Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa taaruf meniscayakan adanya perkenalan dan pengenalan calon dalam koridor syari’ah.
Taaruf dalam tradisi Islam, kata Bu Nyai Badriyah Fayumi, tidak hanya menjadi urusan calon suami istri, tetapi melibatkan pihak ketiga yang jujur dan terpercaya sehingga bisa mengenal secara objektif kelebihan dan kekurangan pasangan yang hendak menikah.
Akan tetapi, yang patut dipahami, Bu Nyai Badriyah Fayumi menegaskan bahwa pacaran bukanlah taaruf yang islami, karena, pacaran kata dia, sering sekali didominasi kehendak subjektif dan nafsu.
Tak heran apabila ada orang yang menikah sesudah pacaran 5 tahun, ternyata pernikahannya hanya seumur jagung. Itu karena pacaran tidak membuat seseorang mengenal calonnya apa adanya.
Kegamangan juga, kata Bu Nyai Badriyah, sering terjadi karena calon merasa belum cukup tahu pasangannya hingga “ke dalam”.
Dengan taaruf yang melibatkan pihak ketiga yang jujur dan objektif, calon pasangan bisa mengetahui lebih jauh tentang sifat dan karakter aslinya, niat dan orentasinya menikah dan berkeluarga.
Termasuk bagaimana ia akan memperlakukan istri dan anak-anakanya, termasuk jika istrinya ingin memiliki karier sendiri, dan hal-hal penting lainya.
Dengan taaruf yang objektif calon suami bisa mengetahui sejauh mana istitha’ahnya (kemampuannya).
Bukan hanya kemampuan memberi nafkah, namun lebih dari itu, kemampuan menjadi imam serta kesanggupan mengendalikan diri untuk tidak melakukan KDRT dalam bentuk apapun.
Taaruf dengan melibatkan pihak ketiga akan memberikan tanggung jawab moral yang lebih bagi calon suami.
Pihak ketiga dalam taaruf ini idealnya adalah wali dan orang yang adil dan bijak. Tentu semua proses mesti melakukannya secara santun dan penuh kearifan.
Dengan peran yang tepat dari wali dalam taaruf ini, pernikahan diharapkan menjadi sarana ibadah yang melindungi dan membahagiakan. (Rul)