“Lebih baik menikah daripada zina,’ salah satu statement yang kerap kali muncul jika bicara tentang isu pencegahan perkawinan anak.
Mubadalah.id – Sebagai pengelola media sosial yang mengangkat isu keadilan relasi, gender, dan seputar isu remaja, perempuan, dan minoritas dalam perspektif agama Islam, seringkali saya mendapati satu kegelisahan batin di mana, di satu sisi ingin mencegah terjadinya perkawinan anak yang juga memiliki dampak negatif.
Tetapi di sisi lain, juga saya gelisah dengan fenomena remaja dengan beragam persoalannya, terutama tentang tanggung jawab ketubuhannya, yang tak sedikit juga bisa menyebabkan hal-hal penuh resiko, seperti fenomena kehamilan di luar rencana dan keinginan (KTD).
Bak tali yang tarik-menarik, kadang kita sebagai pegiat yang menyuarakan pencegahan perkawinan anak juga mendapatkan berbagai pertanyaan lanjutan, ‘… lalu solusinya bagaimana? Membiarkan anak-anak ini berhubungan seksual sebelum menikah? Zina?’.
Apalah daya jika bicara dari dimensi agama, maka menawarkan solusi pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi juga tidak semudah itu, jika memang persoalan ini masih tabu di kalangan masyarakat.
Perkawinan Anak Vs Hubungan Seksual Sebelum Menikah
Beberapa waktu lalu melalui platform media sosialnya (02/07/25), Bimas Islam mengabarkan bahwa angka perkawinan anak menurun selama 3 tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), pada 2022 tercatat 8.804 pasangan di bawah usia 19 tahun menikah. Angka ini turun menjadi 5.489 pasangan pada 2023, dan kembali menurun menjadi 4.150 pasangan di tahun 2024.
Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, penurunan ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari berbagai upaya pencegahan yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah, khususnya melalui program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS).
Namun di sisi lain, Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2024, menyoroti kenaikan persentase remaja 15-19 tahun yang melakukan hubungan seks untuk pertama kali.
Kepala BKKN kala itu menyebutkan bahwa persentase remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual ada di angka 59 %. Sedangkan pada remaja laki-laki berada di angka 74 %. Padahal, usia rata-rata pernikahan berada di angka 22 tahun.
Di laman Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) tertulis empat faktor yang menyebabkan kondisi seperti ini bisa terjadi. Mulai dari faktor sosial ekonomi, budaya dan lingkungan, psikologis, dan biologis.
Artinya, ada kesenjangan besar antara aktivitas seksual dan kesiapan menikah. Data-data ini menjadi fakta yang harus kita hadapi dan mencari solusinya bersama-sama, tentang bagaimana menarasikan kampanye pencegahan perkawinan anak, dengan mencari solusi agar anak-anak dan remaja tidak terjebak pada pergaulan dan relasi yang beresiko.
Mengenal Tubuh dan Pubertas Remaja
Pubertas adalah fase penting dalam hidup setiap orang. Masa transisi dari anak-anak menuju dewasa ini membawa banyak perubahan. Bukan hanya perubahan fisik, perubahan hormon juga memengaruhi emosi, termasuk munculnya rasa suka dan ketertarikan secara seksual.
Di sinilah banyak remaja mulai mengenal pacaran atau relasi romantis. Di momentum ini, tidak sedikit orang sekitarnya yang tidak hadir untuk mendampingi remaja. Dengan catatan tentu saja bukan dengan cara yang posesif.
Karena tanpa pengetahuan yang cukup, pacaran bisa jadi hubungan yang berisiko bagi remaja, yang tidak memiliki kesadaran atas tubuh dan relasi yang sehat. Karena beberapa hal beresiko seperti relasi toxic, perilaku seksual berisiko, hingga kehamilan di luar rencana, yang bisa berujung pada perkawinan anak, ini bisa saja terjadi di kehidupan mereka.
Faktanya, di Indonesia, 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Sering kali, ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang hak kesehatan reproduksi dan batasan dalam relasi.
Lebih Baik Nikah dari Pada Zina, Benarkah?
Di tengah maraknya fenomena ini, kita sering mendengar nasihat seperti ‘lebih baik nikah daripada zina’. Terutama para pendakwah, tokoh agama, maupun keluarga yang ‘agamis’ seringkali menyampaikan hal ini. Tapi apakah menikah adalah benar-benar solusi?
