Mubadalah.id – Menyimak presentasi ibu Nyai. Mufliha Wijayati tentang pentingnya istirahat cukup bagi kesehatan, saya teringat dengan pembukaan ibu Nyai. Rahmi Kusbandiyah selaku pemateri pertama Kelas Intensif Ramadhan 1442 H. Waktu itu beliau mengutip Hadist Rasulullah Saw perihal dua nikmat yang kerap dilupakan umat. Yaitu nikmat sehat (as-shihhah) dan nikmat sempat (al-farag). Memang, dua karunia ini adalah segalanya bagi kehidupan kita. Tanpa keduanya, apa pun hanya menjadi sebatas angan dan impian. Inilah yang dimaksud pepatah, “Maksud hati memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai”.
Materi kedua ini diselenggarakan pada ahad (18/4) dengan narasumber ibu Nyai. Mufliha Wijayati, dan Mbak Sari Narulita sebagai moderatornya. Temanya, masih tentang kesehatan sebagaimana materi pertama. Bedanya, yang kedua lebih fokus menilik kesehatan dengan cara memberi hak istirahat terhadap badan dan pikiran. Jangankan disibukkan urusan duniawi, sibuk dengan salat dan zikir pun harus ada rehatnya.
Sebagai bukti, dalam kesempatannya, alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, menyampaikan kisah dua sahabat yang dipersaudarakan Rasulullah Saw. Abu Darda’ dan Salman al-Farisi. Cerita yang sangat inspiratif. Di mana, Abu Darda’ adalah seorang yang sangat getol beribadah. Setiap waktunya adalah zikir, sepanjang malamnya selalu sujud, dan siangnya tiada pernah putus berpuasa. Sampai dalam kisahnya, beliau disematkan sebagai sosok yang krisis atensi dan kepedulian terhadap sekitar. Jangankan untuk dirinya sendiri, hak keluarganya pun sering kali terabaikan.
Buktinya, ketika Salman al-Farisi, saudara angkatnya itu berkunjung ke gubuk Abu Darda’, beliau mendapati Ummu Darda’ tengah murung tak bergairah. Sahabat Salman pun akhirnya terdorong bertanya apa gerangan yang menimpa istri saudaranya itu. Dengan penuh sesal ia bercerita bahwa dalang kesedihannya adalah sang suami. Suaminya yang sudah selama ini bersikap lain. Ia sudah dimabuk kepayang dengan ibadah. Tak peduli dengan apa yang di sekitarnya, keluarga, bahkan dirinya sendiri. Dunia baginya sudah benar-benar sebutir debu.
Mendengar hal itu, sahabat Salman berinisiatif menyadarkan Abu Darda’. Ia ingin agar saudaranya kembali seperti semula. Mampu menyeimbangkan urusan duniawi dengan ukhrawinya. Tidak hanya menunaikan hak-hak Allah Swt, tetapi juga hak hamba-Nya. Singkat cerita, tatkala Abu Darda’ menyuguhkan makanan untuk tamunya, sang tamu tidak berkenan memakan hidangan tersebut, kecuali Abu Darda’ juga turut serta makan bersamanya.
Akhirnya, ia membatalkan puasanya hari itu. Begitu juga saat suami Ummu Darda’ ini beranjak untuk menunaikan salat malam, Salman al-Farisi malah menyuruhnya tidur kembali. Guna menunaikan hak tubuhnya untuk beristirahat. Dan, ketika sepertiga malam, sahabat Salman lah yang membangunkan saudaranya untuk melaksanakan salat sunah bersama.
Seusai salat, ia menasehati Abu Darda’ agar tidak lagi ekstrem dalam beribadah. Ia mengatakan, Inna li rabbika ‘alaika haqqan, wa inna li nafsika ‘alaika haqqan, wa li ahlika ‘alaika haqqan, fa’thi kulla dzi haqqin haqqah, “Sesungguhnya, Tuhanmu memiliki hak yang wajib kau tunaikan, dan sesungguhnya dirimu (jiwa, raga, dan pikiran) juga punya hak yang wajib ditunaikan, keluargamu juga punya hak yang harus kau tunaikan, maka tunaikanlah hak itu kepada empunya secara profesional dan proporsional.”
Dari nasehat di atas, kiai Faqihuddin Abdul Qadir dalam kitab Manba’ussa’âdah, menafsirkan poin kedua sebagai kewajiban menjaga kesehatan dan imunitas tubuh dengan beristirahat cukup. Baik fisik, pikiran maupun hati. Ibu Nyai. Mufliha Wijayati menyampaikan, di antara hak tubuh yang harus dipenuhi adalah istirahat. Dengan makna memberikan relaksasi terhadap tubuh yang telah letih bekerja, berpikir dan memikul beban perasaan. Hal ini dapat diekspresikan dengan beragam cara. Bisa dengan tidur, berolahraga, bersepeda, bahkan dewasa ini banyak mengekspresikannya dengan senam yoga.
Nyai. Mufliha Wijayati juga menjelaskan, dalam Manba’ussa’âdah, kiai Faqih tegas menyatakan, tidur adalah karunia Tuhan yang sangat besar. Sebab, betapa banyak yang merasakan kesengsaraan luar biasa hanya karena mengidap penyakit insomnia, misalnya. Saya jadi ingat salah seorang teman saya di Malang. Ia rela meminum obat gatal berdosis tinggi sampai bertablet-tablet hanya karena susah tidur. Walaupun kondisi kulitnya waktu itu baik-baik saja. Sangat menyedihkan sekali.
Tidak hanya itu, kang Faqih juga menginventarisir beberapa manfaat tidur. Di antaranya, menumbuhkan semangat baru, mampu memenuhi kebutuhan istirahat badan, dan sebagai penenang jiwa atau psikis yang sedang tidak baik. Selamat menunaikan ibadah puasa dan selamat beristirahat. Mari menyayangi badan sebagai wujud syukur kita kepada sang pemberi kesehatan. Hafidhakumullahu jami’a, semoga Allah menjaga kita semua. []