Mubadalah.id – Allah SWT menciptakan manusia menjadi dua jenis, yakni laki-laki dan perempuan. Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk berpasang-pasangan dan melahirkan keturunan dari mereka. Konsep ini mengawali tulisanku tentang bagaimana kita menata mindset relationship dengan lawan jenis.
Sebagaimana yang telah tertulis dalam firman-Nya, QS. An-Nisa’ ayat 1 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبًا
Artinya: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (periharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Jika kita baca secara tekstual, maka ayat tersebut bermakna bahwa seorang laki-laki (Adam) berpasangan dengan perempuan (Hawa). Kemudian Allah SWT memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan dari keduanya. Ayat tersebut juga bisa kita maknai bahwa perempuan diciptakan dari bagian laki-laki sebagai pasangannya. Namun, jika kita telusuri lebih jauh ayat tersebut tidak sedang menggambarkan secara jelas penciptaan Adam maupun Hawa.
Makna Nafsin Wahidah
Dalam buku Qira’ah Mubadalah (Faqihuddin, 2019 : 237-238) dijelaskan bahwa kata ‘nafsin wahidah’ secara struktur bahasa sebagai bentuk perempuan dengan makna yang netral tanpa jenis kelamin. Dan akan lebih tepat lagi jika tidak kita maknai Adam ataupun laki-laki, tetapi tetap kita biarkan maknanya netral yang non-seksis, yaitu esensi yang satu.
Sehingga, kata tersebut kembali kepada esensi dasar manusia yang tercipta dari unsur air dan tanah. Atau bisa juga hanya ‘esensi kemanusiaan’ yang sama, tanpa menyebutkan kepastiannya bermakna air dan tanah. Oleh karenanya, ayat tersebut tidak sedang menegaskan secara eksplisit tentang Nabi Adam As. atau laki-laki sebagai sumber penciptaan Siti Hawa atau perempuan.
Pemahaman bahwa perempuan diciptakan dari bagian laki-laki menyebabkan lahirnya subordinasi. Dengan pemaknaan seperti ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan harus tunduk kepada laki-laki. Ini merupakan bentuk dari adanya relasi kuasa yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Sehingga perempuan sering mengalami bentuk kekerasan, pelecehan, marginalisasi, ataupun bentuk ketimpangan gender lainnya.
Sekali lagi, ayat tersebut tidak sedang menunjukkan superioritas laki-laki. Ayat tersebut lebih menekankan pada fakta berpasangan antara laki-laki dan perempuan yang tercipta dari unsur yang sama. Keduanya tidak boleh menjalankan relasi dan hubungan yang otoriter, namun harus saling kerja sama.
Ketimpangan Relasi
Pada kehidupan realitanya, masih banyak terjadi ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan baik dalam lingkup keluarga, pertemanan, organisasi, maupun masyarakat. Seringkali perempuan lagi yang menjadi objek otoritas laki-laki, karena mereka merasa memiliki kuasa atas perempuan.
Misalnya dalam kasus pacaran, sering kita jumpai tindakan amoral seperti kekerasan, pemerasan, bahkan pelecehan seksual. Adanya pemahaman laki-laki yang menganggap dia lebih tinggi posisinya dari perempuan (pasangannya). Mereka cenderung merasa memiliki atas apa yang perempuan miliki, termasuk tubuhnya. Hubungan seperti ini jelas berpengaruh buruk dan mengandung toxic.
Namun, posisi perempuan rentan untuk mendapatkan pengakuan bahwa tindakan pelecehan ini anggapannya atas landasan ‘suka sama suka’. Padahal setiap laki-laki dan perempuan dalam menjalani pacaran memiliki maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Berdasarkan pengamatan lingkungan penulis, mereka yang berpacaran memiliki tujuannya masing-masing.
Walaupun pacaran dilarang dalam Islam, namun dalam praktiknya antara laki-laki dan perempuan pasti memiliki kecenderungan terhadap lawan jenis. Hanya saja, penempatan tujuan awal pendekatan lawan jenis harus kita teguhkan prinsip saling menjaga kehormatan. Ada yang bertujuan untuk mencari calon pasangan berumah tangga, sekedar teman atau partner pekerjaan, atau hanya menginginkan hasrat seksual saja.
Menjalin Relasi dengan Lawan Jenis
Idealnya dalam Islam, jika sudah ada kecenderungan antara laki-laki dan perempuan maka hendaknya menikah. Namun, jika di antara keduanya belum siap untuk menjalani ibadah terpanjang tersebut maka berpuasalah untuk menahan segala hawa nafsu. Belajar dari maraknya kasus ini, penulis menyimpulkan ada beberapa mindset yang perlu diterapkan untuk menghindari toxic relationship dalam hubungan lawan jenis.
Pertama, ketika belum siap mengenal lawan jenis berusahalah untuk membangun akal tanpa adanya perasaan dan bersikap biasa saja dengan mengontrol emosional diri. Kedua, ketika terbentur dengan keadaan sebagai makhluk sosial yang bersosialisasi dengan lawan jenis. Maka anggaplah relasi tersebut sebagai partner atau teman dalam suatu pekerjaan atau organisasi.
Ketiga, ketika sudah siap mengenal lawan jenis maka berinteraksilah dengan cara-cara yang ma’ruf (baik) dengan menjaga agama dan kehormatan masing-masing.
Dengan demikian, perempuan memiliki hak atas diri sendiri untuk menjaga kehormatannya dan laki-laki juga sebaliknya. Sehingga dalam membangun relasi antara laki-laki dan perempuan hendaknya kita lakukan dengan cara yang baik dan saling menjaga kehormatan.
Tidak ada otoritas lagi dari laki-laki atas apa yang perempuan miliki termasuk tubuhnya ataupun hartanya. Laki-laki dan perempuan harus saling menjaga, memelihara kehormatan sampai keturunan di bawahnya, dan hanya kepada Allah SWT mereka bertakwa. []