Tapi dalam perspektif Mubadalah, ungkapan ini perlu kita kritisi. Kenapa? Karena ia menyederhanakan pernikahan jadi sekadar solusi instan untuk menghindari dosa.
Padahal, nikah adalah komitmen jangka panjang, yang di antaranya adalah terkait membangun rumah tangga, merawat kemitraan, dan menghadirkan kasih sayang. Belum lagi jika menikah dan memiliki anak, tanggung jawabnya juga akan semakin besar lagi. Sehingga menikah dalam kondisi yang tidak benar-benar siap lahir batin juga bukan solusi yang tepat.
Pernikahan bukan solusi darurat, apalagi sekadar pelampiasan hasrat. menikah itu komitmen kemanusiaan, ruang tumbuh bersama, dan ibadah seumur hidup. Menikah adalah proyek kemanusiaan yang besar, tentang komitmen, tanggung jawab, dan relasi yang saling menumbuhkan. Menikah tanpa kesiapan justru bisa melahirkan pernikahan yang toksik dan menyakitkan.
Mendorong remaja menikah hanya agar tidak berzina, justru bisa membuka pintu ke perkawinan anak yang berisiko tinggi pada kekerasan, perceraian, dan kemiskinan struktural. Tak sedikit perkawinan anak juga menimbulkan perceraian, karena kurangnya kesiapan mental, finansial, pengetahuan, kemandirian, dan lain sebagainya.
Menjaga Diri
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 5,9% perempuan usia 20-24 tahun pernah menikah atau hidup bersama sebelum usia 18 tahun. Selain itu, tingginya angka perceraian di Indonesia, yang mencapai 35% dari total pernikahan, juga menjadi perhatian serius.
Tapi di sisi lain, hubungan seksual di luar nikah itu juga berbahaya, baik secara fisik, emosional, hingga sosial. Maka, solusinya bukan buru-buru menikah, tapi membangun disiplin diri, edukasi seksual yang sehat, dan lingkungan yang mendukung remaja bertumbuh dengan bijak.
Dalam ajaran agama, salah satunya Islam, Al-Qur’an juga memerintahkan manusia untuk menjaga diri jika belum mampu menikah.
Surah An-Nur ayat 33:
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحٗا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
“Dan hendaklah orang-orang yang belum mampu menikah menjaga kesucian dirinya, hingga Allah memberi kemampuan dengan karunia-Nya…”
Bahkan Nabi Muhammad Saw pun menganjurkan puasa untuk melatih pengendalian diri. Rasulullah Saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan dua hal penting, Pertama, tidak semua orang harus langsung menikah untuk menghindari zina. Kedua, mengendalikan diri melalui puasa adalah solusi spiritual dan psikologis yang diajarkan Nabi Saw bagi mereka yang belum mampu menikah, sekalipun menghadapi godaan berzina.
Penguatan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) Sebagai Solusi
Selain itu penting juga bagi remaja untuk memahami perubahan diri, mengelola rasa ingin tahu dengan bijak, dan mendapatkan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) yang komprehensif.
Tentu ini tidak bisa dilakukan oleh orang perseorang, tetapi melainkan harus dilakukan bersama-sama, baik oleh keluarga dan orang tua sebagai tempat belajar anak-anak yang pertama, guru dan lingkungan sekolah.
Selain itu perlu dukungan melalui kebijakan pemerintahan yang mendorong wajibnya layanan kesehatan bagi remaja, konseling, serta pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi. Kebijakan tersebut menyeluruh dan terintegrasi dengan kurikulum sekolah, serta program pemerintah lainnya. Mulai dari tingkat desa, hingga seterusnya.
Jadi, mari ubah narasi, bukan ‘lebih baik nikah daripada zina,’ tapi ‘Lebih baik belajar tanggung jawab, memiliki relasi sehat, siap secara utuh sebelum menikah, dan menjaga diri dengan kesadaran dan martabat.’
Karena kita harus sama-sama menyadari dan memberikan kesadaran kepada remaja dan orang muda, bahwa pernikahan itu sejatinya bukan pelarian, tapi jalan cinta yang dewasa dan penuh tanggung jawab. Sehingga harus kita rencanakan dan kita lakukan dengan persiapan yang matang, baik secara finansial, emosional, intelektual, hingga spiritual. []