Mubadalah.id – Hari Raya Idulfitri telah berlalu, demikian pula libur hari raya telah usai. Semua anak rantau yang pulang kampung dipaksa untuk mencukupkan rindunya, dan kembali ke realita tanah rantau. Rasanya libur berlalu begitu cepat ketika kue lebaran masih banyak di meja tamu, sungguh masih enggan rasanya meninggalkan kampung halaman tercinta.
Momentum kembali ke perantauan setelah libur sesaat hari raya memang begitu berat, demikian untuk orang-orang yang kita tinggalkan juga, berat melepaskan seorang yang kita sayang. Bagaimanapun, kehidupan harus terus berlanjut, meski berat sekali meninggalkan rumah dan segala kenangannya. Lalu, bagaimana Islam memotivasi para perantau untuk kembali bersemangat merantau?
Merantau adalah hal yang justru dianjurkan dalam Islam. Sebagaimana yang tersebutkan dalam Quran Surat Al-Mulk ayat 15, yang artinya:
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.
Ada banyak alasan seseorang pergi merantau, entah itu untuk bekerja mencari rezeki, atau untuk menuntut ilmu. Semua alasan tersebut mulia selama kita tujukan untuk mengharap ridha-Nya demi mengupayakan kehidupan yang lebih baik. Islam memandang perantauan sebagai sarana untuk memahami kebesaran Allah.
Manfaat Merantau
Merantau dalam Islam tidak hanya membawa keberkahan, tetapi juga membawa sejumlah manfaat yang nyata. Merantau dapat memperluas wawasan pengetahuan dan pengalaman, memperluas rezeki, serta bermanfaat dalam proses perkembangan individu. Dengan merantau seorang individu akan memiliki kemampuan beradaptasi yang baik, peningkatan kemampuan berkomunikasi, dan melatih kemandirian sebab meninggalkan zona nyamannya.
Seseorang yang merantau akan belajar mengatasi tantangan, mengelola waktu, serta berkomunikasi dengan berbagai jenis kepribadian manusia. Hal ini tentu akan membentuk pribadi yang lebih tangguh dan lebih siap menghadapi kerasnya kehidupan.
Merantau bahkan Rasulullah contohkan dalam peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah demi berlangsungnya dakwah Islam yang lebih baik. Rasa berat meninggalkan kampung halaman ini barangkali memanglah fitrah manusia, sebab Rasulullah pun juga merasa sedih dan berat meninggalkan Mekkah sebagai kota kelahirannya untuk kemudian hijrah ke Madinah.
Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid, Abu Ya’la, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu ‘Abbas, ketika Nabi Muhammad akan meninggalkan Mekkah, sebelum hijrah ke Madinah, beliau menoleh ke belakang melihat negeri Mekkah sambil berkata:
“Engkau (Mekkah) adalah negeri Allah yang paling aku cintai, dan kalau penduduknya tidak mengusirku, tentu aku tidak akan meninggalkan engkau.”
Belajar dari Imam Syafi’i
Selain itu, ada banyak tokoh Islam yang menjadi hebat sebab merantau, salah satunya adalah Imam Syafi’i. Imam Syafi’I atau yang memiliki nama asli Muhammad bin Idris, lahir di Palestina dan memiliki kecerdasan yang luar biasa sejak kecil.
Beliau rela melalangbuana sejak muda untuk menuntut ilmu, yang karenanya pula sampailah hingga zaman kita berbagai pengetahuan Islam saat ini. Menurut Imam Syafi’I ada 5 faedah merantau, yakni: menghilangkan kesedihan, berusaha mencari penghidupan, menuntut ilmu, adab, dan berteman dengan orang mulia. Ada banyak nasehat perantauan dari Imam Syafi’i yang terabadikan dalam syair-syairnya:
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang).
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan). Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang). Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya. Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.
Merantau memang berat, tapi dengan keridhaanNya akan banyak pahala dan keberkahan di dalamnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim, no. 2699).
Mereka yang merantau akan mendapatkan ganti dari apa yang mereka tinggalkan, karena sungguhnya nikmatnya hidup ada setelah lelahnya perjuangan dan kemuliaan tak akan kita dapat dengan kemalasan. []