Judul: Dari Aborsi Sampai Childfree, Bagaimana Mubadalah Berbicara?
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir
Penerbit: Afkaruna.id
Tahun terbit: 2024
Tebal: 188 Halaman
Mubadalah.id – Dalam persoalan relasi, baik vertikal atau horizontal, manusia mesti berhadapan dengan berbagai macam peluang dan tantangan di dalamnya. Fitrah perjalanan hidup manusia yang selalu berawal dengan masa anak-anak, remaja, dewasa, sampai menjadi orangtua tidak mungkin terlepas dari apa yang kita anggap sebagai batu sandungan dan juga harapan yang terbentang.
Di sinilah, buku yang tersusun oleh aktivis Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Faqihuddin Abdul Kodir, menjadi sebuah kompas untuk dapat mengarahkan manusia ke jalan keluar bermartabat juga mashlahat. Sesuai dengan rambu-rambu yang tergariskan oleh syari’at.
Buku dengan judul Dari Aborsi Sampai Childfree, Bagaimana Mubadalah Berbicara? (2024), bukan hanya sekadar membicarakan persoalan Aborsi dan Childfree dalam kacamata Islam semata. Melainkan mengangkat pula persoalan yang sama peliknya dengan dua topik tersebut, Aborsi dan Childfree.
Isu Gender Kontemporer
Nampaknya, kata Aborsi dan Childfree yang tersematkan menjadi judul buku, merupakan manifestasi kata yang mewakili persoalan lain yang sama peliknya dalam kehidupan sosial.
Sehingga, bagi banyak pembaca akan sedikit merasa kecewa dalam membaca buku ini. Sebab tidak seutuhnya buku itu menjelaskan sepanjang persoalan Aborsi dan Childfree saja. Namun lebih banyak permasalahan lain yang terbahas, yang masih bersangkutan dengan isu-isu gender dalam panggung kontemporer.
Meski demikian, yang menarik dalam buku ini, tentu saja perspektif Mubadalah. Melalui perspektif ini menjadikan manusia –baik laki-laki maupun perempuan— sebagai subjek aktif dalam menjalankan relasi. Lebih krusial lagi, perspektif Mubadalah selalu berdasar pada kerja kesalingan di antara manusia untuk mewujudkan segala kebaikan dan menghapus segala kemungkinan buruk dalam kehidupan manusia (hlm, viii).
Sehingga, buku ini, dapat kita jadikan sebuah kompas dalam kehidupan yang semakin bergerak dan berubah. Sebab, dalam dunia yang terus bergerak, tidak selayaknya manusia kehilangan sisi spiritualnya. Karena bagaimanapun, kehidupan manusia harus berjalan beriringan dengan sisi spiritualnya yang mendudukkan manusia dalam kehidupan yang adil, mashlahat, dan juga bermartabat.
Benang Kusut Aborsi dan Childfree dalam Perspektif Mubadalah
Sebagai sebuah perspektif, Mubadalah menjadi kacamata para pembaca untuk lebih memahami teks suci –Al-Qur’an dan Hadist— untuk kita tanamkan ke dalam kehidupan manusia. Tujuannya agar pemahaman yang tumbuh lebih selaras dengan kehendak Tuhan dan kehidupan nyata. Dengan kata lain, perspektif Mubadalah mencoba untuk mengurai benang kusut segala tindakan yang diskriminatif, bahkan kriminal yang lahir dari pemahaman agama.
Sebab, menjadi suatu hal yang ironis, jika pesan agama yang seharusnya membendung segala bentuk penindasan, stigmatisasi, dan kriminalisasi, justru malah menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu. Yakni untuk menjadikan orang lain dalam perasaan bersalah dan menganggap seolah dirinya lah yang paling benar.
Dalam persoalan Aborsi yang menghampiri perempuan, seringkali tindakan tersebut kita nilai sebagai kejahatan. Baik dalam norma agama, budaya, ataupun sosial. Kendati sebagian ulama membolehkannya dengan syarat, namun pendapat itu masih minor dalam cakrawala fikih. Sehingga, sulit untuk kita pungkiri label kriminal dan stigma lainnya akan menghampiri perempuan yang melakukannya, tanpa membersamainya terlebih dahulu untuk mencari tahu penyebabnya.
Dalam kasus Aborsi, yang perspektif Mubadalah hadirkan adalah komitmen untuk menjadikan perempuan sebagai subjek aktif dalam memilih atau tidaknya akan tindakan tersebut.
