Mubadalah.id – Beberapa minggu lalu, Gus Ayang Utriza Yakin, dalam seminar Santri, Naskah dan Kajian Teks menyampaikan bahwa, jika kita ingin dikenang dan menuju keabadian saratnya dua yakni, pertama, ditulis, dan, kedua, menulis. Untuk yang pertama, menurutnya, agak sulit kalau kita harus ditulis oleh orang lain karena untuk ditulis kita harus menjadi seorang tokoh atau pun memberikan kontribusi dalam sebuah gagasan tertentu. Karena cukup berat, lanjutnya, pilihan kedua adalah hal yang paling mungkin untuk kita kerjakan yaitu menulis. Sebab, menulis tidak harus menjadi tokoh. Sarat tersebut berlaku untuk siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Tidak lama berselang, di beranda facebook lewat sebuah status cukup menggelitik. Status tersebut berbunyi “Saya lihat banyak sekali pelatihan menulis, itu bagus. Tetapi belum ada sama sekali pelatihan (tahan) membaca. Lah, gimana mau menulis kalau tidak tahan membaca”. Status tersebut diunggah oleh Pak Suhadi Cholil melalui akun facebooknya dengan berbagai komentara dari para pembaca.
Penulis jadi teringat sebuah buku tidak terlalu tebal ditulis oleh seorang ulama produktif dan penyair yaitu KH. Husein Muhammad. Ulama asal Cirebon tersebut menulis buku dengan judul “Ulama-Ulama yang Menghabiskan Hari-Harinya untuk Membaca, Menulis, dan Menebarkan Cahaya Ilmu Pengetahuan”. Isi bukunya adalah biografi para ulama yang hari-harinya dihabiskan untuk mengarang sehingga lahir berbagai masterpiece yang berjilid-jilid.
Salah satu ulama yang ditulis oleh Buya Husein, sapaan akrab KH. Husein Muhammad, adalah Syaikh Izuddin bin Abdissalam. Seorang ulama asal Damaskus yang lahir pada tahun 577 H/1181 M. Ia dikenal sebagai ulama yang ahli dalam banyak ilmu keislaman seperti: tafsir, hadits, bahasa, fiqh, ushul fiqh, dan lain-lain (2020: 112) Saking produktifnya, pada suatu kesempatan, Syekh Izuddin bin Abdissalam berkata, “Selama 30 tahun, aku tidak tidur, sampai aku sudah melewati pintu-pintu pengetahuan itu memasuki pemikiran dan jiwaku” (2020: 116).
Menulis, ya, kudu Membaca toh
Sebagaimana telah disinggung di atas, membaca adalah modal penting serta perisai untuk mengetahui cakrawala keilmuan serta modal sebelum kita menulis. Ibarat dua sisi koin ia tidak bisa dipisahkan. Membaca juga, selain menambah cakrawala pengetahuan, sekaligus menambah diksi dan kosa kata baru. Sebab, tidak ada modal lain bagi seorang penulis selain membaca, membaca, dan membaca. Dibutuhkan ketekunan, keuletan, dan ketelatenan dalam membaca dan menulis.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ulama terdahulu mengarang dengan berbagai puluhan, ratusan atau bahkan ribuan refrensi. Betapa mereka kuat membaca juga menganalisa teks-teks keagamaan yang semuanya menggunakan bahasa Arab. Jangan jauh-jauh, ambil contoh saja Pak Quraish Shihab, dengan magnum opusnya Tafsir Al-Misbah. Di dalamnya terdapat berbagai refrensi seperti Ibnu ‘Asyur, Thaba’thaba’i, serta berbagai kitab tafsir lainnya. Tentu saja bukan hal yang mudah.
Menulis: Jalan Sunyi dalam Berjihad
Menulis adalah jalan sunyi yang tidak ada seorangpun tahu kecuali sang penulis dan Allah yang mengetahui. Begitu menurut Ajengan Ginanjar Sya’ban dalam sebuah kesempatan. Sebab, menulis tidak hanya melontarkan huruf abjad belaka tetapi juga berfikir, menganalisa dan menuangkannya. Butuh kerja-kerja serius dan sungguh-sungguh dalam menjalankannya.
Ada adigium sekaligus memotivasi yang pernah penulis dengar yakni wala tamutunna illa wa antum katibun (janganlah engkau mati kecuali dengan meninggalakan karya). Tidak ada jalan lain bagi kita sebagai orang yang biasa-biasa saja, kecuali meninggalkan karya tulisan. Dengan menulis kita akan selalu dikenang sehingga umur kita selalu “panjang”. Panjang umur dengan menulis.
Imam Ibn Jarir Ath-Thabari, Seykh Fakhruddin Ar-Razi, Imam Abu Hamid al-Ghazali, Imam Nawawi al-Bantani, Kiai Hasyim Asy’ari, dan ulama-ulama lainnya boleh jadi sudah tiada. Tetapi umurnya selalu “panjang” dengan berbagai karyanya. Tidak pernah berhenti dikaji dan dibaca oleh setiap generasi ke generasi. Mereka menyinari setiap zaman dengan sinaran cinta kasih ilmunya. Mereka hidup dalam keabadian.
Mereka telah mencontohkan dengan menulis berbagai karya, dan selalu akan abadi sepanjang masa. Tidak pernah lapuk termakan oleh usia. Sebagai akhir penutup dari tulisan ini, saya ingin mengutip perkataan mulia dari Syekh Mutawalli Sya’rawi dalam bukunya Buya Husen (hlm. 18), beliau mengatakan bahwa “Hidup tidak akan menjadi cepat tua bagi jiwa-jiwa yang rajin membaca”, tentu jangan lupa menuliskannya, tambahan dari saya. Selamat panjang umur dengan menulis. Wallahu ‘alam bish-showab. []