Mubadalah.id – Sudah menjadi rahasia umum bahwa kajian-kajian Islam atau organisasi keagamaan di kampus dimasuki oleh beberapa oknum yang ingin menjadikan negeri kita negara khilafah. Deretan-deretan mahasiswa muslim celana cingkrang dan mahasiswa muslimah berkerudung selutut telah menjamur di selasar masjid, dan berdakwah pada mahasiswa-mahasiswi ‘sasaran’ mereka.
Saya yang hanya berjilbab sedada dan mengenakan celana jeans yang suka duduk di selasar masjid selalu menjadi sasaran mereka. Mereka mengajak saya berdiskusi tentang sejarah khilafah dan kondisi negara Indonesia saat ini. Saya yang pada saat itu tidak tahu-menahu soal sejarah Islam hanya manggut-manggut dan menghargai apa yang dijelaskan oleh mbak-mbak tadi. Ada kalanya saya bertanya dan mereka tidak bisa menjawab, lalu mereka hanya sikut-sikutan.
Bagi mereka, maraknya masalah yang terjadi di Indonesia adalah akibat dari Indonesia tidak mau menjadi negara khilafah. Seperti pada kasus perkosaan, hamil di luar nikah, dan perzinahan yang lain, tidak akan terjadi apabila perempuan dan laki-laki dalam mengurus kehidupannya tidak dibaurkan. Dan, perempuan berpergian kemanapun diharuskan dengan mahram mereka.
Pada 2018, organisasi Islam yang dibawahi oleh BEM salah satu fakultas di kampus saya tersebut melakukan bakti sosial. Sebagai anggota BEM Fakultas, saya ditugaskan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Saya pun ikut mengenakan gamis dan jilbab panjang menutup dada dan perut agar tidak terlalu mencolok saat berkegiatan bersama mereka.
Pada saat pelaksanaan kegiatan bakti sosial, saya kerap kali dibuat geleng-geleng dengan sistem kerjanya. Koordinasi dari pengurus perempuan ke pengurus laki-laki hanya melalui satu pintu, yakni ketua perempuan dan laki-laki. Para anggota lainnya pun tidak boleh ada pada dalam satu grup whatsapp karena laki-laki tidak boleh bercampur dengan perempuan, sebab dikhawatirkan apabila mereka dalam satu grup yang sama, maka mereka akan memiliki nomor hp masing-masing dan saling bertukar pesan yang tidak berguna, lalu akan menimbulkan zina dan fitnah.
Tentu saja ini sangat kontradiktif, sebab selama perkuliahan laki-laki dan perempuan berbaur, tidak hanya satu grup dalam whatsapp tetapi juga dalam kelas, dalam tugas kelompok, dan dalam tugas praktikum. Di dalam kegiatan bakti sosial ini kami tentu saja terjun ke masyarakat, ada beberapa kegiatan yang hanya dapat dilakukan laki-laki dan hanya dapat dilakukan oleh perempuan yang perlu dikoordinasikan secara detail agar tidak terjadi miskomunikasi.
Kegiatan bakti sosial yang berlangsung di balai desa tersebut, langsung diberi kain putih panjang sebagai pembatas area laki-laki dan perempuan. Tentu saja, laki-laki datang terlebih dahulu untuk memasang pembatas tersebut, lalu perempuan datang menyusul sehingga kedatangannya tidak sampai terlihat oleh para laki-laki. Padahal para perempuan ini berangkat menggunakan mobil yang dikendarai oleh laki-laki yang jelas-jelas bukan mahram mereka.
Kegiatan bakti sosial yang digelar berupa buka bersama warga dan mengikuti kajian dari seorang ustadz. Tugas telah terbagi, para perempuan memasak dan menyiapkan kudapan untuk berbuka. Para laki-laki menyiapkan dan men-setting tempat, serta melakukan koordinasi dengan perangkat desa.
Pada saat saya dan teman-teman perempuan ini menyiapkan kudapan, ibu kepala desa menyuruh kami untuk mengantar beliau berbelanja kebutuhan berbuka puasa sebab ada bahan yang kurang. Ketua organisasi muslimah ini pun menolak, sebab perempuan tidak boleh keluar menuju pasar karena akan bertemu laki-laki.
