Mubadalah.id – Maulid Nabi menjadi momen refleksi dalam mengenang sosok Rasulullah SAW yang penuh kasih sayang, kelembutan, dan perhatian kepada umat manusia maupun non-manusia pada zamannya. Salah satu dimensi keteladanan itu merupakan sikap terhadap alam semesta. Baik menanam, merawat, melindungi, dan menunjukkan rasa belas kasih terhadap makhluk hidup.
Dalam tradisi Islam, manusia ditempatkan pada posisi khalîfah, sebagai pemimpin dan pemegang amanah, salah satunya yakni merawat bumi, bukan memposisikan sebagai penguasa yang sewenang-wenangnya.
Oleh karena itu, penulis berusaha menggunakan kacamata ekofeminisme spiritual dalam membaca warisan ajaran Rasulullah SAW melalui penggabungan etika religius, perhatian gender (perempuan sebagai penjaga kehidupan di banyak komunitas) dan sensitivitas ekologis.
Ajaran Rasulullah Merawat Alam
Teks-teks keagamaan memberi banyak pijakan etis. Dalam hadits riwayat Anas ibn Malik (Sumber: Musnad Ahmad 12902) menurut Al-Arna’ut merupakan hadits sahih, bahwa Rasulullah SAW memberikan contoh tentang tanggung jawab ekologis. Hadits tersebut berbunyi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ قَامَتْ عَلَى أَحَدِكُمْ الْقِيَامَةُ وَفِي يَدِهِ فَسْلَةٌ فَلْيَغْرِسْهَا12902 مسند أحمد بن حنبل
Artinya: Anas bin Malik meriwayatkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kiamat telah ditetapkan atas salah seorang di antara kalian, sedangkan di tangannya ada sebatang pohon, maka hendaklah ia menanamnya .”
Hadits tersebut menegaskan perbuatan baik terhadap alam tetap wajib meski dalam keadaan genting. Merawat alam adalah bentuk ibadah dan harapan bagi generasi mendatang. Selain itu, konsep khalîfah menempatkan manusia sebagai penjaga amanah, tanggung jawab yang mengikat etika penggunaan sumber daya. Jangan berlebih (israf), jangan merusak (fasād) dan bertindak dengan hikmah.
Sejumlah ulama kontemporer menggarisbawahi bahwa ajaran Islam tidak memisahkan spiritualitas dari tanggung jawab ekologis, merawat alam merupakan manifestasi iman. Sumber populer dan kajian ringkas tentang “green hadits” merangkum banyak petuah Nabi mendorong kesederhanaan, pelestarian tumbuhan/hewan, dan larangan pemborosan—semua relevan dalam aksi lingkungan hari ini.
Ekofeminisme Spiritual: Menyulam Cinta, Gender dan Alam
Ekofeminisme hadir merespon penindasan terhadap perempuan dan penghisapan alam yang berimplikasi pada ketidakseimbangan alam dan ketidakadilan gender. Keduanya seringkali dihasilkan oleh logika patriarki dan kapitalisme ekstraktif. Ekofeminisme hadir mengingatkan peran perempuan sebagai garda depan dalam penopang ketahanan pangan dan perawatan keluarga, sekaligus menjadi korban pertama kerusakan ekologis.
Misalnya, kisah Kartini Kendeng, gerakan perempuan menolak pabrik semen karena merusak karst (sumber air dan penghidupan mereka) menjadi contoh nyata. Perempuan menggunakan narasi moral, spiritual dan ilmiah untuk menuntut perlindungan ruang hidup. Gerakan tersebut bukanlah aksi simbolik, melainkan hadir menjunjung etika religius dan kearifan lokal menjadi landasan perlawanan ekologis berwajah perempuan.
“Ekofeminisme spiritual” hadir menambah khazanah ilmu pengetahuan sekaligus dimensi religiusitas. Membaca sumber-sumber keagamaan (Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas) sebagai instrumen membongkar narasi dominasi dan pemulihan relasi hidup.
Di Indonesia, sejumlah komunitas adat dan perempuan tani sebagai aktor agro-ekologis dan ritual pelindung lingkungan. Spiritual dalam meneladani Rasulullah berarti menegakkan kasih yang tak pilih-pilih, ia berpihak pada yang lemah (alam yang “tanpa suara” tetapi hidup).
Meskipun pendekatan ini kontekstual, memberikan legitimasi religiuas sekaligus politik bagi suara perempuan penjaga alam. Ekofeminisme hadir menolak struktur ekonomi dan politik yang menempatkan keuntungan di atas kehidupan. Maka perlu penyesuaian etika yang menuntut reformasi kebijakan dan gaya hidup.
Tokoh ekofeminisme di Indonesia, yang sangat familiar dalam dunia akademik dan aktivisme, Dewi Candraningrum dan pemikir ekofeminisme lokal maupun skala nasional dan internasional. Dia kerap menulis dan mengarsipkan banyak pengalaman sebagai teori-praksis yang melekat pada komunitas, melalui serial buku Ekofeminisme.
Data dan Fakta di Indonesia
Berdasarkan data dan realitas menjadi tantangan lingkungan yang mesti umat hadapi. Meneladani Nabi bukan sekadar retorika belaka, melainkan realitas lapangan menuntut tindakan cepat dan terukur. Contohnya: Pertama, deforestasi dan kehilangan tutupan hutan primer.
