dua minggu mereka berdomisili di Negara Endorgen tersebut.
Mereka membentuk kelompok kecil di perbatasan Gaziantep. Malam gelap gulita tiba, mereka berjalan kaki menyusuri kebun semangka. Tiga jam tak terasa, kelompok tersebut bertemu di satu titik yang sama. Paspor, identitas, dan handphone disita.
Kaum pendatang yang akrab disapa muhajirin ini ditempatkan dalam asrama selama 3 bulan. Program berbeda dijalani tiap bulannya. Proses adaptasi di bulan pertama, indoktrinasi sesuai kurikulum ISIS di bulan kedua. Dan terakhir i’dad—latihan perang dengan mengangkat senjata—di bulan ketiga. Penjara pun telah disiapkan bagi laki-laki yang tidak siap berperang.
Memang benar adanya, ISIS memberikan tempat tinggal bagi para anggotanya. Meskipun jauh dari kata layak dan lebih mirip dengan tempat penyiksaan. Tempat ini tak lain diperoleh secara paksa dari penduduk setempat. Bersamaan dengan itu, stigma tentang eksklusivitas ISIS dan mementingkan kelompoknya sendiri pula semakin menguat.
Agama adalah candu
“Agama adalah candu,” begitu tulis Lenin dalam The Attitude of the Worker’s Party of Religion (1909). Inilah yang diyakini sebagai diktum Karl Marx dan dianut para kaum Marxis. Marxisme memandang, agama, tempat ibadah, bahkan organisasi keagamaan layaknya alat kaum berjuis untuk melumpuhkan kaum kelas bawah demi mempertahankan eksistensi mereka.
Seperti yang dipahami Lenin, candu—dalam konteks agama—memiliki pengertian ekstrem. Candu dapat merusak otak, menghilangkan kesadaran, bahkan membunuh kehidupan. Sejatinya, pandangan Marx tidaklah seekstrem itu.
Agama adalah candu, begitu kata Marx, jika digunakan secara berlebihan. Dua sisi yang diajarkan Marx. Candu, jika digunakan seperlunya dapat memberikan kebahagiaan dan ketenangan—meskipun sesaat. Sebaliknya, candu pula dapat mematikan jika dikonsumsi secara overdosis.
Candu, begitu pula agama, membuat manusia sejenak melupakan kesedihan, kemiskinan, bahkan kesengsaraan hidupnya. Agama zaman ini diyakini sebagai tempat pelarian terakhir kaum tertindas. Teroris yang kini menduduki berbagai belahan dunia tak lain merupakan barisan sakit hati dari ketidakadilan sosial. Pergolakan batin terjadi dalam diri mereka kala terbesit keinginan untuk membebaskan diri dari kezaliman umat sebangsa dan seagama.
Ketidakadilan sosial inilah yang membawa pemahaman mereka pada asumsi dunia yang jahat, bahaya, dan mengancam ibarat hidup di neraka. Surga para muhajirin, lahir dari “kawasan pengungsian” yang mereka anggap ideal. Layaknya surga, dikelilingi dengan keadilan, kesempurnaan, kebahagiaan, dan kenikmatan. Tidak ada lagi ketimpangan ekonomi yang dirasakan. Tujuh bidadari pula menemani mereka.
Pandangan inilah yang membuat para teroris tergila-gila untuk mati. Lahir dari eskapisme, dan mendatangi surga yang sempurna. Surga yang dijanjikan kelompok ISIS sejatinya tak lebih dari idealisasi kenyataan yang sama sekali tak ideal. Entah dalam wujud surga eskatologis maupun psikologis.
Terorisme yang mulai mengakar sebagai entitas budaya bangsa Indonesia tentu harus segera diatasi. Berbagai pendekatan harus dilakukan aparat pemerintah dan masyarakat luas. Mulai dari hard approach hingga soft approach. Pemuda, sebagai tonggak masa depan bangsa kiranya bisa dipercaya sebagai garda terdepan dalam memutus rantai terorisme. Salah satu langkahnya dengan pemberdayaan ekonomi yang disentralkan di tiap-tiap daerah.
Pemberdayaan Ekonomi Pemuda
“Kewirausahaan adalah mesin yang menciptakan pekerjaan, dan pekerjaan-pekerjaan mendorong pertumbuhan dan harapan ekonomi yang merupakan pondasi masyarakat sipil yang damai,” begitu kata Barack Obama dalam Sidang Umum PBB September 2014.
Perkataan orang kenamaan yang pernah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat tersebut kiranya harus menjadi otokritik bagi masyarakat luas. Kuatnya keterbatasan ekonomi menengah ke bawah rupanya menjadi faktor pendorong terjadinya satu demi satu aksi terorisme. Sistem ekonomi di Indonesia perlu diperbaiki. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah melalui pemberdayaan ekonomi pemuda.
Indeks UNDP pada 2017 lalu menerbitkan, partisipasi ekonomi generasi muda Indonesia jauh melebihi negara lain di Asia. Kaum muda Indonesia menempati urutan kedua dalam citizen participation, melampaui India (8), Jepang (12), Filipina (19), China (20), Thailand (26), dan Saudi Arabia (29).
Kenyataan ini sudah selayaknya menjadi hal penting bagi pemerintah Indonesia untuk turut melibatkan pemuda dalam proses pembangunan swasembada ekonomi berkelanjutan. Pendampingan dan pelatihan dukungan usaha perlu digalakkan. Jika perekonomian maju, maka masyarakat luas akan menyibukkan diri dengan hal-hal positif yang secara otomatis dapat memutus rantai terorisme.
Pemuda sebagai tonggak pembangunan bangsa harus dididik dengan konten terbaik dari yang terbaik. Pemberdayaan pemuda dari pelosok desa hingga metropolitan harus menjadi fokus utama. Karena di tangan pemuda, ada sejuta harapan bangsa. Mengutip ungkapan Bung Karno, beri aku 1000 orang tua, maka akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.
Demikian penjelasan terkait memutus arus terorisme. Semoga keterangan memutus arus terorisme ini bermanfaat. []