• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

PENGORBANAN SARAH, PERJUANGAN HAJAR DAN KEIKHLASAN ISMAIL

Zahra Amin Zahra Amin
31/08/2017
in Aktual
0
sarah

sarah

67
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

ketika persediaan air habis Hajar mencari sumber air dan makanan. Hajar berlari ke bukit Shafa tapi hanya batu dan pasir yang ditemuinya. Kemudian dari atas bukit Shafa dia melihat bayangan air yang mengalir di atas bukit Marwa. Hajar pun berlari menuju bukit Marwa, ternyata yang dilihatnya hanya fatamorgana.

Mubadalah.id – Momentum hari raya Idul Adha selalu dimaknai dengan ibadah haji dan berkurban. Ada cerita luar biasa yang mengiringi peristiwa bersejarah tersebut dan menjadi teladan membangun pola relasi-komunikasi hubungan antara suami serta istri, seorang ayah dan anak serta anak kepada ayahnya. Ini adalah kisah Nabi Ibrahim bersama istri, Sarah dan Hajar serta anaknya yang bernama Nabi Ismail.

Pada mulanya Nabi Ibrahim hanya beristrikan Sarah. Karena usia semakin menua, dan Sarah memahami bahwa Nabi Ibrahim menginginkan keturunan maka Sarah menyampaikan pada Nabi Ibrahim agar menyunting Hajar sebagai istri, yang saat itu sedang membantu di rumah keluarga Nabi Ibrahim. Atas desakan Sarah, akhirnya Nabi Ibrahim menikahi Hajar. Meski pada akhirnya Sarah pun dikarunia anak yang bernama Ishaq. Cerita ini memberi pelajaran kepada para lelaki ketika melakukan poligami harus atas izin istri, bukan sembunyi-sembunyi (sirri) seperti yang ramai menimpa para ustadz selebritas.

Alqur’an mengemas kisah Sarah dalam surat Huud ayat 71-73 yang artinya “(71). Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) dan setelah Ishaq akan lahir Ya’kub (72). Dia (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua. Ini benar-benar sesuatu yang ajaib. (73). Mereka (para malaikat) berkata, “Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah?, (itu adalah) rahmat dan berkah Allah, dicurahkan kepada kamu wahai ahlul bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji, Maha Pengasih”.

Dalam kisah Nabi Ibrahim, Sarah dan Hajar, ada pengorbanan tulus seorang perempuan, Sarah yang merelakan suaminya menikah dengan perempuan lain. Dan ada pengorbanan Hajar yang merelakan dirinya menjadi istri kedua. Ditambah dengan kebimbangan hati, pengorbanan cinta Nabi Ibrahim ketika harus menerima keinginan istrinya agar menikah lagi.

Kehidupan keluarga Nabi Ibrahim kembali diuji. Setelah Ishaq lahir, Allah memberi perintah agar membawa Hajar dan Ismail pergi. Namun Nabi Ibrahim belum tahu tempat yang akan mereka tuju. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan jauh yang melelahkan mereka pun tiba di Mekah. Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di Mekah dengan hanya dibekali makanan dan minuman seadanya. Sedangkan di daerah itu tidak ada tumbuhan dan tidak air yang mengalir, yang terlihat hanya batu dan pasir kering.

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Perjuangan Nabi Ibrahim, Hajar dan Ismail di Mekah, tertulis dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 37 yang artinya: “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah), yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rejeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”.

Sedangkan dalam hadits riwayat Al-Bukhori (hadits Al-Anbiya), dikisahkan ketika persediaan air habis Hajar mencari sumber air dan makanan. Hajar berlari ke bukit Shafa tapi hanya batu dan pasir yang ditemuinya. Kemudian dari atas bukit Shafa dia melihat bayangan air yang mengalir di atas bukit Marwa. Hajar pun berlari menuju bukit Marwa, ternyata yang dilihatnya hanya fatamorgana.

