Mubadalah.id – Lebaran tinggal menghitung hari, atau bahkan jam. Dalam tradisi khas Islam Nusantara, masyarakat begitu selesai shalat Id akan saling kunjung satu sama lain. Terutama mereka yang muda mendatangi yang tua. Berbagi keceriaan, saling meminta maaf, dan pasti bersalaman satu sama lain. Besar kecil, tua muda, dan laki-laki perempuan. Bagaimana hukum menyalami lawan jenis, halal atau haram?
Kita sering menjumpai orang-orang yang tidak bersedia bersamalan antar lawan jenis. Perempuan dan laki-laki. Tentu saja jika bukan keluarga dekat. Istilahnya: mereka yang bukan “muhrim”. Sebenarnya istilah ini kurang tepat. Karena “muhrim” dalam Bahasa Arab artinya orang yang sedang ihram untuk haji-umrah. Yang tepat adalah “mahram”, yaitu orang yang diharamkan untuk dinikahi karena kedekatan darah/keluarga.
Mengapa menyalami lawan jenis diharamkan? Biasanya disebutkan berbagai alasan. Karena Nabi Saw tidak pernah melakukanya. Ada teks hadis yang menyatakan “kepala ditusuk dengan jarum jauh lebih baik daripada memegang perempuan yang tidak halal”. Atau, karena khawatir terjerumus pada pesona masing-masing yang membawa pada tindakan haram (zina).
Tetapi semua alasan ini, bagi Syekh Yusuf al-Qaradawi, seorang ulama Azhar yang tinggal di Qatar, adalah lemah. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi Saw sama sekali tidak bisa disimpulkan sebagai haram. Apalagi ada banyak riwayat Nabi Saw pernah dipegang tangannya oleh perempuan yang meminta mengantarnya ke suatu tempat. Sebagian riwayat mengenai baiat (janji setia) Nabi Saw dengan perempuan juga ada persentuhan kulit sekalipun tidak dalam bentuk “salaman”. Hadis soal tusuk jarum juga tidaklah sahih (valid). Jikapun dianggap valid, kata “mass” dan “lams” dalam hadis itu artinya bukan “memegang” perempuan, tetapi “berhubungan intim” dengan perempuan secara tidak halal.
Sehingga, jika hanya bersalaman saja, apalagi antar keluarga jauh, atau yang baru ketemu, atau dalam momentum keceriaan dan kegembiraan, seperti pada saat pembagian hadiah, atau lebaran ini, seharusnya boleh atau “halal”, bahkan baik. Tentu saja, anjuran menjaga diri agar tidak terjerumus pada hubungan yang diharamkan tetap berlaku dan penting.
So, tradisi Islam Nusantara untuk berbagi ceria, saling meminta maaf dan memaafkan, dan saling salaman, tidak hanya halal, tetapi baik, penting dan harus dilestarikan. Untuk memperkokoh persaudaraan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Ini adalah budaya yang baik, yang seharusnya diakui dan didukung tafsir agama yang konstruktif. Istilahanya, al-‘adah muhakkimah. Adat itu bisa jadi dasar hukum. Tetapi yang memilih tidak bersalaman, karena sesuatu dan lain hal, juga monggo, asal tidak saling menyesatkan. Wallahu a’lam bish-shawab.