Berdasarkan data Global Forest Watch dan analisis 2023, Indonesia kehilangan luas tutupan pohon dan mengalami lonjakan kehilangan hutan primer terkait perluasan perkebunan, tambang, dan kebakaran hutan.
Meskipun terdapat tren penurunan daripada puncak dekade 2010-an, tahun el-nino dan ekspansi industri tertentu kembali meningkatkan laju kerusakan. Hal ini menempatkan habibat, keanekaragaman hayati, dan mata pencaharian masyarakat adat dalam ancaman.
Kedua, polusi plastik dan sampah. Sejumlah studi global dan laporan Bank Dunia menempatkan Indonesia di antara kontributor terbesar sampah plastik laut. Volume sampah domestik yang terus meningkat menuntut transformasi manajemen limbah dan gaya hidup konsumtif.
Ketiga, krusial peran perempuan dalam akar rumput. Riset kasus (misalnya gerakan perempuan kendeng maupun komunitas pesisir) menunjukkan perempuan sering terdampak, namun aktif memimpin upaya perlindungan sumber kehidupan.
Baik dari mempertahankan sumur, menjaga benih, hingga memelihara ritual pelindung alam yang menahan proyek ekstraktif. Pendekatan menggabungkan nilai religius lokal dan kesadaran ekologis memperkuat legitimasi perjuangan mereka.
Berdasarkan sajian contoh fenomena di atas bahwa merawat alam merupakan bagian dari ibadah, maka krisis ekologi saat ini menjadi ujian moral dan kolektif bagi umat. Terutama momen Maulid Nabi ketika keteladanan beliau diperingati.
Pesan Maulid Nabi Secara Praksis
Penulis mengkonstruksi berdasarkan beberapa temuan literatur, menghubungkan ibadah dengan perawatan lingkungan, langkah yang menguatkan sinergi antara teladan Rasulullah dan pelestarian alam, seperti halnya: Pertama, masjid sebagai pusat aksi hijau.
Langkah ini mengintegrasikan pengelolaan sampah, bank makanan, dan taman pangan komunitas di kompleks masjid agar praktik ibadah dapat memupuk kemandirian pangan dan pengurangan limbah. Hal ini menghubungkan ritual keagamaan dengan kepedulian ekologis.
Kedua, madrasah dan pondok belajar dengan kurikulum lingkungan. Poin ini menanamkan nilai amanah (kepercayaan) dan rahma (kasih) terhadap ciptaan lewat materi praktis, pertanian organik, pengelolaan air hingga etika konsumsi. Ketiga, perlindungan hak-hak perempuan dan tata ruang.
Poin ini memasukkan perspektif gender dalam penilaian AMDAL dan kebijakan tata ruang sehingga dampak terhadap beban kerja reproduksi perempuan, akses air, dan ketahanan pangan dihitung dan dilindungi.
Keempat, advokasi hukum untuk hak-hak alam. Poin ini mengkaji pengakuan perlindungan hukum bagi ekosistem kritis yang selaras dengan gagasan etika universal yang diajarkan agama. Model hukum di beberapa negara juga mengakui hak alam dapat menjadi kajian adaptasi. (contohnya pengakuan hukum terhadap entitas alam di berbagai yurisdiksi).
Pesan yang dititipkan oleh Rasulullah melalui momentum Maulid Nabi, dapat tersampaikan di pengajian, khutbah, dan majelis taklim agar relevan dengan isu lingkungan.
Contoh konkretnya seperti halnya. Pertama, jadikan teladan Rasulullah sebagai panggilan amanah, jaga lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab iman. Kedua, mengajak jamaah melakukan aksi konkret melalui bersih-bersih lingkungan, program penghijauan, pengurangan sampah sekali pakai selama kegiatan pengajian.
Ketiga, prioritaskan narasi mengaitkan kasih (rahmah) dan keadilan. Menolong sesama dan melindungi lingkungan merupakan dua aspek yang tak terpisah. Keempat, dukung perempuan lokal sebagai pemimpin lingkungan melalui amplifikasi suara ibu-ibu desa/nelayan yang paling memahami kerusakan moral.
Maulid sebagai Momentum Ekologis
Maulid Nabi merupakan momentum untuk meresapi sifat rahmah, kasih sayang, dan keadilan yang Rasulullah ajarkan. Jika makna kita terjemahkan dalam tanggung jawab terhadap alam dan mereka yang paling rentan (perempuan dan komunitas adat), maka perayaan menjadi relevan dengan tantangan zaman. Seperti halnya krisis iklim, kerusakan hutan, dan polusi dapat mengancam martabat ekosistem kehidupan.
Ekofeminisme spiritual menawarkan kerangka menyatukan iman dan praktik berjalan beriringan, mencintai Nabi merupakan merawat ciptaan-Nya. Momentum Maulid Nabi ini, seruan dapat terwujudkan dalam tindakan kecil secara kumulatif, melalui penanaman pohon, mengurangi sampah plastik, memperjuangkan kebijakan yang melindungi sumber kehidipan, sebagai wujud cinta Rasulullah menjadi nyata di bumi yang kita warisi. []