• Login
  • Register
Minggu, 6 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Musala: Sebuah Pendidikan Usia Dini Gratis untuk Putraku

Sebagai orang tua baru yang mempunyai pengalaman menyekolahkan anak untuk kali pertama, saya mempunyai kesimpulan: menyekolahkan anak itu berat

Ahmad Natsir Ahmad Natsir
20/05/2023
in Keluarga, Rekomendasi
0
Pendidikan Usia Dini

Pendidikan Usia Dini

992
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebelum bulan puasa kemarin, saya memeriksakan Alif, putra pertama saya  ke seorang dokter spesialis anak (DSA) di salah satu sudut kota Tulungagung. Pasalnya, sudah hampir dua bulan dia tiba-tiba enggan berbicara, lebih mirip meniru tingkah laku adiknya yang hanya menunjuk benda-benda yang dia inginkan.

Kekhawatiran kami bukan mengada-ada, Alif sudah masuk tahun keempat dari kelahirannya. Sedangkan adiknya hampir memasuki umurnya yang kedua. Bagaimana bisa di umur segitu dia masih diam? Akhirnya kami sepakat mengantarkan ke DSA terdekat.

Kami dipanggil ke ruang pemeriksaan, dokter memeriksa Alif dengan memberinya beberapa pertanyaan. Dan benar, Alif ini tidak menjawab sama sekali dan malah fokus kepada gambar pesawat dan kereta api yang terpasang di seluruh tembok ruangan. Diam-diam, kami memendam sedih dalam hati.

Dokter menyelesaikan pemeriksaan dan vonis akan “dibacakan”. Kami duduk dan berharap berita baik. “Sudah terlambat,” kata dokter tidak nampak senyum dari dokter itu. “Mohon sarannya, Dok.”

“Pergaulkan dia dengan anak yang lebih tua agar dia cepat meniru mereka.”

Baca Juga:

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

“Bagaimana dengan sekolah pendidikan usia dini atau PAUD, Dok?”

“Itu lebih bagus.”

Pengalaman Menyekolahkan Anak

Sepulang dari rumah sakit, saya membaca surat dari dokter, “speech disturbance” begitu yang tertulis di atas kertas putih itu. Kami tidak ambil pusing, fokus kami hanya satu, mengikutsertakan dia di sekolah Pendidikan Usia Dini atau kita kenal PAUD. Bahkan kami sering-sering mengakrabkannya dengan anak sebaya atau lebih senior dari anak saya.

Kami memutuskan untuk menyekolahkan Alif dengan pertimbangan sekolah itu dekat dan terjangkau.

Sebagai orang tua baru yang mempunyai pengalaman menyekolahkan anak untuk kali pertama, saya mempunyai kesimpulan: menyekolahkan anak itu berat. Segala persiapan dari pagi dan berbagai eksplorasi yang kami inginkan kandas manakala Alif enggan masuk kelas, atau sekedar duduk di kelas.

Ok. Kami akan menelateni sekolah anak ini dengan segala kerempongannya. Di tengah-tengah kegiatan itu kami beruntung karena saat itu memasuki bulan Ramadan.

Saya mengajak Alif dan adiknya untuk salat tarawih. Seperti kita duga, sebagai seorang anak, mereka berlarian, tertawa beramai-ramai, melempar kopyah, dan berhenti jika ada salah satu yang menangis.

Kala itu, saya menyadari bahwa saya beruntung mendapatkan lingkungan yang sehat untuk beribadah. Tidak ada seorang pun dari kami para jamaah membentak atau memarahi anak-anak. Semua seakan memaklumi keriuhan yang mereka buat. Meskipun, saya tahu sendiri Sang Imam menaikkan volume suaranya saat membacakan surat pendek. “Aduh, maaf, ya, Pak Imam.”

Pernah imam menegur, tapi tidak dengan membentak. Hanya menyuruh anak-anak untuk berjamaah.

Mulai Berani Berbicara

Pelan tapi pasti Alif mulai berani berbicara, meskipun terkesan seperti mulai nol lagi. Dia mulai menirukan kebiasaan para seniornya untuk sesekali sujud, rukuk, dan berdiri meskipun hanya sekali kemudian berlanjut dengan “baku hantam” lagi.

Kini Alif kami sudah mulai bernyanyi, berselawat, dan bercerita tentang kesehariannya meskipun dengan bahasa yang banyak kami belum tahu. Tapi setidaknya itu sudah cukup dengan perkembangannya sejauh ini.

Dia kini juga suka merapikan sandal di rumah dan musala. Hal itu ia lakukan karena meniru teman seniornya yang sering menata sandal para jamaah di musala.

Saya tidak bisa membayangkan bila para imam dan jamaah di musala kami garang-garang, membentak anak-anak, bahkan suka mengusir mereka jika ramai di musala. Saya sendiri pasti juga akan kelimpungan mencari wadah untuk mendidik putra saya. Karena orang tua mana yang menerima perlakuan kasar kepada anaknya meskipun itu di rumah ibadah.

Dan, jika itu terjadi, bukankah meninggalkan musala dan beribadah di rumah saja adalah pilihan yang masuk akal? []

 

Tags: anakayahkeluargaMusalaparentingPendidikan Usia Dini
Ahmad Natsir

Ahmad Natsir

Ahmad Natsir, seorang bapak rumah tangga yang aktif mengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, penulis Syekh Nawawi al-Bantani dan Narasi Kesetaraan Gender, tertarik dengan kajian Pendidikan Islam, dan sejarah.

Terkait Posts

Film Rahasia Rasa

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

6 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Pemimpin Keluarga

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

4 Juli 2025
Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Marital Rape

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Gerakan KUPI

    Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara
  • Bekerja itu Ibadah
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi
  • Jangan Malu Bekerja
  • Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID