Mubadalah.id – Kalau teman Muhammadiyah kesayangan saya, Fahd Pahdepi menulis tentang satu rumah dua lebaran dalam postingannya beberapa hari kemarin, saya ingin share tentang di suatu rumah kecil terjadi peristiwa satu lebaran banyak iman.
Pasalnya, pada hari kedua Idul Fitri, 23 April 2023, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, saya menerima banyak tamu dari berbagai latar belakang agama, suku, hobby, kebangsaan, dan kewarganegaraan yang berbeda. Kali ini mereka tiba agak siang, karena teman-teman dari Kristen dan Katolik harus melaksanakan terlebih dahulu Misa minggu di gerejanya masing-masing.
Tamu pertama saya adalah Pak Ketut Wiguna, ketua Parisada Hindu Kota Bandung, yang kini menjadi pengurus Jawa Barat. Beliau memberi saya dua buah Kitab Baghavad Gita. Sungguh hadiah lebaran yang sangat istimewa. Kemudian Risdo dari Gereja Ortodox Timur hadir. Disusul Romo Agus dari Komisi HAK Keuskupan Katolik Bandung bersama beberapa anggota jemaatnya dari Paroki Kebon Kangkung. Tentu saja selalu ada bestie saya, Pak Robert yang mulai rajin olahraga, juga Pak Joko yang aktif di Partai.
Tak lama kemudian tiba Kang Engkus, ketua pusat organisasi penghayat kepercayaan Budi Daya, yang kini menjadi Presidium Nasional Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia. Kemudian datang berturut-turut teman-teman dari aktifis JAKATARUB seperti Ami, yang baru saja menyelesaikan studi sarjananya di UIN Sunan Gunung Djati.
Tamu dari Beragam Latar
Juga ada Clara dari komunitas agama Baha’i. Dan Yohanes dari Gereja Pasundan yang multi tallent. Selain itu hadir juga Bu Susan, aktifis lingkungan hidup yang hafal nama-nama ribuan pohon di Taman Hutan Raya Dago. Juga Deta aktifis Literasi dan pendongeng anak. Tak ketinggalan Pdt. Paulus Wijono, Sekum Persekutuan Gereja-gereja Wilayah (PGIW) se-Jawa Barat beserta istri.
Ada juga Pdt. Obertina, sekjen Nasional Perkumpulan Teolog Perempuan Indonesia beserta paksunya yang makin sukses membahana badai. Pak Beben dan istri dari Jamaah Ahlul bayt juga setia berkunjung saban tahun. Firman Sebastian aktifis media kontemporer yang kini bekerja di Amazon dot com. Juga Nadia, designer dan musisi musik klasik yang kece dari GKI Guntur nampak hadir berseri.
Lalu ada Pendeta Karmila yang aktif dalam pendampingan perempuan korban kekerasan, berbarengan dengann tamu saya paling jauh, Rahel, seorang pendeta yang sedang melakukan safar sabatikal nya dari Zurich Switzerland ke Indonesia. Rahel datang beserta Ibu dan putrinya.
Pada kloter terakhir ada Om Aping, guru gambar di SD Kristen Yahya yang paling dikagumi anak-anak. Ibu Bella, wakil dekan FSRD Universitas Maranatha yang cetar, serta Bung Topan dari KNPI Jabar yang sangat kritis dan berhati mulia. Ada siapa lagi ya? Mohon maaf jika ada yang lupa saya sebut.
Tamu sebagai Saudara
Begitulah tamu-tamu yang sudah saya anggap sebagai saudara itu berkumpul dengan isu masing-masing. Anda bisa bayangkan bagaimana rumah saya dalam sekejap telah menjadi halaqah-halaqah seminar dengan tema yang beragam: di teras obrolan tentang politik capres, di ruangan tengah tentang pendidikan, tentang menjaga hutan dan bagaimana mencintai pohon-pohon sejak dini, tentang teknik merajut, tentang bumbu masakan.
Bahkan ada juga pembahasan tentang diskriminasi, HAM, dan pemenuhan Hak Adminduk warga negara. Juga ada tema menggambar, politik internasional, film, sastra, fikih, juga tentang teologi, sejarah agama-agama, dll. Hampir saya meminta bantuan Risdo untuk membuatkan mereka sertifikat.
Alhamdulillah, keragaman tema tersebut dipersatukan dalam cicipan cake lezat yang dikirim Pendeta Supriatno, ketua Sinode GKP serta Ketua PGIW Jabar dan Jakarta periode beberapa belas tahun lalu.
Mungkin sebagian orang hanya tahu bahwa saya yang selalu hadir mengunjungi teman-teman Kristen saat merayakan Natal. Padahal teman-teman itu juga hadir dan sangat memberi arti pada lebaran yang sedang saya hayati.
Toleransi: Bekerjasama dalam Perbedaan
Begitulah kami menjalani toleransi, tidak hanya saling menghormati dalam perbedaan, tetapi juga bekerjasama dalam perbedaan, dan lebih dari itu: kami saling mendorong dan menjaga dalam perbedaan.
Kami bertoleransi dengan sama-sama menjaga iman masing-masing, tidak hanya iman kami, tetapi juga iman sahabat-sahabat kami yang berbeda. Jadi, tidak ada pencampuradukan iman, sebagaimana yang sering dituduhkan orang lain kepada kami: para aktifis penggiat dialog lintas iman.
