• Login
  • Register
Kamis, 22 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Menyoal Makna Nusyuz yang Sering Disalahartikan

Perspektif yang menyamakan KDRT dengan nusyuz sehingga pelaku KDRT merasa menjalankan syariat Islam harus segera diubah. Dalam persidangan kasus perceraian, nusyuz sering kali dijadikan dalih untuk menggugat pihak istri

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
09/12/2022
in Keluarga
0
Menyoal Makna Nusyuz yang Sering Disalahartikan
159
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Isu tentang makna nusyuz tidak pernah habis. Ceramah dari salah satu ustadzah kondang Oki Setiana Dewi ternyata berbuntut panjang. Tweet war media masih berkelanjutan, pro dan kontra mewarnai jagad sosial media. Narasi yang diperdebatkan dikaitkan dengan term nusyuz dalam al-Quran. Sebagian warganet berpendapat bahwa ceramah Oki Setiana Dewi tidak salah, karena memang Islam memiliki syariat nusyuz yang memperbolehkan suami memukul istri.

Sebagian yang lain menolak ceramah Oki Setiana Dewi dan menganggap ia telah melakukan normalisasi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Lebih lanjut, pihak yang kontra terhadap isi ceramah Oki Setiana Dewi juga mempertanyakan legitimasi dibolehkannya memukul istri dalam nusyuz.

Melihat banyaknya kontradiksi dan perdebatan diatas, perlu kiranya meluruskan kembali makna nusyuz. Karena bagaimanapun kekerasan adalah sebuah tindak pidana yang tidak boleh dimaklumi. Dan Islam, tidak mungkin membolehkan dan melegalkan tindakan pidana karena inti dari ajaran Islam adalah Rahmatan Lilalamin.

Nusyuz dalam Kitab Manbaus Sa’adah

Nyai Siti Rofiah, Pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah Salatiga dalam kegiatan Ngaji Intensif Ramadhan Mubadalah memberikan interpretasi dan makna nusyuz. Makna tersebut menggunakan perspektif mubadalah berdasarkan kitab Manbaus Sa’adah.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Menurutnya, nusyuz adalah tindakan negatif yang dilakukan oleh salah satu pasangan baik suami maupun istri sehingga mengakibatkan relasi yang tidak baik.

Dalam perspektif mubadalah, regulasi nusyuz sebagaimana tercantum dalam KHI tentunya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan gender. Memberikan hukuman karena ketidakcakapan istri, namun membiarkan ketidakcakapan yang dilakukan oleh pasangan lainnya.

Suami dan istri harus memiliki rasa saling menghormati berdasarkan asas kemanusiaan. Karena baik suami maupun istri dua-duanya adalah manusia yang diciptakan di muka bumi ini sebagai makhluk yang mulia. Di mana kemuliaan tersebut dilihat dari ketaqwaannya pada Tuhan, bukan karena jenis kelaminnya.

Kebolehan memukul pasangan yang nusyuz dalam QS An-Nisa ayat 34 juga memiliki beberapa batasan. Antara lain Ibnu Katsir menyatakan pukulannya tidak menyebabkan luka, dalam Shahih Muslim dinyatakan pukulan tidak boleh berbekas, dalam tafsir Al-Misbah pukulan tidak boleh mencederai atau menyakitkan.

Berdasarkan tafsir tersebut maka Nyai Siti Rofiah mengambil kesimpulan bahwa kebolehan memukul sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa ayat 34 bermakna majazi saja. Bukan memukul sebagaimana yang kita pahami. Karena pukulan yang tidak sakit, tidak membekas, tidak menciderai itu sebenarnya pukulan seperti apa?

Lebih spesifik ia menyatakan bahwa memukul dengan alasan mendidik pun juga tidak boleh dilakukan. Alih-alih mendatangkan manfaat dan introspeksi bagi pelaku kesalahan, pemukulan justru menyebabkan trauma dan penyakit psikis yang akan berdampak jangka panjang.

