Mubadalah.id – Bulan Juni sarat dengan kelulusan sekolah. Para pengelola sekolah giat menyelenggarakan perayaan wisuda di setiap sekolah. istilah wisuda menurut KBBI, adalah “peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat”.
Dulu, penggunaan istilah itu hanya untuk mereka yang lulus perguruan tinggi. Namun, sejak beberapa tahun silam, perayaan wisuda terpakai untuk kelulusan seluruh jenjang pendidikan, mulai dari TK, hingga lulus perguruan tinggi. Saya sudah menghadiri 4 kali wisuda untuk satu orang anak. TK, SD, SMP, SMA.
Saya baru membaca status FB, Kang Ichsan Malik. Seorang cendikiawan, psikolog dan Direktur Institute Titian Perdamaian. Dia menulis begini: “Mungkin tradisi “wisuda” dikembalikan lagi ke Perguruan Tinggi. Kasihan, masyarakat kecil harus menanggung biaya yang tidak sedikit untuk ikut wisuda sejak TK, SD, SLTP, SLTA. Pinter orang yang mendorong tradisi baru ini”. Sindiran Kang Ichsan Malik ini telah mewakili suara hati banyak orang, termasuk saya. Meski dengan alasan yang berbeda tentunya.
Saya baru saja menghadiri perayaan wisuda yang menguji kesabaran. Bulan ini, anak saya ikut wisuda untuk kelulusan SMA. Saya dan istri datang sejak pagi, sesuai undangan. Ternyata, acara wisuda di Aula Besar itu untuk satu sekolah. Berbarengan dengan jenjang SD, SMP dan SMA. Mungkin, hampir ada 800 an siswa yang dipanggil satu per satu ke atas panggung untuk bersalaman dengan Kepala Sekolah.
Menunggu nama anak dipanggil, yang mungkin ada di urutan ke 700, sungguh menjemukan. Parahnya lagi, panitia wisuda tidak hanya menyebut nama, tetapi juga hobi dan cita-cita setiap anak didik saat naik ke atas panggung. Kreatif sih, tapi menambah durasi.
Perayaan Wisuda Sarat Formalitas dan Berbiaya
Perhelatan wisuda yang saya hadiri terkesan sangat resmi dan kaku. Panggung besar nan megah dengan system lighting bagus di Aula itu terisi oleh ritual wisuda, pemberian penghargaan dan ajang sambutan. Minim pentas kreativitas dan seni.
Para siswa dipanggil satu persatu, naik panggung bersalaman dan lalu turun. Ketika ritual itu dilakukan untuk 800 siswa, bisa dibayangkan kebosanan para pengunjung. Satu-satunya tuntutan yang membuat saya bertahan adalah menunggu nama anak dipanggil.
Saya harus tetap bersyukur sih, karena berada di dalam aula besar yang berpendingin udara cukup bagus. Salah satu agenda acara yang cukup sia-sia adalah berbagai sambutan. Durasinya ada yang panjang sekali. Jujur, ketahuilah wahai para pemberi sambutan. Dalam acara seperti itu, sambutan yang menurut Anda bagus sekalipun, maaf, akan lebih banyak terabaikan dari telinga pengunjung. Karena kedatangan pengunjung, tidak berniat untuk mendengarkan itu. Bener deh.
Menghadiri acara perayaan wisuda anak, ternyata tidak semata-mata cukup hanya datang dengan pakaian rapi, lalu berfoto bareng dan selesai. Jauh-jauh hari, istri saya telah menjahitkan baju khusus untuk perhelatan tersebut. Termasuk baju batik berlengan panjang untuk saya. Untuk anak yang akan diwisuda juga tidak kalah repot.
Dia harus menggunakan jas warna hitam, baju putih berlengan panjang dan dasi warna biru polos. Lumrah, jika ada yang berkomentar: “tetek bengek wisuda itu ada harganya lho…”. Namun, istri berpandangan: “Alaah ini kan hanya sekali seumur hidup. Demi anak kita to Pak…”. Kalo sudah mengeluarkan mantra itu, maka sayapun luluh, tidak lagi berani protes ini itu.
Perayaan Wisuda Ajang Kreativitas Siswa
Desain perayaan acara wisuda, sesungguhnya adalah cermin yang memantulkan karakter para pengelola sekolah sebagai penyelenggara. Apakah mereka suka dengan kesenian atau sebaliknya? Apakah mereka berkomitmen pada tumbuhnya kreativitas anak didik atau tidak peduli?
Mungkin saja, mereka berkepentingan untuk menjaga kewibawaan sekolah. Untuk itu, ritual acaranya dibuat sarat dengan formalitas dan serba upacara. Meniru kultur militer. Formalitas itu semata-mata untuk meneguhkan keinginan terpendam dibalik acara itu.
Desain perayaan wisuda tidak berangkat dari ruang kosong. Ada beragam alasan dan spirit tertentu yang melatarbelakangi pemrakarsa acara tersebut. Sama seperti perhelatan pernikahan, ulang tahun dst. Ada sukma yang mengatur raga.
Hemat saya, perayaan wisuda seharusnya menjadi ajang pementasan para kreator (apa saja) dari para siswa. Saatnya mereka unjuk beragam kreativitas itu secara total di atas panggung. Semua siswa punya kesempatan yang sama. Sayang kalau hanya sekedar bersalaman dengan kepala sekolah.
Saran bagi Penyelenggara Acara Wisuda
Usia SMA, adalah masa keemasan, di mana kreativitas mereka mengalir begitu deras dalam jiwa. Para siswa harus tampil di atas panggung untuk mementaskan dan mendemonstrasikan kreativitas mereka. Apa saja. Mulai dari orasi, baca puisi, menyanyi, vocal group, mini drama, pantomime, standup comedy, demonstrasi melukis, bermain music, main band tabok, hadrah, anjuk kemampuan membaca lantunan ayat-ayat Alqur’an dengan merdu, atau apa saja.
Bayangkan, selama berjam-jam ratusan siswa dipanggil ke panggung untuk bersalaman, iringan music yang menyertainya berasal dari rekaman suara. Bukan asli. Mengapa iringan musik tersebut tidak mereka mainkan secara live oleh para siswa yang bisa bermain piano, gitar, saxophone, biola, drum, ketipung. Toh mereka bisa berlatih sebelumnya, sehingga siswa bisa tampil prima dan penuh percaya diri di atas panggung.
Perlu kita ingat, tampilan para siswa di atas panggung, pasti akan diapresiasi oleh para orang tua siswa dengan penuh suka cita. Tidak ada kata jelek, tidak ada rumus gagal, bila yang tampil adalah siswa. Semua akan bilang bagus dan memakluminya.
Perayaan wisuda yang sudah pasti berbiaya besar, seharusnya mampu menjadi wadah unjuk kreativitas siswa. Sekali pentas di panggung, mereka tidak akan pernah lupa seumur hidupnya. Semoga ada kelapangan hati dari para guru dan orang tua murid untuk bersabar dan belajar menyampaikan pidato dan nasehat-nasehatnya dengan metode yang lebih kreatif, agar tidak menjemukan.
Kesadaran para guru dan pengelola sekolah untuk memberikan porsi besar kepada para siswa untuk saling bekerjasama dalam unjuk kreativitas, jauh lebih penting, daripada memaksa para siswa dan orang tua murid mendengarkan berbagai nasehat panjang lebar di atas panggung yang seharusnya menjadi milik siswa. []