Justru kami saling mendorong agar masing-masing kuat dalam keimanannya. Ini yang dimaksudkan oleh Mahaguru saya, KH. Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dari Cirebon sebagai Mubadalah, kesalingan.
Saya pernah mendengarkan satu ceramah aneh dari seseorang yang telah menulis buku Komunikasi Antar Agama, dalam suatu acara Kerukunan Umat Beragama di suatu Provinsi, Ia mengatakan, “tidak usah orang Islam ikut-ikutan acara natalan, juga tidak usah orang kristen ikut acara-acara lebaran. Itu namanya toleransi kebablasan.”
Padahal, sekali lagi, ini sama sekali bukan pencampuradukan, justru ini toleransi yang nyata di mana kami saling mengapresiasi untuk turut bergembira saat saudara-saudara kami yang berbeda agama bergembira. Tentu dalam imannya masing-masing. Mungkin Pak Prof lupa, bahwa dalam tradisi harmoni di Nusantara, saat lebaran, orang kristen juga ikut mudik. Seperti orang Islam turut menikmati discount saat natal dan tahun baru di mall-mall.
Hari Raya Milik Bersama
Di Poso, saat orang islam takbiran di atas mobil bak, sopirnya adalah tetangga-tetangga yang Kristen. Di kampung saya, saat orang muslim lebaran, bikinnya dodol cina, bukan dodol idulfitri. Begitulah, hari raya satu agama, di Indonesia bisa jadi milik bersama. Lebaran menjadi liburan, bukan? Apapun agamanya.
Tetapi, memang susah, menceritakan kehangatan dialog kepada orang yang belum pernah melakukan dialog. Itulah sebabnya, perdamaian tidak hanya cukup untuk diajarkan atau dibicarakan, tetapi juga harus dialami.
Sahabat Muhammadiyah saya yang lain, Imam Besar PeaceGen dot Id., Al Mukaram KH. Irfan Amalee menuturkan, bahwa dalam peace education memerlukan peace experience. Mubadalah adalah kunci praktisnya.
Seperti pada setiap bulan puasa, saya banyak menyaksikan teman-teman yang tidak beragama Islam aktif membagi-bagikan tajil. Itu kan namanya mendorong keislaman orang Islam yang sedang berpuasa. Saya juga pernah diundang Pendeta Mulyadi dari Gereja Kristen Indonesia di Muarakarang, yang membagi-bagikan sajadah jelang Idul Fitri.
Lalu saya tanya, sebelum kamu nanya, atau kamu bertanya-tanya, “Pak Pendeta, apa maksudnya bagi-bagi sajadah?” Pendeta Mulyadi jawab, “Biar orang-orang Islam di sekitar saya tambah rajin salatnya Kang Wawan.” Saya menimpali, “Owh, Pak Pendeta sudah melakukan islamisasi kalo begitu.” Sontak tentara-tentara dari Koramil, Pak Lurah, dan Camat yang hadir di acara tersebut tertawa mendengar pernyataan saya terakhir.
Satu Lebaran Banyak Iman
Ini juga sama: seperti setiap jelang Ramadan saya suka dapat titipan beras dari Pak Ketut yang beragama Hindu untuk dibagikan kepada warga yang kekurangan. Katanya, untuk sedikit berbagi kasih pada teman-teman muslim yang akan sahur saat bulan puasa ini.
Tahun lalu saya juga dapat titipan beras dari teman-teman Budhis untuk dibagikan di pesantren-pesantren. Inilah indahnya Indonesia yang tidak mungkin bisa dinikmati oleh orang yang tidak ingin Indonesia ini tetap kaya dalam keragaman.
Membalas prilaku mereka, di lebaran ini, saya membagikan kalung salib yang saya beli di Toba, untuk teman-teman yang Kristen dan Katolik. Sebelum kamu nanya, atau kamu bertanya-tanya, saya jelaskan, “ini untuk mengingatkan saudara-saudara kristen saya, agar tetap taat dalam iman kristennya masing-masing.”
Di lebaran ini juga, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk bersama-sama Gloria Dei (memuliakan Tuhan), homo vivent (dengan menghormati kemanusiaan).
Satu lebaran banyak iman. Satu Idul Fitri. Kembali ke fitrah. Fitrah kemanusiaan. Adakah di antara tamu-tamu saya itu yang bukan manusia? Semuanya manusia, Bani Adam. Yang dalam Al-Quran disebut, “Laqad karamna bani Adam.” Allah memuliakan seluruh Anak Adam.
Terakhir, kepada semua tamu yang saya muliakan itu, semacam dalam sambutan yang tidak formal, saya sampaikan, “teman-teman selamat datang, terimakasih atas kunjungannya. Rumah saya teramat kecil, tetapi hati kami sangat lebar.
Kapanpun Anda mau, berkunjunglah ke rumah kami. Anda semua adalah keluarga bagi saya. Silakan menikmati makanan alakadarnya. Mencicipi menu lebaran. Di sini ada wifi, usernamenya: Rumah Perdamaian, passwordnya: Abdurrahman Wahid. Password itulah yang sesungguhnya mempertemukan kita. []