Ulama bukan hanya sekadar orang laki-laki yang tahu dan paham tentang keagamaan, melainkan lebih dari itu. Orang-orang (tidak memandang jenis kelamin) yang tahu dan paham mengenai suatu hal (khususnya ilmu dan pengetahuan) mereka juga bisa kita sebut ulama. Seperti lima ulama perempuan berikut ini yang turut serta membangun peradaban.
Mubadalah.id – Mencari referensi tentang ulama perempuan dalam segi kuantitas, masih kalah dibanding laki-laki. Namun dari segi kualitas, ulama perempuan tidak boleh kita pandang sebelah mata. Di dunia dan secara khusus di Indonesia, ulama perempuan memiliki peranan penting dalam membangun peradaban.
Dalam lembar sejarah Indonesia, founding parents Indonesia, juga ada keterlibatan perempuan dalam upaya merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Salah satu di antaranya bisa kita lihat dalam buku Teladan Ulama Nusantara: Dari Tafaqquh fi al-Din Hingga Khidmah pada Umat dan Negeri (2023) yang merupakan kumpulan tulisan penerima Beasiswa Cendekia BAZNAS Ma’had Aly Indonesia. Berikut uraiannya.
Ulama Perempuan Pembangun Peradaban
Namanya tidak seterang buah hatinya. Namun sejatinya, secara batin, namanya sangatlah terang sebagai ulama perempuan membangun peradaban yang bermula dari diri sendiri. Kemudian berlanjut ke lingkup sosial terkecil “keluarga”.
Ada istilah yang masyhur yakni buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Siapa yang tidak mengenal Kartini? Santri Kiai Sholeh Darat Semarang yang juga pengarang buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kartini merupakan salah satu di antara beberapa buah hati yang lahir dari pohon kehidupan yang berkualitas ‘Nyai Mas Ayu Ngasirah atau Nyai MA Ngasirah’.
Nyai Ngasirah merupakan buah hati dari pasangan pemuka agama, yaitu Kiai Haji Modirono dan Nyai Hajah Siti Aminah. Lahir pada masa penjajahan Belanda. Tumbuh dan berkembang di lingkungan religius, memberi pengaruh positif dalam diri Nyai Ngasirah.
Hingga menjadi garwa ampil atau selir dari R.N.A.A. Sosroningrat dan dikaruniai delapan anak. Salah satu di antaranya Kartini. Selain itu, ada Raden Mas Slamet Sosroningrat (Semarang), Pangeran Sosro Boesono yang pernah menjabat sebagai Bupati Ngawi, Raden Mas Pandji Sosrokartono, RA Ario Kardinah Rekso Negoro (Salatiga), Raden Mas Sosro Moeljono (Jakarta), RA Soemantri Sosrohadikoesomo (Salatiga), dan RM Sosrowito (Semarang).
Tirakat Nyai Ngasirah
Dalam proses mendidik anak, Nyai Ngasirah melakukan laku tirakat khususnya pada tahap “pra natal” atau ketika putra dan putrinya berada dalam kandungan. Nyai Ngasirah merupakan perempuan yang lugu, cantik, manis, dan sederhana. Selain itu, perilaku serta tutur katanya jujur dan ikhlas.
Selain itu juga, Sosroningrat mengakui, selama dirinya bersama Nyai Ngasirah, belum pernah istrinya berkata keras atau bersikap kurang ajar yang bisa membuat hatinya sakit atau kecewa. Dan tak jarang, saat-saat malam, diam-diam ia terbangun dari tidurnya, tunduk dan sujud di hadapan Tuhannya. Begitulah sekilas gambaran Nyai Ngasirah yang tergambarkan oleh penulis ‘Aguk Irawan’ dalam novel berjudul Sosrokartono: Novel Biografi RMP Sosrokartono Guru Soekarno Inspirator Kartini”.
Menurut pemerhati budaya cum akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus ‘Nur Said’, ada tiga hal yang bisa kita jadikan teladan dari sosok Nyai Ngasirah: tawadhu’, kesabaran, dan dukungan kepada keluarga khususnya anak-anaknya, baik secara dhahir maupun batin (do’a).
Selain itu, menurut Kardinah Rekso Negoro (1985), Nyai Ngasirah juga memberikan bekal keterampilan kepada buah hatinya dan khususnya kepada putrinya, yaitu ia ajari membatik. Hal tersebut merupakan sisi progesif dari ulama perempuan bernama Nyai Ngasirah yang telah memberikan bekal soft skill dan hard skill kepada buah hatinya.
Dan juga memberikan pendidikan secara dhahir maupun batin. Hal tersebut merupakan salah satu di antara beberapa kunci Nyai Ngasirah dalam mendidik anak-anaknya. Meskipun situasi pada masa itu, berada pada “keterbatasan” dan belenggu feodalisme. Namun Nyai Ngasirah mampu menyiasati situasi dan kondisi dengan baik, dan terbukti buah hatinya mampu memberi warna pada peradaban.
Apresiasi
Seperti tokoh-tokoh hebat yang lain, yakni untuk memberikan apresiasi terhadap peran Nyai Ngasirah. Namanya terabadikan pada objek-objek tertentu. Di Kota Ukir ‘Jepara’ namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan.
Selain itu, namanya juga pernah terabadikan sebagai nama rumah sakit. Namun sekarang sudah berganti menjadi Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Hadlirin.
Selain itu, di Kota Kretek ‘Kudus’, namanya juga pernah diabadikan sebagai nama gedung “Gedung Ngasirah”. Sayang, gedung tersebut kini hanya tinggal memorabilia belaka. Namun nilai-nilai keteladanan Nyai Ngasirah tidak berhenti hanya sebatas nama objek. Melainkan lebih dari itu, nilai-nilai keteladanan Nyai Ngasirah telah terekam abadi dalam lembar sejarah bangsa.
Pada tahun 1947, Nyai Ngasirah meninggal dunia. Dikebumikan di kompleks makam Sedo Mukti. Yang berada di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Makam Nyai Ngasirah berdekatan dengan beberapa makam putranya, yaitu Raden Mas Pandji Sosrokartono, Raden Mas Slamet Sosroningrat, dan Pangeran Sosro Boesono. []
Daftar Pustaka
Rosidi, dkk. 2023. Teladan Ulama Nusantara: Dari Tafaqquh fi al-Din Hingga Khidmah pada Ummat dan Negeri. Jakarta: Pusat Kajian Strategis BAZNAS