“Pernikahan adalah perjalanan seumur hidup. Komitmen yang melibatkan kedua belah pihak untuk saling mendukung, menghormati, dan menciptakan kehidupan yang bahagia bersama.” Kata Bu Nyai Nur Rofi’ah dalam Ngaji KGI. Kata itu berulang-ulang terlintas dalam pikiran saya.
Mubadalah.id – Islam mengusung konsep pernikahan yang kaafah (bahasa Arab: الكفاءة), mengacu pada konsep pernikahan yang berdasarkan pada kualitas, kesetaraan, kompatibilitas, dan pemenuhan kebutuhan emosional, intelektual, dan spiritual pasangan. Dalam Islam, konsep ini dianjurkan untuk menciptakan ikatan pernikahan yang kuat dan saling membangun antara suami dan istri.
Pernikahan yang kaafah melibatkan kesetaraan antara suami dan istri dalam hak, tanggung jawab, dan penghargaan. Kedua pasangan dianggap setara dalam nilai dan martabat, serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam membentuk dan mempertahankan hubungan yang sehat.
Namun, terkadang dalam hubungan tersebut, terdapat masalah serius yang muncul, seperti nihilnya penghargaan pada pengalaman biologis perempuan. Dulu saya sempat merencanakan pernikahan dengan seorang laki-laki, namun kandas karena berbagai faktor.
Dulu kami sempat membahas banyak hal, salah satunya terkait anak. Bagaimana pendidikan anak, kesiapan finansial kami untuk mempunyai anak, bagaimana pengasuhan anak, kapan akan punya anak, sampai siapa yang akan menggunakan alat kontrasepsi.
Pikir saya, keterbukaan kami menjadi awal yang baik untuk merumuskan pernikahan. Meski pada praktiknya belum tentu semua terjadi sesuai rumusan awal. Tapi setidaknya kami bisa memahami cara berpikir pasangan dan belajar untuk concern ketika berumah tangga.
Menimbang Keputusan Bersama Suami Istri
Perbincangan kami sempat membuat saya tertegun, karena calon suami saya menginginkan anak secepatnya karena beberapa alasan seperti orang tuanya yang sudah tua, menunda punya anak adalah pamali karena ketika menunda belum tentu diberi oleh Allah SWT.
Punya anak di usia tua tidak baik bagi kesehatan ibu (padahal saya waktu itu baru berumur 22 tahun), dan ketidaksediaannya menggunakan alat kontrasepsi hanya karena dia laki-laki. “Masak pas malam pertama, saya yang harus pakai kondom?” katanya.
Saya berusaha merasionalkan alasan-alasan calon suami saya dan memperkuat alasan saya untuk menunda kehamilan satu tahun sampai dua tahun pasca menikah. Tapi negosiasi saya sebagai calon istri sekaligus ibu belum sampai ia hiraukan.
Dalam konteks keputusan hamil, penting untuk kita ingat bahwa keputusan tersebut adalah keputusan bersama antara suami dan istri. Kedua pasangan memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dalam proses pembuahan, kehamilan, dan keputusan yang terkait dengan perencanaan keluarga.
Namun, keputusan hamil penting juga untuk menghormati otonomi dan keputusan perempuan. Karena kehamilan berdampak langsung pada tubuh dan kesehatan perempuan, istri memiliki hak untuk memutuskan apakah dia siap secara fisik, mental, dan emosional untuk menghadapi kehamilan dan menjadi ibu.
Menghargai dan mendukung keputusan istri adalah bagian penting dari membangun hubungan yang saling menghormati dan sehat. Ada pertanyaan yang muncul dalam benak saya, apakah seorang perempuan seharusnya mempertahankan calon suami yang tidak mempertimbangkan aspek penting dalam hidupnya?
Pentingnya Menghargai Pengalaman Biologis Perempuan
Pengalaman biologis perempuan, seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan menyusui, merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang perempuan. Pengalaman-pengalaman ini dapat memiliki dampak signifikan pada kesehatan fisik dan mental perempuan.
Penting bagi pasangan dalam pernikahan untuk saling menghormati dan memahami pengalaman tersebut. Menghargai pengalaman biologis perempuan mencerminkan penghargaan terhadap identitas perempuan itu sendiri.
Tidak mempertimbangkan pengalaman biologis perempuan dapat berdampak pada kesehatan fisik dan emosional perempuan. Misalnya, jika calon suami tidak mempedulikan kebutuhan perempuan dalam hal kesehatan reproduksi, tidak mau terlibat dalam penggunaan alat kontrasepsi, tidak mendukung keputusan penggunaan alat kontrasepsi, hal ini dapat menyebabkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan atau gangguan dalam perencanaan keluarga.
Selain itu, sikap yang tidak menghargai pengalaman biologis perempuan juga dapat menyebabkan stres emosional, perasaan tidak dihargai, dan ketidakseimbangan dalam hubungan.
Menomor sekiankan pengalaman biologis perempuan juga langkan untuk mewujudkan ketidaksetaraan gender dalam hubungan. Sebuah pernikahan yang sehat memerlukan pengakuan terhadap nilai-nilai dan pengalaman masing-masing pasangan. Jika seorang calon suami tidak menghargai pengalaman biologis perempuan, ini menunjukkan ketidakadilan dalam hubungan rumah tangga.
Komunikasi yang terbuka dan jujur dapat membantu mengatasi masalah ini. Pasangan harus saling mendengarkan dan berbicara tentang kekhawatiran, kebutuhan, dan harapan masing-masing. Penting bagi pasangan untuk mencari solusi bersama dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Jika calon suami menunjukkan ketidaksensitifan yang berkelanjutan dan ketidakmauan berkompromi dengan pengalaman biologis perempuan. Meskipun sudah dilakukan upaya komunikasi, perlu kita pertimbangkan dengan serius apakah mempertahankan hubungan tersebut merupakan pilihan yang sehat dan tepat.
Mempertahankan atau Memutuskan Hubungan?
Keputusan untuk mempertahankan calon suami yang tidak mempertimbangakan pengalaman biologis perempuan adalah keputusan yang sangat pribadi. Pertimbangkan beberapa faktor berikut sebelum membuat keputusan:
Pertama, pernikahan yang kaafah membutuhkan kesetaraan dan saling pengertian antara pasangan. Jika calon suami tidak mampu memahami dan menghargai pengalaman biologis perempuan, ini mungkin menimbulkan ketidakseimbangan dalam hubungan yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan pernikahan.
Kedua, jika calon suami menunjukkan kemauan untuk belajar, berkembang, dan berubah, ada potensi untuk memperbaiki hubungan. Namun, ini memerlukan komitmen nyata dari kedua belah pihak untuk bekerja sama dan memperbaiki ketidakmengertian yang ada.
Ketiga, mempertimbangkan hubungan jika mempengaruhi kesehatan fisik, mental, dan emosional. Jika kehadiran calon suami yang tidak mempertimbangakan pengalaman biologis perempuan menyebabkan stres, depresi, atau bahkan bahaya fisik, maka mempertahankan hubungan tersebut mungkin bukanlah pilihan terbaik.
Keempat, meninjau nilai-nilai fundamental terkait hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan penghargaan terhadap pengalaman biologis perempuan. Jika calon suami tidak sejalan dengan nilai-nilai tersebut, akan sulit untuk membangun pernikahan yang setara.
Selain empat hal di atas, penting untuk mencari dukungan dari orang-orang terdekat, orang tua, teman, atau bahkan konselor pernikahan untuk memberikan perspektif yang objektif. Yakni guna membantu membuat keputusan terbaik sesuai dengan situasi yang dialami. []