Mubadalah.id – Di timeline saya berseliweran poster promosi ceramah seorang perempuan yang akan memberikan ceramah tentang anti-feminisme. Ia mengecam dan memusuhi feminisme yang katanya mendorong perempuan untuk berkarir, sehingga meninggalkan kodratnya sebagai ibu. Ia juga menyebut soal perempuan bekerja dan berkarir demi tujuan materi, agar dapat hidup dengan gaya sosialita.
Perempuan yang hendak berceramah ini adalah seorang mahasiswi program doktoral. Sayang sekali status mahasiswi doktoral itu hanya cukup untuk jadi pajangan di poster ceramahnya. Ia anti-feminisme, tapi sepertinya ia tidak paham apa itu feminisme. Ia membangun pengertian sendiri tentang feminisme, dan ia memusuhi pengertian yang ia buat.
Feminisme memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan. Setara dengan laki-laki. Artinya setara sebagai manusia. Ini yang paling fundamental. Di masa lalu perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Itu anggapan yang dibuat oleh masyarakat, kemudian dianut juga oleh perempuan.
Baca juga: Setara dalam Rumah Tangga
Setara itu menyangkut hal yang paling fundamental. Kalau laki-laki diberi hak untuk makan sepiring nasi, maka perempuan juga punya hak atas sepiring nasi. Kalau laki-laki diberi pendidikan, maka perempuan juga berhak atas pendidikan. Zaman dulu perempuan tidak boleh sekolah. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, karena toh akhirnya tugas dia cuma mengangkang di atas kasur, memasak di dapur, dan mencuci di sumur.
Terima kasih kepada gerakan feminisme, kini perempuan diberi hak untuk sekolah, sehingga perempuan anti-feminisme tadi juga bisa sekolah sampai S3.
Di masa lalu perempuan tidak punya hak politik. Mereka tidak diberi hak pilih dalam pemilihan umum. Di Amerika hal itu diperjuangkan lebih dari setengah abad, baru pada tahun 1920 hak pilih diberikan kepada perempuan, melalui Amandemen ke-19.
Di Saudi, perempuan baru boleh punya hak pilih di tahun 2011. Terima kasih, di Indonesia sejak Pemilu 1955 perempuan sudah diberi hak itu.
Baca juga: Membatasi Perempuan, Langkah Mundur Peradaban
Feminisme bukan soal perempuan berkarir atau tidak. Juga bukan soal meninggalkan peran sebagai ibu. Feminis tidak harus jadi pekerja kantoran. Bahkan feminis tidak mengharuskan setiap perempuan bekerja. Juga tidak ada urusan dengan belanja, hidup hedonis, jadi sosialita. Itu konyol. Perempuan yang tidak bekerja tapi hedonis, hidup sebagai sosialita malah jumlahnya banyak.
Berkarir dan meninggalkan kewajiban sebagai ibu adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Laki-laki harus bekerja, dan ia tidak meninggalkan tugas sebagai ayah. Ini yang terus saya kampanyekan.
Dalam pandangan tradisional, laki-laki tugasnya bekerja cari nafkah. Lantas ia boleh lepas dari tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak. Padahal tidak ada satu dalil atau dalih yang membolehkan laki-laki meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ayah.
Kalau laki-laki tidak boleh meninggalkan tanggung jawab sebagai ayah, tentu perempuan juga tidak boleh meninggalkan tanggung jawab sebagai ibu. Kalau ada yang meninggalkan, itu kesalahan. Bukan itu yang diperjuangkan feminisme.
Baca juga: Membangun Surga Rumah Tangga dengan Prinsip Kesalingan
Apakah setiap perempuan adalah seorang ibu? Tidak. Ada perempuan yang tidak menikah karena berbagai sebab. Ada perempuan yang menikah tapi tidak punya anak. Maka menetapkan prinsip bahwa seorang perempuan adalah seorang ibu adalah kesalahan berpikir.
Apakah perempuan tidak perlu cari nafkah? Ada banyak perempuan yang harus pontang panting cari nafkah untuk membesarkan anak, karena suaminya mati. Ada pula yang harus begitu karena suaminya tidak bertanggung jawab. Perempuan bekerja tidak melulu soal perempuan yang ingin hidup mewah. Dalam banyak kasus, perempuan bekerja agar bisa bertahan hidup.
Kaum anti-feminisme ini sering konyol. Mereka sering membuat batasan yang konyol soal definisi bekerja. Contohnya penceramah ini tadi. Ia merasa dirinya tidak bekerja, dan mengecam perempuan yang bekerja. Kamu itu bekerja, tolol!
Yang sering mereka serang adalah perempuan yang bekerja kantoran. Alasannya ya tadi, karena meninggalkan tugas sebagai ibu, misalnya menelantarkan anak. Sekali lagi itu kesalahan fatal. Bekerja dan penelantaran anak itu dua hal yang berbeda.
Baca juga: Perempuan Bekerja Bukan Beban Ganda
Orang bekerja tidak mutlak membuat ia menelantarkan anak. Sebaliknya, banyak perempuan tidak bekerja yang justru menelantarkan anak. Saya pernah melihat kasus seorang anak mati terendam di kolam karena ibunya sedang asyik nonton TV.
Kaum anti-feminisme sering membuat gambaran buruk yang mereka karang tentang feminisme. Gambaran yang dibangun atas dasar kebodohan mereka sendiri. Kemudian mereka memusuhi gambaran itu. Ibarat orang membuat patung jelek, lalu sibuk melempari patung itu sampil menyumpah.[]