Mubadalah.id – Terma politik inklusif sempat mengemuka beberapa waktu lalu. Namun, merujuk catatan Google Trends, sepekan terakhir ini gaung tentang politik inklusif justru mengalami penurunan.
Padahal, inklusivitas di bidang perpolitikan amatlah penting. Misalnya saja, menurut UN Development Program, inklusivitas di ruang politik berperan dalam peningkatan partisipasi publik, akuntabilitas pemerintahan, serta masyarakat yang lebih berdaya.
Inklusivitas menjadi kian urgen di tengah publik yang berhadapan dengan wacana praktik politik yang non-demokratis. Teranyar ini, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Indonesia, Abdul Muhaimin Iskandar, menyerukan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Lantas, apa sebenarnya politik inklusif itu?
Secara sederhana, perpolitikan yang inklusif berarti sebuah garansi atas partisipasi menyeluruh sekaligus representatif untuk setiap kalangan. Tentunya, tak terkecuali untuk komunitas penyandang disabilitas.
Universalitas hak politik dan jaminannya
Basis dasar dari pandangan politik inklusif tak lain ialah hak asasi manusia (HAM). Sebagai bagian tak terpisahkan dari hak dasar setiap manusia, hak berpolitik bersifat universal. Artinya, setiap manusia berhak untuk menggunakan hak pilihnya.
Diferensiasi kondisi ketubuhan pada seseorang tak lantas menggerus hak politiknya. Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan keterpenuhan hak tersebut pada setiap warga negaranya yang telah memenuhi persyaratan.
Indonesia memiliki dasar hukum tentang hak politik dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Misalnya, pada pasal 27 ayat (1), konstitusi menyebut tentang egalitarianisme setiap warga negara.
Sementara, dalam aturan di bawahnya, kita dapat mencermati UU Nomor 39 Tahun 1999. Di pasal 23 ayat (1), secara eksplisit disebutkan bahwa setiap orang berhak dipilih dan memilih sesuai kehendak nuraninya.
Praktik baik dan kolaborasi
Implementasi dari aturan-aturan yang telah ada semestinya mengerucut pada muara tunggal: politik inklusif. Sejauh ini, meski belum sepenuhnya maksimal, negara telah mencoba menerapkan praktik baik.
Misalnya, pada Jumat (25/7) lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Provinsi Sulawesi Selatan, menyelenggarakan sosialisasi politik inklusif kepada kawan disabilitas.
Tidak sendirian, mereka berkolaborasi dengan Program Studi Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar. Keduanya punya komitmen serius untuk membuka akses politik yang bebas dari sekat-sekat diskriminasi.
Inisiasi tersebut tentu layak beroleh jempol. Terlebih, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah pemilih disabilitas yang cukup besar. Setidaknya, tak kurang dari 53.751 pemilih dari provinsi ini berstatus difabel.
Suara disabilitas, suara penuh
Pada praktiknya, penerapan politik inklusif mesti berpijak pada satu prinsip dasar tentang suara disabilitas sebagai suara penuh. Yakni, nilai dan signifikansinya sama dengan suara pemilih lain.
Alih-alih sekadar mengakomodasi secara kuantitas partisipasi, politik inklusif juga menanggung responsibilitas lain.Yakni, memastikan keterlindungan suara disabilitas.
Suara mereka murni dari pilihan pribadi, bukan hasil bujuk rayu atau intimidasi seseorang. Di sini, inklusivitas juga bekerja dalam kerangka kerepresentasifan.
Karenanya, sosialisasi berkenaan dengan pemilihan umum (Pemilu) perlu bersifat lebih edukatif. Tak hanya menjadi tanggung jawab KPU, para kontestan Pemilu juga seyogianya turun mengunjungi basis-basis konstituennya.
Selama ini, kita lebih sering menyimak hidangan kampanye politik sebagai momen adu daya (power fight) dan pamer semata.
Bukannya meningkatkan pengetahuan masyarakat akan profil dan program calon pemimpinnya, hal yang sering menjadi justru kekerasan, adu jotos, dan kebencian.
Cukup waktu untuk menyulut lilin
Menyambut Pemilu akbar di tahun 2029 nanti, bangsa kita masih punya cukup waktu untuk berbenah. Tiga hingga empat tahun kedepan mesti berdaya guna untuk mewujudkan praktik politik inklusif.
Kita punya landasan konstitusional yang terang, praktik baik yang beberapa telah berjalan, serta geliat untuk berkolaborasi. Tentu, kesemuanya merupakan modal berharga.
Tugas kita selanjutnya yakni memperluas jaringan kerja, mendesiminasikan lebih banyak gagasan, juga merangkul lebih banyak disabilitas.
Cahaya politik inklusif dapat memancar terang tidak berkat sebuah sinar tunggal di ibukota atau tempat-tempat dengan tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi.
Namun, cahaya itu dapat membenderangi pelosok negeri lewat lilin-lilin kesadaran yang kita sulut dari setiap tempat kita berada.
Politik inklusif bukanlah utopia. Ia tentu bisa mewujud, selagi kita mau untuk mewujudkannya.
Jadi, apakah kita hanya akan berdiam diri di atas tempat tidur tanpa mencoba menyalakan lilin-lilin? []