Mubadalah.id – Dalam fikih klasik telah banyak dijelaskan bahwa nafkah merupakan hak dan kewajiban kedua orang tua kepada anak-anaknya. Karena itu, dalam fikih klasik anak tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah.
Namun bagaimana jika dalam realitas kehidupan masyarakat banyak anak yang belum dewasa, tetapi secara fisik telah mampu bekerja dan bisa menghasilkan uang dari keringatnya.
Dalam beberapa kitab fikih, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak menjelaskan, seorang ayah boleh mengajak anaknya yang sudah mampu, walau belum dewasa untuk bekerja bersamanya atau bekerja dengan orang lain.
Ketika demikian, kewajiban nafkah beralih, yang awalnya dari harta ayahnya, menjadi dari harta hasil kerjanya sendiri.
Muhammad al-Khathib al-Syirbini (w. 977 H/1570 M), seorang ulama mazhab Syafi’i, misalnya, menyatakan,
“Seorang wali (ayah atau yang lain) boleh meminta anaknya yang belum dewasa, apabila ia sudah mampu bekerja, untuk bekerja mencari nafkah bagi memenuhi kebutuhannya sendiri. Jika ia tidak mau, atau bekerja lalu keluar, maka nafkahnya kembali wajib bagi ayah atau walinya.”
Tetapi al-Syirbini juga melarang mempekerjakan anak pada kerja-kerja yang terlarang, yang tidak mampu melakukannya, atau memberatkan kondisi fisiknya.
Jadi, sekalipun fikih menempatkan nafkah sebagai hak anak ke atas pundak kedua orang tua atau keluarga, tetapi ia juga membolehkan anak untuk bekerja, baik untuk nafkah ia sendiri atau anggota keluarga lain.
Kebolehan ini, sebagaimana al-Khathib al-Syirbini sebutkan di atas, tentu saja harus dengan pertimbangan berbagai syarat.
Utamanya adalah kemampuan seseorang di usia anak secara fisik, namun pekerjaannya tidak memberatkan dan tidak merupakan pekerjaan yang haram. (Rul)