• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Mengaku Paham Agama, tapi kok Suka Berkomentar Menghina?!

Memaki-maki bukanlah solusi, justru menjadikan dakwah semakin jauh dari esensi.

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
29/09/2020
in Aktual, Rekomendasi
0
228
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Video reportase pendek DW Indonesia yang berjudul “Anak-anak, Dunianya, dan Hijab” sedang banyak dibicarakan di lini masa. Sontak banyak argumen pro kontra yang muncul. Di satu sisi, banyak yang setuju bahwa jilbab tidak perlu dipaksakan ke anak-anak, apalagi mereka tidak bisa membuat keputusannya sendiri. Pemakaian jilbab oleh orangtua dikhawatirkan membentuk anak menjadi eksklusif dan tidak mau membuka diri dengan pemikiran yang berbeda ketika dewasa.

Pihak yang lainnya menyanggah, dengan dasar bahwa memakai jilbab adalah kewajiban seorang muslimah, tentu tidak ada yang salah ketika orangtua melakukan pembiasaan sejak dini. Hal itu dimaksudkan untuk pendidikan awalnya dalam menaati nilai-nilai agama yang diyakini.

Di sini, saya sendiri tidak ingin berlama-lama membahas konten video tersebut, biarlah yang lebih ahli untuk berbicara. Yang justru saya ingin soroti adalah sikap umat dalam menyikapi perbedaan pendapat. Sebagai pengguna media sosial aktif, saya sebenarnya sudah terbiasa dengan ‘twitwar’ atau perang komentar sejenis di berbagai lini masa, dan menurut saya itu justru menjadi hiburan tersendiri di kala jengah dengan pekerjaan serta urusan pribadi.

Namun yang saya sayangkan dari hari ke hari, kedewasaan kita dalam menyampaikan pendapat justru tidak mengalami kemajuan. Penduduk Indonesia yang notabene adalah salah satu pengguna teraktif internet dan media sosial sejagat raya, justru untuk urusan beda opini apalagi untuk topik-topik agama, malah terkesan paling gampang ‘ngegas’.

Bahkan tak jarang para ulama dengan ketinggian ilmu dan akhlak dicaci maki tanpa adab jika tak sejalan pemikirannya. Inilah yang justru salah kaprah. Padahal ulama-ulama besar telah mencontohkan bahwa berbeda pendapat, bukan berarti memperbolehkan kita mendaku diri yang paling benar, apalagi sampai menuduh orang penghuni neraka. Apakah dengan begitu, kita sudah pasti dijamin untuk memegang kunci surga?! Duh, saya khawatir malaikat-malaikat justru akan menertawakan kekonyolan kita.

Baca Juga:

Tafsir Sakinah

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

Dokumen Abu Dhabi: Warisan Mulia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb Bagi Dunia

Kisah Ibunda Hajar dan Sarah dalam Dialog Feminis Antar Agama

Kembali ke video DW tadi saja, saya cermati betul kolom komentar berbagai pihak. Beberapa akun yang tidak setuju melihat bahwa konten DW terlalu sempit dan dapat meninggalkan kesan yang kurang lebih ‘islamophobic’. Akan ada kekhawatiran bila narasi tersebut justru kurang lebih bernada sama dengan argumen bahwa individu yang tidak berjilbab adalah yang kurang islami. Opini ketidaksetujuan yang disampaikan bernada netral, tidak menghakimi, dan yang terpenting, tetap mengedepankan akhlak serta ruang seluas-luasnya untuk berdiskusi. Sayangnya, feedback sejenis bukan yang lumrah ditemui.

Mayoritas yang kontra justru tampak emosional, seperti, “Woooyyy kalo gak ngerti syariat Islam, Diem aja luh..!! Ini nih salah satu narasi hiu makan tomat, gobloknya stadium 4” atau yang bernada ketus, “feminisme t*ik anj**g?!” bahkan ada yang sampai membawa celaan fisik secara negatif, “pantes dia bilang hijab gak wajib, …. t*t*knya kemana-mana.”

Saya paham bagaimana sudut pandang ketidaksetujuan ini, tapi menurut saya tidak perlu kita berargumen dengan memojokkan hingga menghina dengan kata-kata tak pantas dan seronok. Sampaikan pendapat dengan mengedepankan etika, bukan hanya bersembunyi di balik akun palsu/kedua dengan tampilan profil foto animasi, yang tak senyatanya.

Bukankah kita meyakini bahwa nilai-nilai Islam itu luhur?! Oleh karenanya, mari tidak sekadar dipahami secara teori, tapi juga dipraktikkan secara hakiki, bukan justru malah memaki-maki. Belum lagi yang malah menyerang dengan kasar akun yang menyetujui narasi DW dengan menjelek-jelekkan fisik, merendahkan dengan menyarankan untuk lepas jilbab.

Tindakan tersebut tak ada bedanya dengan ‘ad hominem’ atau sesat pikir ini sering terjadi karena kurangnya pengetahuan atau keterampilan argumentasi. Dalam kasus ad hominem, mereka mencoba mendiskreditkan argumen lawannya dengan mengkritik penampilan atau latar belakang mereka, yang tentu saja tidak ada kaitannya dengan perdebatan tersebut.

Dan cyberbullying sejenis sangatlah marak di media sosial kita. Bagaimana ketidaksetujuan dalam suatu hal, membuat orang dengan mudah justru melancarkan sumpah serapah serta mendoakan keburukan tak terkira. Terhitung 37% anak muda menjadi korban bully online seperti tadi. Utamanya para perempuan yang kecenderungannya sebagai korban perundungan di internet lebih tinggi 15% dibandingkan laki-laki.

Padahal dampak negatif cyberbullying sangat beragam, sang korban bisa berisiko mengalami gejala gangguan kesehatan baik fisik maupun mental hingga dorongan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Sayangnya, masih banyak dari kita yang mengentengkan hal ini dengan alasan sebatas bercanda atau menganggapnya bukanlah hal yang serius. Saya khawatir, bila perundungan dianggap hal biasa, ke depan agama yang kita pelajari hanya sebatas formalitas semata.

Jika sudah begitu, keprihatinan Prof. Quraish Shihab yang menyayangkan hilangnya akhlak dalam interaksi sosial kita memang betul adanya. Sementara itu, jauh-jauh hari sebenarnya Rasul sudah mencontohkan bagaimana tetap mengedepankan adab, misalnya saat didoakan buruk oleh seorang yahudi yang datang menemuinya.

‘Semoga kematian menimpamu’ yang diucapkan oleh si yahudi tersebut kepada beliau justru dihadapi dengan tenang tanpa beban. Padahal waktu itu Aisyah yang mendengarnya sudah sangat emosi. Menariknya, beliau malah meminta Aisyah untuk sabar, “sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam segala hal.”

Dari sini, kita sebagai umat muslim harusnya malu ketika malah melenceng jauh dari ajaran Rasul. Sedangkan beliau sendiri menunjukkan bahwa memaki-maki bukanlah solusi, justru menjadikan dakwah semakin jauh dari esensi. Oleh karenanya, mari dari sekarang kita ke depankan semangat mubadalah dalam segala aspek kehidupan: menebarkan nilai-nilai harmonis dalam berinteraksi sosial dengan tetap menjunjung tinggi etika dan keluhuran hati. []

Tags: agamadakwahHijabislamnabi
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID