Mubadalah.id – Berbicara tentang kesalehan suami istri dalam rumah tangga, al-Qur’an tidak berat sebelah. Secara lugas, al-Qur’an menekankan prinsip-prinsip kesalingan (mubadalah) dalam relasi suami istri, seperti muasyaroh bil ma’ruf dan zawaj.
Beberapa waktu lalu, seorang teman bercerita sambil mengeluh, kenapa setiap mengikuti pengajian, topiknya seringkali menjadikan perempuan sebagai obyek pembahasan, tentang bagaimana ketaatan seorang istri, kriteria istri shalihah, istri durhaka, dan lain-lain.
Parahnya, pembahasan terkadang nyerempet pada hal-hal privacy dan menyudutkan perempuan, seperti pelayanan (ranjang) istri kepada suami dan kata-kata seksis dalam bentuk lelucon.
Sangat jarang pembahasan yang bersifat tarbiyah untuk laki-laki. Misalnya, bagaimana menjadi suami yang saleh dan baik untuk keluarga.
Pengajian dan Narasi Patriarkhi tentang Kesalehan Perempuan
Al-Qur’an Qs. an-Nisa (4): 34 menyebutkan;
“Perempuan-perempuan yang salehah adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya sedang tidak ada.”
Berangkat dari ayat tersebut, narasi yang sering muncul di masyarakat adalah bagaimana menjadi perempuan salehah sebagaimana gambaran dalam al-Qur’an.
Di sini, Perempuan menjadi topik dan obyek utama pembahasan.
Selain ayat tersebut, hadis riwayat Imam al-Nasāi tentang kriteria perempuan yang baik juga menjadi landasan untuk menentukan kesalehan istri.
Dari Abu Hurairah, berkata, Rasulullah ditanya tentang kriteria perempuan yang paling baik. Jawab Rasulullah, perempuan yang mematuhi kalau disuruh, menyenangkan kalau dilihat, dan menjaga martabat dirinya dan harta suaminya.
Maka tidak heran jika kriteria istri salehah yang berkembang adalah mereka yang tidak meninggalkan kewajiban agama, taat kepada suami, mampu menjaga diri dan harta suami, selalu menyenangkan di hadapan suami, mampu menciptakan ketenangan dalam rumah tangga, bisa menutup aurat, dan seabrek kriteria perempuan salehah lainnya.
Fenomena pengajian seperti ini masih banyak terjadi pada masyarakat kita.
Umumnya, masyarakat percaya bahwa sang penceramah pengajian, yang umumnya laki-laki dan “terkadang” perempuan, pastilah orang yang sangat tinggi dan luas keilmuannya, menguasai al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Mereka percaya bahwa sebagai agent of Islam, para penceramah tidak akan menyampaikan hal yang salah dengan sengaja. Jadi, apapun yang mereka sampaikan tidak seharusnya ditentang ataupun dikritisi, karena pastilah berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Al-Qur’an dan Kesalehan Suami Istri
Tentu akan sangat baik jika penyampaian tentang kesalehan istri imbang dengan narasi kesalehan untuk suami. Karena keduanya adalah subyek kehidupan, maka mereka sama-sama berkewajiban untuk berbuat amar ma’ruf dan nahi munkar.
Maka, memposisikan keduanya sebagai obyek pembahasan dengan proporsi yang seimbang, demi kebaikan bersama, adalah sebuah keniscayaan.
Qs. al-Ahzab(33): 35 menyatakan;
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Jadi, jika istri salehah adalah yang bisa memelihara kehormatan ketika suami tak ada, maka sebaliknya, suami saleh adalah mereka yang bisa menjaga diri ketika sedang tak bersama istrinya.
Suami istri yang saleh dan salehah adalah mereka yang taat kepada Allah, yang bisa menjaga perasaan masing-masing pasangan, bahu-membahu, terbuka, komitmen dengan janji pernikahan, dan tidak menindas pasangan atas nama agama.
Al-Qur’an sendiri menetapkan tak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecuali ketakwaannya.
Sejalan dengan hal ini, Bu Nur Rofiah dalam ngaji KGI menyatakan bahwa prinsip dasar menjadi saleh ataupun salehah adalah proses yang tak berkesudahan dan berlangsung sepanjang hayat.
Maka, ikhtiar menjadi saleh ataupun salehah hukumnya wajib bagi keduanya. []