Mubadalah.id – Perlu kita sadari, saat ini regulasi di Indonesia masih belum banyak menempatkan perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT), sebagai pekerja yang memiliki hak-haknya sebagai pekerja. Hak atas upah minimum, hak atas cuti, hak berorganisasi dan hak atas kesehatan dan peningkatan karir.
Dalam konstruksi seperti inilah, hukum Islam dipahami dan ditafsirkan sekarang. Begitupun hukum positif dibentuk, dilahirkan dan diimplementasikan di ruang pengadilan.
Karena itu, hukum tidak netral dan tidak mungkin bisa netral. Ia berada pada peraduan berbagai kepentingan para pihak. Pihak yang paling berkuasa adalah yang menentukan bentuk dan teks-teks hukum. Baik kekuasaan politik di parlemen. Jika itu undang-undang, atau kekuasaan eksekusi di pemerintahan. Jika itu pelaksanaan dari undang-undang, atau kekuasaan menafsir dan memberi fatwa jika itu menyangkut ajaran-ajaran agama.
Semua orang dituntut untuk menemukan substansi hukum untuk keadilan. Para agen perubahan sebaiknya memiliki kesadaran bahwa konsepsi netralitas hukum justru meminggirkan perempuan dan menyulitkan mereka menemukan keadilan.
Kemudian, para perempuan akan terpaksa tunduk pada aturan yang sudah terbentuk sedemikian rupa yang tidak ramah pada mereka. Tuntutan-tuntutan khusus bagi kebutuhan perempuan, juga akan sulit terpenuhi dalam kondisi hukum yang netral dan tidak memihak kepada perempuan sebagai korban.
Seharusnya, kita memandang hukum Islam, yang awalnya kita sebut fiqh selama berabad-abad, sebagai dinamika budaya masyarakat Muslim sepanjang sejarah peradaban dalam merumuskan dan membumikan kesempurnaan Islam.
Kemanusiaan
Dalam dinamika ini terjadi tarik ulur antara subjektifitas pribadi, jenis kelamin, golongan, budaya, dan politik, dengan cita-cita luhur Islam dalam menegaskan keadilan sosial untuk kemanusiaan.
Di dalam dinamika ini juga ada keterbatasan-keterbatasan yang harus kita kaji ulang. Di samping banyak terobosan-terobosan progresif yang harus kita apresiasi dan teruskan.
Melalaui cara pandang ini, kita harus meyakinkan diri kita bahwa perubahan tafsir hukum Islam yang lebih adil gender adalah sesuatu yang mungkin dan niscaya.
Tafsir ini harus selalu kita hidupkan, cari dan munculkan melalui medium-medium yang memungkinkan perempuan dan laki-laki dalam sebuah perkawinan. Termasuk bisa bangun relasi yang setara, adil dan tidak menjadikan pasangannya sebagai korban dominasi, hegemoni, dan kekerasan. []