Mubadalah.id – Akhir abad ke-19, Yogyakarta sebagai saksi lahirnya seorang perempuan yang kelak menjadi suara perempuan dalam arus pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Nyai Siti Walidah, yang terkenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan. Dia bukan sekadar sebagai istri dari tokoh pembaharu; melainkan terkenal pejuang pendidikan dan emansipasi perempuan yang mempunyai peran penting dalam gerakan Aisyiyah serta perkembangan Muhammadiyah.
Kisah hidupnya mengikatkan ranah pribadi, keagamaan dan politik kolonial menjadi satu kesatuan instrumen perjuangan perempuan yang seringkali terpinggirkan dari sejarah besar bangsa. Kauman menjadi saksi awal mula perempuan sebagai aktor dalam panggung pergerakan.
Nyai Siti Walidah, lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1872, terkenal sebagai bagian keluarga yang bernuansa Islami yang berkarismatik. Ayahnya bernama Kyai Haji Muhammad Fadlil, terkenal sebagai penghulu Keraton sehingga keluarganya amat kental tradisi keagamaan dan pendidikan Islam bercirikan tradisional.
Pada usia remaja, ia menikah dengan Muhammad Darwis (yang kemudian terkenal bernama KH. Ahmad Dahlan). Pernikahan yang menempatkan di pusat transformasi pemikiran keagamaan Jawa di saat modernisme Islam mulai menyingkapkan bentuk baru dakwah dan organisasi.
Menjadi “Nyai” pada masanya bukan sekadar gelar sosial; melainkan posisi yang memberikan akses pengaruh dalam komunitas muslim setempat. Siti Walidah memanfaatkan status sosial untuk bekerja di ranah pendidikan informal. Mengajar santri laki-laki dan perempuan, terlibat dalam pengelolaan majelis taklim, serta membangun kapasitas perempuan agar tak hanya sekadar menjadi objek ajaran agama, melainkan menjadi subjek yang aktif.
Beberapa catatan sumber Muhammadiyah dan Aisyiyah menegaskan bahwa sejak awal ia terlibat dalam aktivitas organisasi Muhammadiyah, yang mendampingi gagasan pembaharu suaminya.
Aisyiyah: Penyadaran Pendidikan dan Model Kepemimpinan Siti Walidah
Warisan yang konkrit hingga waktu kini adalah Aisyiyah—organisasi perempuan yang tumbuh bagian dari integral gerakan Muhammadiyah. Dalam konteks Jawa kolonial, adanya praktik “pemisahan” gender dan pembatasan akses perempuan terhadap ruang publik masih lekat, pembentukan Aisyiyah membuka jejaring baru bagi perempuan untuk belajar, mengajar, serta mengorganisir kegiatan sosial-keagamaan.
Dalam kepemimpinan Nyai Siti Walidah pada dekade 1920-an, Aisyiyah memfokuskan pada pendidikan anak perempuan dan anak usia dini. Catatan organisasi ini menunjukkan inisiatif pendirian taman kanak-kanak model Froebel. Kemudian berkembang menjadi Bustanul Athfal—inovasi monumental karena menempatkan pendidikan pra-sekolah sebagai bagian dari dakwah sosial-keagamaan.
Menginisiasi sekolah, kursus keterampilan dan pengajian khusus perempuan bukan sekadar program teknis—melainkan strategi melawan dua tekanan besar. Budaya patriarki lokal yang membatasi ruang gerak perempuan dan hegemoni “civilizing mission” kolonial yang berupaya untuk memodernkan orang Indonesia. Yakni dengan model Eropa yang seringkali abai terhadap akar sosial-keagamaan yang lokalitas.
Menempatkan pendidikan sebagai prioritas, Siti Walidah beserta rekan-rekannya mempromosikan kemandirian perempuan. Yakni dengan menempattkan agama sebagai basis legitimasi sekaligus jembatan menuju perbaikan sosial. Hal ini menandakan bahwa historitias menunjukkan bagaimana pembaruan internal menjadi salah satu cara masyarakat lokalitas merespon modernitas sekaligus melawan dominasi kolonial dalam ranah budaya.
Label sebagai “Ibu Muhammadiyah” yang lekat pada Nyai Siti Walidah bukan sekadar penghormatan sentimental. Ia merefleksikan peran multifaset—sebagai pembina keluarga, guru, pembentuk kader perempuan, dan pemimpin organsasi yang mampu menjaga kesinambungan gerakan. Saat tekanan politik kolonial meningkat dan Muhammadiyah berada fase ekspansi—Siti Walidah bukan hanya sebagai pendukung di balik layar, melainkan pembina aktif.
Ia aktif dalam pengorganisiran melalui aksi penggalangan dana, membuka kelas pengajian, serta merangkul perempuan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Keberanian dalam ruang publik—mengemukakan gagasan tentang pendidikan perempuan dalam penggunaan jilbab secara syar’i. Ini menjadi contoh praktik perempuan Muslim modern yang dapat negosiasi tradisi dan modernitas.
Dalam Bayang Kolonialisme dan Warisan Praktis
Kehidupan Nyai “Siti Walidah” berlangsung dalam bayang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Periode yang penuh dengan sarat kontrol politik, aturan sosial yang diskriminatif serta kampanye “pendidikan” oleh pemerintah kolonial yang tidak sepenuhnya melayani kepentingan masyarakat setempat.
