Mubadalah.id – Pembahasan tentang feminisme seringkali terlihat sangat berat dan menguras tenaga. Sebab, beberapa orang memandang feminisme adalah sesuatu yang ruwet dan terlalu berani untuk melawan keadaan yang telah mekar hingga hari ini. Padahal kenyataannya, feminisme telah lahir di sekitar kita dan berkembang dengan baik di lingkungan kehidupan sehari-hari.
Tetapi, sebelum jauh membahas mengenai yang ringan-ringan seperti yang sudah saya sampaikan di atas. Penulis akan mengurai sedikit soal definisi feminisme secara umum terlebih dahulu. Rohmaniyah (2017) dalam bukunya menjelaskan bahwa feminisme adalah gerakan yang memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial dengan melakukan upaya penghapusan diskriminasi gender.
Definisi tersebut secara perlahan mengantarkan penulis untuk menguraikan lebih lanjut beberapa gerakan feminisme yang ada dalam novel Dua Barista Karya Najhaty Sharma. Novel Dua Barista adalah sebuah karya sastra yang lahir dari lingkungan pesantren. Najhaty Sharma sebagai penulis adalah seorang Nyai yang bergelut berjuang di sebuah pesantren. Tulisan ini sebenarnya bentuk ringkas dari sebuah tulisan ilmiah yang berjudul Feminisme Dalam Pesantren: Kajian Kritik Sastra Feminis Dalam Novel Dua Barista Karya Najhaty Sharma (2020).
Feminisme bagi beberapa orang dipandang sebagai gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial, maupun sebuah pemberontakan perempuan terhadap kodrat atau ketentuan agama yang bersifat kodrati. Tentu, pandangan-pandangan yang demikian yang selanjutnya menjadi pelajaran besar untuk para pejuang kesetaraan agar lebih ramah atau menggunakan cara yang tepat dalam mensosialisasikan gagasan tentang feminisme.
Novel atau karya sastra yang dilahirkan oleh Najhaty Sharma adalah salah satu cara yang bisa digunakan untuk menyampaikan gagasan tentang feminisme. Najhaty Sharma secara halus dan ramah menampilkan tokoh dengan citra yang berbeda dengan konstruksi budaya patriarki.
Najhaty begitu kompleks membumbui dengan konflik dalam novelnya. Tetapi, dalam alurnya semakin mempertajam tentang kuatnya budaya patriarki, adanya diskriminasi, tapi terlihat juga pekatnya perjuangan yang dilakukan oleh perempuan.
Novel Dua Barista yang berkisah tentang poligami ini berhasil menggambarkan citra perempuan yang kuat pada tokoh Mazarina. Sosok Mazarina sebagai seorang istri pertama memiliki perjuangan panjang untuk menegakkan keadilan dalam relasi perkawinan. Perempuan dengan segala kekurangan salah satunya tidak bisa melahirkan keturunan adalah suatu sumbu yang menjadi alasan terjadinya poligami. Tetapi, dengan berbagai keterbatasan, Mazarina melakukan gerakan, dan mempertegas perannya di lingkungan pesantren yang sangat kompleks dan massif.
Mazarina adalah sosok yang cerdas, berjiwa pemimpin, ahli dalam berwirausaha, dan memiliki jiwa kreatif yang tinggi. Citra tersebut merupakan bagian dari perjuangan-perjuangan yang ia lakukan untuk memperjuangkan hak-hak yang ia miliki seperti hak kebebasan dalam berkarya, berpendidikan, mendapatkan kasih sayang dari suami, dan berkiprah di ruang publik.
Perjuangan-perjuangan seperti yang dilakukan oleh Mazarina, dan para Ibu Nyai di ruang publik juga bagian dari gerakan feminisme yang secara tidak sadar telah tumbuh dan berkembang pada masa sekarang. Tidak hanya berkiprah di ruang publik, namun juga bisa mengekspresikan ide-ide kreatif yang dimiliki menjadi sebuah karya, yang itu merupakan bagian dari gerakan feminisme. Karena kita tahu, bahwa konstruksi peran perempuan di lingkungan pesantren tidaklah demikian.
Bentuk gerakan-gerakan yang dilakukan juga tidak lain berisi tentang dakwah untuk menyampaikan suatu kebaikan. Artinya, bahwa feminisme bukan sesuatu yang ganas, dan selalu berkonotasi negatif karena mengarah pada pemberontakan perempuan. Justru, kita semua yang harus memahami lebih luas lagi tentang makna perlawanan perempuan terhadap sistem disekitarnya.
Maka jika melihat fakta tersebut, gerakan feminisme secara tidak sadar telah ada di lingkungan pesantren, di mana perempuan mampu memperjuangkan hak-haknya, sehingga hal tersebut merupakan kabar baik untuk para perempuan pesantren, agar mampu berkiprah lebih luas, dan mengekspresikan seluruh mimpi serta cita-cita yang dimilikinya. []