Ketika perempuan harus memilih Aborsi dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang, seperti kehamilan yang tidak diinginkan atau perempuan sebagai korban perkosaan misalnya. Maka perempuan harus mendapatkan dukungan dan pelayanan penuh yang aman dan menjamin kelangsungan hidup mereka.
Sebab dalam kasus tersebut, perempuan sangat berada di posisi yang paling dilematis antara meneruskan atau melakukan Aborsi. Dalam situasi pelik yang seperti itu, fikih Mubadalah tidak serta merta membolehkan tindakan Aborsi, yang dapat memberi kesan abai terhadap keberlangsungan nyawa bayi. Namun juga tidak mewajibkan untuk meneruskan kehamilan yang tidak diinginkannya itu. Di mana kondisi ini justru akan mengancam mental, fisik, bahkan nyawa seorang perempuan.
Pengalaman Perempuan sebagai Pertimbangan
Fikih Mubadalah mendorong ihwal Aborsi melalui perlu adanya pertimbangan matang dari sisi yang terasa langsung oleh perempuan sebagai subjek aktif dalam memilih Aborsi atau tidak.
Jika, situasi yang perempuan hadapi mengharuskan aborsi untuk ia lakukan, maka perempuan harus kita dukung dan kita beri layanan yang aman. Hal ini bersandar pada prinsip fikih yang berbunyi, “al-umm ashl al-nashl, wa al-ashl muqoddam ‘ala al-far’.” Nyawa ibu lebih kita prioritaskan daripada nyawa kandungan. Dan begitupun sebaliknya, jika situasi nya mengharuskan untuk melanjutkan kehamilan (hlm, 80-91).
Begitupun dalam persoalan Childfree, yang seringkali kita anggap tidak mengindahkan pesan-pesan agama dalam mewujudkan pesan untuk melestarikan keturunan. Hal itu, seringkali menjadikan sepasang kekasih yang memilih untuk tidak mempunyai keturunan, akan terkucilkan, dicemooh, dan terdiskriminasi. Tidak jarang pula hal itu karena bersandar pada pemahaman agama.
Hal demikian, telah menyisakan pertanyaan besar –terlebih bagi mereka yang memilih untuk tidak memiliki keturunan – dalam persoalan hidup berelasi. Meskipun Childfree adalah pilihan yang kurang ideal dalam norma umum atau Islam, tidak semestinya juga hal itu menjadikan orang lain terkucilkan dan kita diskriminasi dalam lingkungannya. Sebab, Childfree sendiri tidak bisa kita anggap haram tanpa sebab (haram li dzatihi).
Persoalan Childfree sendiri, tidak ada ketetapan hukumnya secara pasti dalam teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadist), namun hukumnya bisa kita analogikan dengan hukum tidak menikah, di mana mayoritas ulama menghukumi nikah adalah mubah (boleh) atau paling tidak sunnah (dianjurkan).
Ketika Memilih Tidak Menikah
Orang-orang yang lebih memilih untuk hidup menjomblo, tidak bisa kita hukumi haram hanya karena tidak bisa memiliki anak. Dalam logika demikian. Childfree juga memiliki hukum yang sama dengan pilihan tidak menikah. Yaitu boleh, jika persoalan keturunan yang menjadi alasannya.
Meskipun demikian, pilihan Childfree tidak seyogianya kita galakkan dengan massif ke berbagai lingkungan. Karena ia akan berpotensi menghentikan reproduksi manusia melalui alur biologisnya. Yakni hubungan seksual, kehamilan, dan melahirkan. Namun, jika hanya sebuah pilihan individu, Childfree sama halnya dengan pilihan untuk tidak menikah (hlm, 95-99).
Dengan demikian, Mubadalah dengan kerja tafsirnya dalam memahami pesan-pesan agama, telah meluruskan benang kusut terhadap persoalan yang selama ini menjadi pintu legitimasi sebuah tindakan diskriminasi dan sejemisnya.
Terlepas dari persoalan Aborsi dan Childfree, dalam situasi dan kondisi tertentu, dari waktu ke waktu, menjadi suatu hal yang tidak mungkin akan hadirnya banyak hal yang sama peliknya dengan Aborsi dan Childfree. Dan ini, menjadi tantangan dan peluang bagi Tafsir Mubadalah untuk selalu bisa membumikan pesan-pesan spiritual langit menjadi adaptif dengan kehidupan manusia. []