Belum sempat Hajar beristirahat, ia seperti mendengar suara yang memanggilnya sehingga Hajar berlari hingga tujuh kali antara Shafa dan Marwa. Pada akhirnya Hajar duduk termenung karena kelelahan dan hampir putus asa. Di saat dalam kondisi tak berdaya datanglah kepadanya Malaikat Jibril. “Kepada siapa engkau dititipkan di sini?”, tanya Jibril. “Hanya kepada Allah”, jawab Hajar. Lalu Jibril berkata “Jika demikian, maka engkau telah dititipkan kepada Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih yang akan melindungimu dan mencukupi kebutuhan hidupmu”.

Kemudian Jibril mengajak Hajar ke suatu tempat. Di tempat itu Jibril menginjakkan kakinya sekuat tenaga di atas tanah. Tidak lama muncullah air yang memancar dari bekas telapak kaki Jibril. Atas kehendak Allah, air tersebut sangat jernih dan tidak pernah kering hingga hari ini. Sumber mata air itu lalu dinamakan air zamzam. Setelah itu Hajar segera membasahi bibir Ismail dengan air zamzam.

Dalam kisah ini betapa berat dan hebat perjuangan Hajar mempertahankan hidupnya, dan hidup putranya Ismail. Mengingatkan kita kembali para orangtua, terutama Ibu yang bersedia melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya. Mendahulukan kepentingan anak di atas segalanya. Seorang Ibu bahkan rela mengorbankan dirinya, mempertaruhkan nyawanya sekalipun di saat proses persalinan berlangsung. Sungguh tiada cinta, perjuangan dan pengorbanan yang paling hebat kecuali milik para Ibu.

Terakhir kisah penyembelihan Ismail yang berawal dari mimpi Nabi Ibrahim, bahwa dia dapat perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail. Sebagai seorang ayah, dia tidak tega anaknya dijadikan kurban. Namun sebagai Nabi dia harus mendahulukan cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada keluarga dan harta benda.

Kisah ini termaktub dalam Al-Qur’an surat ash-Shafaat ayat 100-111 yang artinya : “(100) ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang sholeh. (101) Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). (102) Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup bersamanya, (Ibrahim) berkata “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu. Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. (103) Maka ketika keduanya telah berserah diri, dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk melaksanakan perintah Allah). (104) Lalu Kami panggil dia, wahai Ibrahim. (105) Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (106) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yg nyata. (107) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (108) Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (109) Selamat sejahtera bagi Ibrahim. (110) Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yg berbuat baik. (111) Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”.

Meski pada akhirnya kurban penyembelihan Ismail diganti dengan seekor hewan, namun keikhlasan Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah, dan bakti Ismail kepada ayahnya sendiri menjadi relasi cinta antara Nabi Ibrahim dan Ismail kepada Allah. (Hablumminallah) serta relasi cinta Nabi Ibrahim kepada anaknya, ketika kebimbangan hadir menerima perintah Allah, dan saat Nabi Ibrahim menangis harus menyembelih memotong urat leher anaknya. Demikian halnya dengan relasi cinta Ismail kepada ayahnya, penghormatan seorang anak kepada ayah tanpa pertimbangan apapun, Ismail meneguhkan dirinya sebagai orang yang sabar (Hablumminannaas).

Melalui kisah keluarga Nabi Ibrahim, kita memetik hikmah mengambil pelajaran, belajar memahami pola relasi yang dibangun sebagai hamba Allah yang mematuhi semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya atas dasar cinta. Kemudian ada peran serta para perempuan, pengorbanan Sarah serta perjuangan Hajar. Ada cinta istri dan ibu yang tak mampu dibahasakan, cinta yang tulus penuh makna dan cinta itu nyata adanya. Cinta seorang anak kepada ayahnya. Hingga ikhlas mengorbankan dirinya disembelih menjadi kurban, ikhlas menghadapi kematian demi cinta Yang Maha Luhur, cinta hakiki kepada Sang Pencipta.

Tags: IsmailKurbanLebaran Idul AdhaPENGORBANAN SARAHPengorbanan Siti HajarperempuanPERJUANGAN HAJAR DAN KEIKHLASAN ISMAIL
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

19 Mei 2025
Rieke Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mendokumentasikan Peran Ulama Perempuan

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

19 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

18 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!
  • KB dalam Pandangan Islam
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version