Mubadalah.id – Setelah kemerdekaan, peran santri meluas dalam beragam aspek. Di bidang politik, setelah revolusi mereda, peran santri mewujud pada munculnya partai politik, seperti Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Nahdlatul Ulama, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Walaupun partai-partai ini sempat bertarung dalam Pemilu 1955, mereka memiliki gagasan yang sama untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dalam perdebatan di Konstituante.
Namun demikian, partai-partai Islam mulai kehilangan eksistensi ketika Sukarno mengeluarkan Dekrit dan membubarkan Konstituante. Kemudian, pada masa Suharto, keberadaannya dilebur dalam partai Persatuan Pembangunan.
Peristiwa ini menandakan berkurangnya peran politik santri di kancah nasional. Namun demikian, melemahnya peran politik santri di masa Orde Baru tidak menyusutkan kontribusi santri di bidang yang lain.
Di bidang sosial, santri sebagai bagian dari pesantren telah mampu mendoron terjadinya transformasi sosial masyarakat.
Berdasarkan kajian Adib & Sumantri, pesantren Krapyak telah mengubah Krapyak dari semula sebagai kawasan perkampungan pinggiran yang menjadi basis kelompok-kelompok masyarakat abangan. Maka ia telah berubah menjadi kampung santri dengan ciri khas keagamaan Islam yang kental.
Selain itu, santri juga terlibat aktif dalam advokasi masyarakat. Contohnya, dalam kasus penambangan di daerah Paseban, santri aktif melakukan gerakan advokasi sebagai counter terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap lebih pro kapitalis.
Bahkan para santri melindungi nasib masyarakat akar rumput dari dampak pertambangan, dan menjaga kelestarian ekologi pesisir. Santri menggunakan agama bukan hanya sebagai senjata teologis, tetapi juga sebagai sumber etika, moral dan semangat perlawanan.
Secara lebih terstruktur, santri tergabung dalam beragam organisasi keislaman yang telah muncul sejak periode prakemerdekaan.
Misalnya, para santri terlibat dalam gerakan Islam kebangsaan di Nahdlatul Ulama, Al-Washliyah, Nahdlatul Wathan, atau Persatuan Tarbiyyah Islam. []