Kesimpulan itu sejalan dengan ulama besar Atha’ yang berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Ibnu Al-Arabi berkata, “Pemahamannya (ulama Atha’) berdasar pada perkataan Nabi Saw kepada para suami yang memukul istrinya, beliau bersabda, “orang-orang terhormat tidak memukul istrinya.”

Tentunya sebagai umat Nabi Muhammad Saw yang mencintai sunnah-sunahnya kita harus senantiasa mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Bagaimana sikap beliau kepada istri-istrinya, sikap beliau yang penyayang, tidak pernah kasar, dan berperangai sangat lembut sekali.

Nusyuz Tidak Melegalisasi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Perspektif yang menyamakan KDRT dengan nusyuz sehingga pelaku KDRT merasa menjalankan syariat Islam harus segera diubah. Dalam persidangan kasus perceraian, nusyuz sering kali dijadikan dalih untuk menggugat pihak istri.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84 ayat 1 dan Pasal 83 ayat 1 dijelaskan bahwa seorang istri dianggap nusyuz jika tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri. Kewajiban tersebut antara lain wajib taat kepada suami secara lahir batin, dan wajib menuruti perintah suami atau tidak membangkang.

Implikasi hukum dari penyimpangan tersebut sebagaimana tertera dalam pasal 80 ayat 7, pasal 84 ayat 2, dan pasal 152 KHI, antara lain kehilangan hak-hak istri secara penuh, ketiadaan nafkah iddah, dan kehilangan kemanfaatan hukum bagi perempuan. Namun sayangnya, KHI tidak mengatur bagaimana jika suami yang membangkang.

Artinya KHI hanya memberikan hukuman bagi istri yang dianggap tidak menjalankan kewajibannya namun tidak memberikan hukuman serupa pada suami yang tidak memenuhi tanggung jawabnya. Legalisasi kekerasan yang mengatasnamakan penegakan syariat nusyuz ini berkorelasi erat dengan adanya regulasi dalam KHI yang menggunakan tafsir patriarkis.

KHI merupakan produk hukum yang tercipta berdasarkan perpaduan fikih ulama’ mazhab yang diakui dan sudah dikaji di berbagai kalangan akademisi berdasarkan konteks, corak budaya, dan politik pada masa itu.

Keterwakilan suara perempuan di tahun 1985 atau saat KHI dibentuk masih sangat minim atau cenderung tidak ada. Ditambah lagi dengan sistem politik Orde Baru yang saat itu menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua dengan berbagai doktrin dan aturannya. Maka pembentukan KHI juga didasarkan atas pengalaman laki-laki saja.

Itulah kenapa aturan yang ditetapkan dalam KHI terutama dalam konsep nusyuz diskriminatif terhadap hak perempuan dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Padahal kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu objek kajian dalam pembuatan aturan berbagai konvensi dan deklarasi internasional tentang hak asasi manusia.

Aturan dalam KHI yang menormalisasi KDRT dengan dalih nusyuz jelas diskriminatif terhadap perempuan. Dan ini menjadi PR bersama bagi semua aktivis perempuan, penulis, penceramah, untuk menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan aturan yang non diskriminatif.

Lantas jika penceramah peremuannya justru menormalisasi KDRT, mendiskreditkan perempuan dengan narasi peyoratif dengan dalih menjalankan syariat nusyuz dalam Islam, siapa yang akan mendukung perjuangan ini? []

 

 

Tags: KDRTkeluargaNusyuzperkawinan
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Mengirim Anak ke Barak Militer

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

10 Mei 2025
Menjaga Kehamilan

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

8 Mei 2025
Ibu Hamil

Perhatian Islam kepada Ibu Hamil dan Menyusui

2 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jalan Mandiri Pernikahan

    Jalan Mandiri Pernikahan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah untuk Si Bungsu: Budaya Nusantara Peduli Kaum Rentan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Jenis KB Modern

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud
  • KB dan Politik Negara
  • “Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan
  • 5 Jenis KB Modern
  • Jalan Mandiri Pernikahan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version