Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menceritakan pengalamannya saat beberapa kali pengajian, beliau sempat bertanya kepada jamaah apa itu nusyuz dan siapa yang nusyuz?
Pada umumnya jawaban jamaah senada. Nusyuz adalah meninggalkan rumah tanpa pamit dan pelakunya adalah istri.
Lebih lanjut, Nyai Badriyah kembali menanyakan, apakah suami tidak bisa nusyuz? Beberapa jamaah tampak diam dalam bahasa tubuh penuh tanya dan keraguan.
Dialog singkat di atas, kata Nyai Badriyah, menunjukkan betapa alam pemikiran umat Islam, termasuk muslimah, dipenuhi dengan pandangan yang tidak utuh tentang bagaimana al-Qur’an memandang satu persoalan, dalam hal ini nusyuz.
Tak heran jika kemudian ada suami yang sengaja membuat istrinya tidak tahan di rumah agar ada alasan dia lepas tanggung jawab karena istrinya dianggap nusyuz.
Misalnya, membawa selingkuhan atau istri yang dinikahi di bawah tangan ke rumah. Istri tidak tahan, lalu meninggalkan rumahnya sendiri.
Karena suami berpandangan bahwa istrinya nusyuz, maka tanpa rasa berdosa ia biarkan istrinya menderita. Kedzaliman seperti ini sering terjadi di semua kelas sosial. Sangat menyedihkan.
Penyempitan Makna Nusyuz
Salah satu Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI) itu menyebutkan tanpa menafikan faktor tabiat dan nafsu suami yang tega dan mau menang sendiri, salah satu penyebab penting keadaan di atas adalah karena ayat tentang nusyuz dipahami secara sempit, tidak utuh dan manipulatif.
Nusyuz istri dalam QS. an-Nisa’ ayat 34 terus mengulang-ulang membaca dan mengajarkannya dengan pemahaman sedemikian rupa.
Di sisi lain ayat yang menyatakan nusyuz suami, yakni ayat 128 surat yang sama, seolah tersembunyi. Padahal kita sering membacanya dalam tadarus, namun tidak banyak menjelaskan dalam pengajian, kajian, nasihat perkawinan, atau konsultasi keluarga.
Akibatnya, Nyai Badriyah mengungkapkan maka yang terjadi adalah penyempitan makna. Bagi sebagian orang memahami nusyuz sebagai tindakan istri yang tidak taat, dan bentuknya meninggalkan rumah tanpa izin.
Hal ini, Nyai Badriyah mengingatkan, tidak hanya ada dalam pemahaman orang awam, melainkan terjadi juga dalam praktik peradilan saat hakim menangani kasus perceraian.
Istri yang mengajukan gugat cerai atau suami yang menggugat cerai, dan ia meninggalkan rumah karena tak tahan menjadi korban KDRT, tidak memberikan hak nafkahnya oleh hakim. Alasannya, istri nusyuz.
Tak melihat lagi apakah itu keluar rumah akibat tindakan suami yang sudah tidak manusiawi. Praktik peradilan yang demikian masih banyak terjadi. (Rul)