Dengan hadirnya gerakan pendidikan Muhammadiyah-Aisyiyah di bawah kepemimpinan oleh tokoh seperti Ahmad Dahlan dan Siti Walidah mencerminkan bentuk perlawanan lunak terhadap dominasi kolonial. Mengurangi ketergantungan dan menguatkan solidaritas sosial yang berakar pada nilai Islam progresif.
Meskipun strategi tersebut berisiko, aktivitas organisasi berada di bawah pengawasan kolonial dan berhadapan dengan kelompok oposisi konservatif lokal. Aisyah mengambil jalan perjuangan pelayanan—seperti mendirikan sekolah, klinik, dan kegiatan sosial. Kemudian memanfaatkan potensi membangun legitimasi massa dan memperluas basis sosial gerakan pembaruan.
Dengan pekerjaan akar rumput (grass roots), Siti Walidah hadir membantu secara alternatif dalam modifikasi modernitas yang bukan impor, melainkan produk masyarakat yang ingin mengelola sendiri dalam transformasinya.
Dalam warisan praktis yang Nyai Ahmad Dahlan bawakan dalam cara mendefinisikan tentang standar berbusana dan tata cara pendidikan perempuan—bagaimana ia menuliskan pedoman jilbab yang dianggap syar’I pada masanya. Lalu bagaimana Aisyiyah dapat mengadopsi metode Froebel untuk pendidikan anak usia dini.
Langkah-langkah tersebut bukan bersifar eksklusif religius semata; melainkan juga merupakan upaya teknis membangun identitas kolektif perempuan berpendidikan modern namun berakar pada Islam.
Riset terbitan Jurnal Islamica UIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul “Siti Walidah, Gender Equality and Modernist Islamic Women’s Movement in Indonesia: A Critical History” dalam dokumen organisasi maupun riset akademik menunjukkan bahwa tindakan praktis berkontribusi pada meningkatnya tingkat partisipasi perempuan dalam pendidikan formal dan informal Jawa pada paruh pertama abad ke-20.
Pengakuan Nasional, Kritik dan Kompleksitas Warisan dan Relevansi Terkini
Pada 10 November 1971, Siti Walidah terakui secara resmi oleh negara sebagai Pahlawan Nasional. Hal ini beralasan bahwa pengakuan formal tersebut berdasarkan pada peran historis dalam perjuangan sosial-keagamaan dan pendidikan.
Perannya tak hanya pemberian gelar, melainkan lewat film biografi, monumen, dan kajian sejarah yang menempatkannya pada peta narasi kebangsaan Indonesia. Pengakuan semacam ini membingkai ulang perempuan dalam sejarah nasional—dalam rentetan sejarah Indonesia kerap didominasi narasi tokoh laki-laki dan peristiwa perjuangan militer.
Meskipun ia kita kenal sebagai tokoh perempuan emansipasi, warisan dan gagasan Siti Walidah terdapat beragam tafsir. Sejumlah kajian historis modern menyoroti bentuk emansipasi dikembangkan oleh Aisyiyah cenderung terakses oleh perempuan kelas menengah perkotaan—dan kecenderungan terikat pada struktur keluarga patriarkal. Dalil lain memperdebatkan tentang sejauhmana gerakan perempuan seperti Aisyiyah meanntang atau mereproduksi batas-batas gender tertentu.
Kritik di atas bukan sekadar untuk meremehkan kontribusi sejarahnya, melainkan memahami batasan-batasan konteks di mana gerakan itu lahir dan berkembang. Ruang kritik juga membantu generasi sekarang dalam meneruskan tradisi pembaruan dengan sensitivitas sosial yang lebih kompleks dan luas. Diksusi tentang peran perempuan dalam agama dan publik seyogyanya menjadi perhatian penting.
Siti Walidah dapat menawarkan dua pembelajaran menjadi tauladan. Pertama, transformasi sosial yang berkelanjutan jarang lahir dari retorika semata. Ia memerlukan institusi, praktik pendidikan dan kerja kolektif di lapangan. Kedua, sinergi antara tradisi religius dan gagasan modernitas dapat menghasilkan bentuk emansipasi yang berakar dan tahan terhadap tekanan eksternal—baik kolonialisme zaman dulu maupun arus globalisasi hari ini.
Generasi saat ini, dapat mencontoh metodologi historisnya. Membangun kapasitas, menciptakan ruang pembelajaran, dan menyusun strategi perubahan sosial yang bersifat kontekstual. Bukan berarti mengulang persis apa yang dijalankan pada awal abad ke-20, tetapi menelaah bagaimana praktik konkrit seperti sekolah, kursus, majelis—menjadi medium ekspansi akses dan kesetaraan.
Siti Walidah: Sosok Menautkan Dari Masa Ke Masa
Sosok Siti Walidah—hidup dalam bayang-bayang politik kolonial yang terkenal sebagai zaman yang keras, berjuang dengan keterbatasan gender dan tekanan rezim. Tetapi ia mengubah tantangan menjadi gagasan membangun melalui sekolah, organisasi dan jaringan perempuan—hingga berbuah hingga kini.
Keberadaannya mengingatkan kita sebagai generasi pewaris ajaran Nyai Siti Walidah. Mendorong pada perubahan besar yang seringkali bermula dari kerja-kerja kecil yang konsisten. Mengajar satu anak, memimpin satu majelis, mendirikan satu taman kanak-kanak.
Di zama ketika kita masih memerdekakan makna kemerdekaan itu sendiri. Dari akses pendidikan hingga kebebasan beragama, kisah Nyai Ahmad Dahlan memberi pelajaran berharga tentang iman, kecerdasan, dan keberanian bersatu untuk menggugah perubahan sosial. []