Mubadalah.id – Sebagi salah satu bentuk akad atau transaksi, perkawinan akan mengakibarkan adanya hubungan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang terkait, yang dalam hal ini adalah suami dan istri.
Hak dan kewajiban perkawinan harus dilandasi oleh beberapa prinsip, antara lain kesamaan, keseimbangan dan keadilan antara keduanya. Al-Qur’an menyebutkan prinsip ini dalam Surat al-Baqarah ayat 228:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ
Artinya: “Dan para perempuan mempunyai hak yang setimbang dengan kewajibannya, menurut cara-cara yang ma’ruf” (QS. al-Baqarah, 2: 228)
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak atas laki-laki, sebagaimana laki-laki memiliki hak atas perempuan. Dasar dari pembagian hak dan kewajiban ini adalah uruf (tradisi) dan al-fithran (fitrah). Setiap hak selalu ada kewajiban dan sebaliknya.
Fitrah sebagaimana diketahui adalah nilai-nilai yang melekat pada manusia semenjak ia Tuhan ciptakan. Dalam bahasa yang lebih populer boleh jadi kita sebut nilai-nilai dasar kemanusiaan. Dalam Islam nilai-nilai ini mengandung makna kesucian.
Secara garis besar hak dan kewajiban dalam perkawinan meliputi dua hal. Yaitu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam bidang ekonomi, dan hak-hak dan kewajiban dalam bidang non-ekonomi. (Baca juga: Nilai Ekologis dari Pemilu 2024: Tinta Pemilu Ramah Lingkungan Berbahan Dasar Daun Gambir)
Yang pertama antara lain berkaitan dengan soal mahar (maskawin) dan soal nafkah. Sedangkan untuk yang kedua antara lain meliputi aspek-aspek relasi seksual dan relasikeman usiaan. []