Dia juga menjelaskan, selama berkegiatan dipasang kain putih ini sebagai pembatas agar kami tidak dapat melihat laki-laki. Ibu kepala desa pun cukup tenang mendengarkan pernyataan tersebut, padahal saya sendiri sudah cukup malu dan ingin bersembunyi karena hal ini sudah jelas-jelas tidak dapat diterapkan dalam hidup bermasyarakat.
Ibu kepala desa pun menjawab, “Ya sudah tidak apa-apa jika tidak ingin bercampur dengan laki-laki, ya saya paham kok ada memang yang modelan begini.” Barangkali maksud Ibu Kepala Desa tersebut adalah, ada aliran Islam yang benar-benar tidak mau saling berbaur karena perbedaan lawan jenis.
Lalu, pada saat kudapan sudah matang dan siap diletakkan di tempat berbuka puasa. Saya buru-buru memikirkan strategi meletakkan kudapan pada tempat agar tidak terlihat laki-laki sedangkan pembatasnya hanya sampai setengah aula. Ketua perempuan mengatakan bahwa kami membutuhkan tenaga laki-laki agar kudapan ini bisa sampai pada tempatnya.
Maka yang diberi tugas penyaluran kudapan pada laki-laki ini adalah ketua perempuan yang merupakan pintu komunikasi dengan laki-laki, dan saya yang dianggap sudah biasa berinteraksi laki-laki atau dianggap tidak punya prinsip anti membaur pada laki-laki. Sebetulnya, para laki-laki bisa langsung ke tempat memasak dan mengambil kudapan tanpa melalui perantara kami berdua agar cepat selesai. Hmm.. Hal yang sederhana menjadi lebih rumit.
Selama kegiatan berlangsung, semua pengisi acara telah di-handle oleh pihak laki-laki, dari MC, pembacaan ayat suci Al-Quran, ice breaking, bahkan tugas dokumentasi pun juga. Tugas perempuan hanyalah memasak dan mengatur tempat jamaah perempuan yang ikut berbuka puasa. Wah saya hanya bisa diam dan geleng-geleng melihat sistem pembagian kerja yang seperti ini.
Bayangkan saja, bagaimana cara perempuan mengasah kemampuan public speaking di depan masyarakat jika mereka dibatasi dengan dalih tidak boleh terlihat oleh laki-laki? Bagaimana cara perempuan mengasah lobbying skill dan penyesuaian diri saat berbaur pada masyarakat jika ruang gerak mereka dibatasi?
Dalam surat Al-Hujarat ayat 13, yang berbunyi “Wahai manusia sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian.”
Ayat ini menjelasakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama-sama diciptakan Allah, tidak ada yang lebih baik atau lebih tinggi kedudukannya kecuali ketakawaanya. Sehingga tidak ada alasan untuk membeda-bedakan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, semua berhak belajar, baik laki-laki maupun perempuan.
Nyai Hj. Umdah El-Baroroh juga menyebutkan sebuah hadist An-nisaa’u syaqoo ‘iqur rijaal (perempuan adalah saudara kandung laki-laki). Saudara kandung di dalam keluarga memiliki kedudukan yang sama. Sama-sama memiliki tanggung jawab, hak dan kewajiban yang sama. Sebuah perumpamaan indah ini mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan harus bekerjasama agar tugas-tugas kekhalifahan dapat terealisasikan.
Laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang setara di depan Allah SWT. Mereka sama-sama memiliki hak untuk belajar, bekerja sama, bahkan berbaur dengan masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan saat ini, sangat mustahil apabila semua dicapai melalui manusia yang berjenis kelamin sama dengan kita.
Keanekaragaman itulah yang dapat membuat kita bisa hidup dan berkembang sampai saat ini. Sebab, dengan adanya perbedaan kita bisa saling melengkapi. Bagaimana mungkin kerjasama perempuan dan laki-laki untuk suatu kegiatan positif dapat menimbulkan perzinahan? Kalau pun iya, tentu saja kita sudah diajarkan bagaimana cara mengkontrol hawa nafsu dengan berpuasa bukan?
Islam itu sederhana. Tidak pernah mempersulit relasi manusia agar dapat dikatakan islamiyah. Islam selalu mengajarkan untuk memanusiakan manusia. Bahwa semua manusia setara di mata Allah. Dengan saling membantu satu sama lain kita sudah menjadi Islam yang baik. Dengan tidak membatasi ruang gerak kaum tertentu untuk belajar dan berkembang, membaur dengan masyarakat dan menjadi bermanfaat untuk yang lain kita sudah menjadi islam yang baik. []